Informasi Terpercaya Masa Kini

Apa Itu Frugal Living yang Ramai di Medsos untuk Protes Kenaikan PPN 12 Persen? Cara Kurangi Belanja

0 2

TRIBUNKALTIM.CO – Kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 menjadi sorotan masyarakat.

Kini di medsos ramai ajakan frugal living sebagai protes atas kenaikan PPN 12 persen di tahun 2025.

Sejumlah warganet menyerukan aksi boikot kenaikan PPN 12 persen dengan menerapkan frugal living dan mengurangi belanja.

Ajakan boikot kenaikan PPN 12 persen dan frugal living tersebut menggema di media sosial X atau Twitter dalam beberapa hari terakhir. 

Baca juga: Daftar List Barang yang Dikenakan dan Dikecualikan pada Tarif PPN 12 persen, Per 1 Januari 2025

“Yang pengen ganti HP tahan, yang pengen ganti motor baru tahan, yang pengen ganti mobil baru tahan.

1 tahun aja, jangan lupa pake semua subsidi, gak usah gengsi dibilang miskin, itu dari duit kita juga kok.

 Kapan lagi boikot pemerintah sendiri,” tulis @mal***, Rabu (14/11/2024).

“Boikot pemerintah jalur frugal living struktural.

Cermat dg pengeluaran, beli di warung tetangga/pasar dekat rumah, buat daftar barang2 berpajak yg bisa dicari alternatifnya, minimalkan konsumsi,” tulis akun @us*** pada Kamis (15/11/2024).

Lantas, apa dampak ajakan frugal living dan mengurangi belanja?

Rugikan pemerintah

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, aksi boikot PPN 12 persen dengan hemat dan menolak membelanjakan uang selain kebutuhan pokok, akan sangat merugikan pemerintah.

“Karena kenaikan tarif PPN 12 persen akan jelas mengurangi konsumsi rumah tangga.

Jadi masyarakat hanya punya pilihan berhemat atau mencari subsitusi barang yang harganya lebih murah,” tutur Bhima saat dihubungi Kompas.com, Minggu (17/11/2024).

Baca juga: Pemerintah Diminta Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen Tahun 2025, Menkeu Sri Mulyani sebut Sesuai UU

Karena masyarakat mencari barang berharga murah, kenaikan PPN justru berpotensi membuat peredaran barang ilegal yang tidak dikenai pajak di dalam negeri semakin banyak.

Pasalnya, semakin tinggi pajak yang diterapkan terhadap barang, akan memicu peredaran barang-barang ilegal.

Menurutnya, peningkatan barang impor ilegal akan berpotensi menghilangkan pemasukan pajak untuk negara.

“Ketika pemerintah hanya mengejar kenaikan tarif PPN, efek sampingnya masyarakat mungkin membeli barang-barang yang tidak dikenai tarif PPN,” tegasnya seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.

Di sisi lain, lanjut Bhima, masyarakat yang menghindari tarif PPN 12 persen akan memilih berbelanja di warung-warung kecil.  

Tindakan ini akan mendorong underground economy (ekonomi bawah tanah) atau aktivitas ekonomi yang tidak dipajaki semakin tinggi di Indonesia.

Bhima menambahkan, pemerintah sempat akan memberlakukan pajak terhadap underground economy untuk menambah pendapatan negara dari pajak.

Namun, kenaikan PPN justru memperbesar porsi underground economy.

“Pemerintah sebenarnya ingin rasio pajak naik tapi memukul perekonomian, mengubah pola konsumsi masyarakat, memperbesar underground economy,” tegasnya.

Baca juga: Imbas PPN 12 Persen, Harga Tiket Pesawat Bakal Naik Tahun Depan

Apa Itu PPN?

Dikutip dari Buku Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai (2016), PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya ke konsumen.

Dalam bahasa Inggris, PPN dikenal dengan Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

Pertambahan nilai (value added) suatu barang atau jasa ini berasal dari akumulasi biaya dan laba selama proses produksi hingga distribusi yang meliputi modal, upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik, serta pengeluaran lainnya.

Dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com, PPN merupakan pajak tidak langsung. 

Maksudnya, konsumen sebagai penanggung pajak tidak langsung menyetorkan pajak yang dibayar kepada negara, melainkan pedagang atau pengusaha lah yang melapor.

Pada dasarnya, fungsi PPN sama seperti pajak lainnya, yaitu untuk menambah pemasukan negara dan membiayai pengeluaran program-program yang diterapkan pemerintah.

Dasar hukum PPN di Indonesia

Dilansir dari laman Kemenkeu, dasar hukum PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

UU tersebut telah beberapa kali diubah menjadi UU Nomor  11 Tahun 1994, UU Nomor 18 Tahun 2000, dan terakhir UU Nomor 42 Tahun 2009.

Sementara, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN diatur melalui beberapa Peraturan Menteri Keuangan.

Baca juga: Sri Mulyani Pastikan Tarif PPN 12 Persen Berlaku Mulai Januari 2025 demi Jaga Kesehatan APBN

Tarif PPN di Indonesia Sejak kali pertama UU Nomor 8 Tahun 1983 berlaku, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10 persen. 

Namun,  tarif PPN berubah menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 setelah pemerintah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021.

Sesuai kebijakan baru tersebut, nantinya tarif PPN akan dinaikkan untuk kedua kalinya menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

Dalam UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, pemerintah telah menetapkan objek yang dikenakan PPN, berikut rinciannya:

  • Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
  • Impor BKP
  • Penyerahan JKP dari luar daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha 
  • Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  • Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  • Ekspor BKP berwujud oleh pengusaha kena pajak
  • Ekspor  BKP tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak
  • Ekspor JKP oleh pengusaha kena pajak.

Barang berwujud adalah jenis barang yang memiliki bentuk fisik, seperti barang elektronik, pakaian dan aksesoris, tanah, bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan kemaan, dan kendaraan.

Sementara, barang tidak berwujud meliputi hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana perusahaan, formula rahasia atau merek dagang.

Selain itu, juga mencakup hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah, dan pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial serta komersial.

Baca juga: Resmi, PPN Naik Jadi 12 Persen, Sri Mulyani Ini Sesuai UU, Bukan Kebijakan Membabi Buta

(*)

Ikuti berita populer lainnya di Google News, Channel WA, dan Telegram

Leave a comment