Sate Komoh Bu Saminah, Kuliner Legendaris Pasuruan yang Buka 3 Jam Sehari
PASURUAN, KOMPAS.com – Pagi itu, Nur Hidayati (47) dengan dibantu saudaranya menarik kain keber (tirai kain) berwarna kuning untuk menutup sebagian depan warung di Pasar Besar Kota Pasuruan.
Dua lembar keber kuning merupakan bagian dari tanda yang dikenal sebagai warung ‘Saminah’ rawon sate komoh Pasuruan.
Usai memasang keber, dia melanjutkan menata dua panci ukuran sedang untuk dipanaskan di atas tungku arang.
Baca juga: Menikmati Kelezatan Tipat Cantok, Kuliner Tradisional Bali yang Tak Tergantikan
Perlahan, dia mengaduk kuah rawon yang sudah dimasak dari rumahnya. Sedangkan dua saudaranya menata puluhan tusuk sate komoh untuk dipanaskan juga.
Kepulan asap dari panggangan arang pun mulai terasa bau bakaran daging yang gurih.
“Monggo pinarak dulu (silakan duduk dulu) mas, biar satenya dipanggang dulu,” sapa Nur pada pelanggannya, Minggu (24/11/2024).
Usai menata seluruh menu nasi, sate, empal, tauge, dan sambal, Nur mulai menuangkan nasi di atas piring. Kemudian, kuah rawon pun mengucur dari ‘irus’ (gayung kecil) di atas piring.
“Mas pakai nasi normal, ikannya (lauk) sate atau empal,” tawarnya.
Awal mula berjualan sate komoh
Bagi orang asli Pasuruan, warung Saminah merupakan pelopor sate komoh atau sate berukuran besar dan berbumbu.
Nur Hidayati menceritakan bahwa warung yang ditempatinya itu sudah generasi ketiga dari paman kakeknya, yakni Haji Adnan dan Hajjah Saminah.
Tahun 1957, Haji Adnan merupakan petugas sekaligus penjaga keamanan Pasar Besar Kota Pasuruan.
Kala itu, bersama istrinya, Hajjah Saminah, dia membuat warung rawon dan sate komoh untuk keperluan sarapan pagi pedagang atau petugas pasar.
“Mulai berdiri hingga sekarang, warung ini bukanya hanya tiga jam saja. Jam 7 pagi sampai 10 pagi. Maksimal tutup jam setengah sebelas siang,” ujar Nur.
Untuk sate komoh di Warung Saminah, dikenal lebih kering dan gurih.
Selain proses masaknya dilakukan dua kali, daging yang sudah berbumbu itu ditiriskan dulu sebelum dipanggang.
Irisan daging dipilih yang lunak serta ada tambahan irisan ‘daging susu’ (bagian gajih).
“Setelah daging dibersihkan dan dipotong-potong, daging diulet (ditekan pakai tangan) terlebih dahulu. Kemudian dipanaskan hingga bumbu mengering,” terangnya.
Sedangkan untuk kuah rawon, Saminah tetap menggunakan bumbu pada umumnya.
Hanya saja, cara memasaknya yang berbeda. Nur harus menyimpannya lebih lama, sekitar 2-3 hari harus dibiarkan dengan cara dipanaskan.
“Jadi kalau sudah matang, tidak langsung dijual. Menunggu dua hari sampai tiga hari agar rawon semakin sedap,” tambahnya.
Warung legendaris yang hanya buka 3 jam
Irianto (50), salah satu pelanggan, mengaku rawon Saminah merupakan rawon legenda.
Karena sejak kecil, dia sudah bisa menikmati rawon berbahan kluwek itu buatan Hajjah Saminah.
“Saya sudah mengenal Bu Saminah dulu. Dan sate rasa sate komohnya ya tetap gurih dan lunak,” ujar Irianto.
Selain di warung Saminah, rawon dengan lauk sate komoh ini juga bisa dijumpai di Warung Sederhana di Jalan WR.
Supratman depan Puskesmas Kandangsapi, Warung Sakinah di Jalan Kartini, dan Warung Amanah di pojok utara (depan Stasiun Pasuruan).
Sedangkan untuk harga setiap porsinya berkisar antara Rp 25.000 – Rp 27.000.
Nur Hidayati, pemilik warung Saminah yang meneruskan usaha keluarganya sejak tahun 1957, yang dikenal sebagai pelopor sate komoh di Pasuruan, Jawa Timur.
Warung Saminah hanya membuka warung tiga jam mulai pukul 07:00 – 10:00 WIB. Sate komoh milik warung Saminah yang dikenal lunak dan lebih kering.
“Iya mulai dulu memang kami buka hanya tiga saja. Mulai dari mbah (kakek) dan abah juga”, ungkap Nur.