Informasi Terpercaya Masa Kini

Doom Spending, Kebiasaan Buruk yang Dibentuk oleh Lingkungan atau Masalah Personal?

0 2

Dalam beberapa waktu terakhir, istilah doom spending semakin populer di kalangan masyarakat yang sering terjebak dalam pola belanja berlebihan, terutama ketika sedang stres atau merasa cemas. Fenomena ini ditandai dengan perilaku belanja impulsif sebagai cara untuk mengatasi tekanan hidup, tetapi ironisnya justru menambah beban finansial dan memperparah stres yang dirasakan. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah perilaku ini lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti pengaruh teman atau keluarga, atau justru merupakan masalah pribadi, seperti gangguan impulsif atau manajemen stres yang buruk?

Secara garis besar doom spending dapat diartikan sebagai tindakan belanja berlebihan yang tidak terencana dan biasanya terjadi saat seseorang sedang berada dalam kondisi emosi negatif, seperti stres, kecemasan, atau kelelahan. 

Dalam banyak kasus, orang yang melakukan doom spending merasa bahwa belanja dapat memberikan kepuasan sementara dan pelarian dari masalah yang mereka hadapi.

Namun, dampak negatif dari perilaku ini lebih besar daripada keuntungan sesaat yang diperoleh. Pengeluaran yang tidak terkontrol dapat menyebabkan masalah finansial yang serius, mulai dari utang kartu kredit yang menumpuk hingga ketidakmampuan untuk menabung atau mengelola uang dengan bijak.

Faktor Lingkungan dalam Doom Spending

Salah satu faktor yang sering dianggap berperan besar dalam kebiasaan doom spending adalah lingkungan. Lingkungan di sini bisa mencakup berbagai aspek, mulai dari pengaruh teman, keluarga, hingga lingkungan sosial dan budaya yang mendorong gaya hidup konsumtif.

1. Pengaruh Teman dan Keluarga

Lingkungan sosial seseorang sering kali memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan belanja. Ketika seseorang dikelilingi oleh teman-teman atau keluarga yang memiliki gaya hidup konsumtif, ada tekanan tersirat untuk ikut serta. 

Sebagai contoh, seseorang yang sering diajak teman-temannya berbelanja atau hangout di tempat-tempat mahal mungkin merasa terdorong untuk membelanjakan uangnya, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Deloitte pada tahun 2021, sebanyak 60% responden menyatakan bahwa pengaruh teman dan keluarga memiliki dampak signifikan terhadap keputusan belanja mereka. Hal ini menegaskan bahwa perilaku belanja seseorang tidak lepas dari dinamika sosial di sekitarnya.

2. Budaya Konsumtif dan Media Sosial

Selain pengaruh langsung dari teman dan keluarga, tekanan dari media sosial juga menjadi faktor penting yang mendorong doom spending. Di era digital saat ini, kita kerap terpapar dengan gaya hidup mewah yang dipamerkan oleh selebritas atau *influencer* di berbagai platform media sosial. Hal ini menciptakan fenomena *fear of missing out* (FOMO), di mana seseorang merasa perlu mengikuti tren atau gaya hidup tertentu agar tidak ketinggalan.

Studi yang diterbitkan oleh Journal of Consumer Research menunjukkan bahwa individu yang lebih sering terpapar konten media sosial terkait konsumsi cenderung lebih impulsif dalam berbelanja. 

Sebanyak 74% responden mengaku melakukan pembelian barang-barang yang tidak mereka butuhkan setelah melihat iklan atau postingan di media sosial.

3. Tekanan Budaya dan Kebiasaan Kolektif

Di banyak masyarakat, ada norma-norma budaya yang mendorong perilaku konsumtif. Misalnya, di beberapa komunitas, belanja barang-barang mewah dianggap sebagai tanda status sosial atau kesuksesan. 

Oleh karena itu, ada tekanan untuk terus meningkatkan standar hidup melalui konsumsi, meskipun secara finansial hal ini tidak selalu memungkinkan. Dalam jangka panjang, tekanan semacam ini dapat memicu doom spending sebagai upaya untuk memenuhi ekspektasi sosial.

