Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara Pertama yang “Hilang” dari Muka Bumi, Kok Bisa?
KOMPAS.com – Korea Selatan (Korsel) berpotensi menjadi negara pertama yang “hilang” dari permukaan Bumi.
Dikutip dari The Economic Times, hal itu lantaran negara tersebut menghadapi krisis populasi yang parah. Angka kelahiran negara tersebut terus merosot hingga ke tingkat yang sangat rendah.
Jika tren ini terus terjadi, populasi Korsel diperkirakan akan menyusut hingga sepertiga dari jumlah populasinya pada akhir abad ini.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran kepunahan nasional yang bakal dialami Korea Selatan.
Data statistik Korea yang dirilis pada Rabu (27/11/2024) menunjukkan, Korea Selatan mengalami penurunan angka kelahiran sebanyak 8 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Para ahli memperingatkan, populasi Korea Selatan yang berjumlah 51 juta jiwa dapat berkurang setengahnya pada tahun 2100 jika tren ini terus berlanjut, menurut First Post.
Lantas, mengapa angka kelahiran di Korea Selatan terus menurun?
Baca juga: Buntut Kasus Suap Eks Bupati Cirebon, Kejaksaan Korea Selatan Geledah Kantor Hyundai E&C
Penyebab angka kelahiran Korea Selatan menurun
Angka kelahiran nasional di Korea Selatan menyentuh rekor terendah, 0,72 anak per wanita pada 2023. Dan diperkirakan tren penurunan itu akan kembali terjadi di tahun ini, yakni sebesar 0,6 anak per wanita.
Krisis demografi ini terjadi karena beberapa faktor. Salah satu penyebab utamanya adalah frustrasi di antara pasangan atas meningkatnya biaya hidup dan menurunnya kualitas hidup.
Survei yang dilakukan Dewan Nasional Perempuan Korea dan dirilis oleh The Korean Times pada 2024 menunjukkan, lebih dari 7 dari 10 penduduk Seoul menganggap bahwa melahirkan adalah beban yang memberatkan bagi wanita.
Tren ini menunjukkan bahwa penduduk Korea Selatan semakin menjauhi pernikahan dan menjadi orangtua.
Dari 1.000 responden yang berusia 20-49 tahun, sebanyak 75,8 persen mengatakan bahwa melahirkan adalah tugas berat bagi perempuan.
Orang yang paling muda cenderung memandang peran orangtua secara negatif, dengan lebih dari 84 persen dari mereka berusia 20-an tahun.
Angka itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan responden yang berusia 30-an yakni 80,1 persen dan mereka yang berusia 40-an tahun sebanyak 65,2 persen.
Adapun 8,3 persen responden menyatakan bahwa memiliki anak adalah hal yang membahagiakan.
Saat ditanya hal paling mengkhawatirkan dari melahirkan, 68,4 persen responden beranggapan bahwa melahirkan dan mendidik anak adalah aktivitas yang melelahkan dan menyulitkan fisik mereka.
Selain itu, melahirkan juga membuat karier wanita menjadi terjeda. Sementara di daerah perkotaan Korea Selatan, banyak perempuan lebih mengutamakan karier mereka.
Di sisi lain, biaya pendidikan anak yang mahal juga menyebabkan responden merasa melahirkan adalah tugas berat bagi perempuan.
Menurut laporan yang dirilis The Economic Times pada 30 November 2024, salah satu faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap krisis fertilitas adalah kesenjangan gender.
Di Korea Selatan, perempuan masih berjuang menjadi kemitraan yang setara. Iklim politik negara tersebut telah melihat peningkatan sentimen anti-feminis, khususnya di kalangan laki-laki yang lebih muda.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol yang memenangkan pemilihan 2022 menyerukan penghapusan kuota gender dan menyatakan bahwa feminisme adalah akar penyebab memburuknya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut kemudian memicu pertempuran politik dan budaya yang sengit, dengan presiden yang menuai kritik dari para aktivis hak-hak perempuan yang semakin memecah belah masyarakat.
Ketidakseimbangan gender ini kemudian memicu frustrasi, baik di pihak laki-laki dan perempuan.
Baca juga: Krisis Pornografi Deepfake di Korea Selatan, Peringatan Dini untuk Indonesia
Awal mula penurunan angka kelahiran di Korea Selatan
Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan bermula pada tahun 1960-an. Saat itu, pemerintah khawatir tentang pertumbuhan penduduk yang melampaui pembangunan ekonomi.
Akibatnya, pemerintah setempat menerapkan kebijakan keluarga berencana untuk menahan angka kelahiran.
Pada saat itu, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya 20 persen dari rata-rata global, sementara angka kelahiran sangat tinggi, yakni 6 anak per wanita.
Pada 1982, ketika ekonomi sedang berkembang pesat, angka kelahiran telah turun menjadi 2,4. Angka ini masih di atas tingkat penggantian sebesar 2,1 tetapi menuju arah yang benar.
Setahun kemudian, angka kelahiran turun ke tingkat pengganti. Dan sejak saat itu, angka kelahiran telah menurun dengan cepat.
Apa yang dulunya merupakan penurunan yang terkontrol dengan hati-hati, kini telah menjadi krisis, dengan proyeksi yang menunjukkan populasi Korea Selatan menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini.
Dalam skenario terburuk, sejumlah perkiraan memprediksi negara tersebut bisa kehilangan hingga 70 persen penduduknya dan hanya menyisakan 14 juta orang.
Situasi ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan menimbulkan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca juga: Apa Penyebab Sinkhole yang Terjadi di Malaysia dan Korea Selatan?
Upaya Korea Selatan meningkatkan angka kelahiran
Pemerintah Korea Selatan telah mengupayakan sejumlah program untuk meningkatkan angka kelahiran.
Misalnya, dengan merekrut pekerja asing untuk mengasuh anak, memberikan keringanan pajak, dan mengusulkan agar pria yang memiliki tiga anak atau lebih pada usia 30 tahun dibebaskan dari wajib militer.
Akan tetapi, sejauh ini upaya-upaya ini belum memberikan dampak yang berarti.
Di beberapa negara maju, imigrasi menjadi faktor kunci untuk mengurangi dampak penurunan angka kelahiran.
Beberapa pria Korea Selatan, khususnya di daerah pedesaan, menghadapi kelompok calon pengantin yang menyusut, sehingga memilih menikah dengan wanita asing, seperti Vietnam.
Sejak 2000, angka pernikahan pria Korea Selatan dan wanita asing telah melonjak hingga 20 persen.
Namun, lagi-lagi, Korea Selatan kurang berhasil dalam menarik imigran. Pernikahan ini justru menunjukkan ketidakseimbangan gender dalam rumah tangga dan masalah budaya yang lebih kompleks.
Penelitian menunjukkan, wanita migran dalam pernikahan ini menghadapi tantangan yang berbeda. Pada tahun pertama pernikahan, hanya 20 persen dari istri kelahiran luar negeri yang bekerja, dibandingkan dengan 50 persen wanita pribumi.
Selain itu, wanita dalam pernikahan ini cenderung menghasilkan 500 dollar Amerika Serikat, lebih sedikit daripada rekan-rekan Korea mereka.
Di banyak rumah tangga, khususnya mereka yang memiliki istri non-Korea, suami memegang kendali atas keuangan, dengan 33 persen dari pernikahan tersebut melaporkan bahwa suami memutuskan bagaimana uang akan dibelanjakan.