Masalah Personal: Impulsif dan Stres yang Buruk

Meski faktor lingkungan memiliki pengaruh yang kuat, masalah pribadi seperti gangguan impulsif dan manajemen stres yang buruk juga memainkan peran besar dalam kebiasaan doom spending. Beberapa individu memiliki kecenderungan untuk mengandalkan belanja sebagai mekanisme koping ketika menghadapi tekanan hidup atau masalah emosional.

 1. Gangguan Impulsif dan Kontrol Diri

Bagi sebagian orang, doom spending dapat dikaitkan dengan gangguan kontrol impulsif. Individu dengan masalah ini sering kali mengalami kesulitan dalam menahan dorongan untuk melakukan sesuatu tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang, termasuk dalam hal belanja. Belanja impulsif menjadi semacam pelarian instan yang memberikan kepuasan sementara, tetapi dengan harga yang mahal.

Penelitian dari American Psychological Association (APA) tahun 2020 menemukan bahwa gangguan kontrol impulsif, seperti *compulsive buying disorder* (CBD), mempengaruhi sekitar 5% populasi dewasa di Amerika Serikat. Individu yang mengalami CBD sering kali merasa sulit mengendalikan dorongan belanja mereka, meskipun sadar akan dampak finansial yang buruk.

2. Stres dan Kesehatan Mental

Selain gangguan impulsif, manajemen stres yang buruk juga menjadi salah satu faktor utama dalam kebiasaan doom spending. Dalam kondisi stres yang tinggi, beberapa orang cenderung mencari pelarian dalam bentuk kegiatan yang memberikan kepuasan instan, seperti berbelanja. 

Aktivitas ini dapat memberikan efek dopamine rush yang membuat mereka merasa lebih baik, meskipun hanya untuk sementara waktu.

Dalam sebuah survei sebanyak 72% responden mengaku bahwa mereka cenderung berbelanja lebih banyak saat merasa stres. Survei ini juga mengungkapkan bahwa belanja sering dianggap sebagai bentuk pelarian emosional yang dapat mengalihkan perhatian dari masalah atau tekanan hidup.

Peran Keseimbangan Antara Lingkungan dan Masalah Personal

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa doom spending merupakan hasil dari kombinasi antara pengaruh lingkungan dan masalah pribadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan sosial, media, dan budaya memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebiasaan belanja seseorang. 

Namun, tanpa kontrol diri yang baik dan kemampuan untuk mengelola stres, individu cenderung lebih rentan terhadap perilaku belanja impulsif.

Dalam mengatasi masalah doom spending, pendekatan yang holistik perlu dilakukan. Pertama, meningkatkan kesadaran akan pengaruh lingkungan dan bagaimana kita merespons tekanan sosial dapat membantu seseorang mengambil keputusan belanja yang lebih bijaksana. Selain itu, manajemen stres dan pengendalian diri harus menjadi fokus utama, terutama bagi individu yang memiliki kecenderungan impulsif.

Cara Mengatasi Doom Spending

Bagi mereka yang merasa terjebak dalam kebiasaan doom spending, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya:

1. Membuat Anggaran Belanja: Salah satu cara efektif untuk mengendalikan kebiasaan belanja impulsif adalah dengan membuat anggaran belanja bulanan. Dengan mengetahui batas pengeluaran, seseorang akan lebih sadar akan kebutuhannya dan dapat mengurangi godaan untuk belanja barang yang tidak diperlukan.

2. Mengelola Stres dengan Cara Sehat: Alih-alih mengandalkan belanja sebagai pelarian dari stres, penting untuk mencari cara lain yang lebih sehat dalam mengelola tekanan hidup. Meditasi, olahraga, atau berbicara dengan teman dan keluarga bisa menjadi cara yang lebih efektif dalam mengatasi stres.

3. Mengurangi Paparan Media Sosial: Mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial atau memilih untuk mengikuti akun-akun yang tidak menekankan gaya hidup konsumtif dapat membantu mengurangi godaan untuk belanja.

Pada akhirnya, doom spending bukanlah masalah yang bisa dijelaskan secara sederhana sebagai akibat dari pengaruh lingkungan atau masalah pribadi saja. 

Kedua faktor ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain dalam membentuk kebiasaan belanja seseorang. Fenomena ini mengingatkan kita agar lebih bijaksana dalam mengelola kebiasaan belanja dan menghindari jebakan doom spending yang merugikan.

Semoga bermanfaat

Leave a comment