Blak-blakan Sri Mulyani di Balik Keputusan PPN 12 Persen
KOMPAS.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen harus direalisasikan mulai 1 Januari 2025.
Sri Mulyani bilang, meski menulai banyak kontra, penerapan PPN 12 persen tak bisa ditunda-tunda karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun belakangan, pasca-fenomena daya beli masyarakat yang melemah yang ditandai dengan deflasi selama beberapa bulan berturut-turut, banyak pihak yang berharap penerapan PPN 12 persen ditunda.
Misalnya saja saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, pada Kamis 14 November 2024, beberapa anggota dewan pun masih mempertanyakan ke Sri Mulyani apakah PPN 12 persen benar-benar direalisasikan pada tahun depan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu kemudian menegaskan, bahwa pajak PPN 12 persen merupakan bagian krusial dari UU HPP yang sudah disahkan DPR RI dan pemerintah. Sehingga perdebatan UU tersebut di parlemen seharusnya sudah selesai.
Baca juga: Apa Itu PPN yang Bakal Naik Jadi 12 Persen Mulai 1 Januari 2025?
“Jadi kami di sini (pajak PPN 12 persen) sudah dibahas dengan Bapak Ibu sekalian (Komisi XI DPR RI), sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan (pada Januari 2025),” ucap Sri Mulyani.
“Waktu kita bahas juga banyak debat mengenai itu, tapi counter cyclical tetap kita jaga,” tutur lagi.
Kebijakan PPN 12 persen sendiri tertuang dalam dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021. Regulasi itu disusun oleh DPR dan pemerintah di era Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap dari awalnya 10 persen, menjadi 11 persen pada 1 April 2022, naik lagi menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
PPN merupakan salah satu pajak yang wajib dibayarkan masyarakat saat melakukan transaksi jual beli yang masuk dalam ketegori objek BKP (Barang Kena Pajak) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Di banyak negara, PPN dikenal dengan value-added tax (VAT) atau goods and services tax (GST).
Baca juga: Berlaku 2025, Ini Daftar Barang yang Kena dan Tidak Kena PPN 12 Persen
Demi keberlangsungan APBN
Ia melanjutkan, dari sisi keuangan negara, PPN 12 persen juga sudah waktunya untuk direalisasikan. Pemerintah perlu menambah pos-pos penerimaan agar APBN bisa tetap sehat.
Pemberlakukan PPN 12 persen, dari yang semula 11 persen, sudah melalui pertimbangan dan pembahasan panjang, baik di eksekutif maupun legislatif.
“Tapi (penerapannya) dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa. Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” ucap Sri Mulyani.
Dikatakan Sri Mulyani, APBN juga harus kuat untuk mengantisipasi ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global. Kenaikan PPN adalah salah satu instrumennya.
“Pada saat yang lain, APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons dalam episode global financial crisis,” beber dia.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut PPN 12 Persen Sesuai UU, Bukan Membabi Buta
Mengutip Kompas TV, Sri Mulyani bercerita, dirinya juga acapkali sulitnya menentukan kebijakan yang tepat bagi semua pihak.
Ia mengatakan, itu jadi konsekuensi terhadap suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Menurutnya, perbedaan pendapat lazim terjadi terhadap kebijakan pemerintah. Padahal perumusah kebijakan itu telah melalui diskusi panjang serta sidang kabinet bersama Presiden.
“Ini yang menyebabkan kita semuanya harus memahami bahwa setiap instrumen ada konsekuensinya, sama seperti kami membuat kebijakan yang itu adalah hasil dari pembahasan sidang kabinet,” kata Sri Mulyani di depan para anggota Komisi XI DPR RI.
Keberatan pengusaha
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, ia sudah mengusulkan kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk menunda kenaikan pajak PPN 12 persen.
Baca juga: Siap-siap, Harga Tiket Pesawat Naik Tahun Depan Dampak PPN 12 Persen
Menurut Shinta, usulan itu disampaikan sebelum Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto resmi terbentuk.
“Kami juga sudah usulkan dengan adanya kenaikan PPN 12 persen dengan kondisi yang ada saat ini, kami memberikan masukan ke pemerintah untuk menunda (kenaikan PPN 12 persen),” ujar Shinta di Kantor Kemenaker, Jakarta Selatan, pada 22 Oktober 2024.
“Ini kita (usulkan) melalui pemerintah sebelum kabinet terbentuk. Melalui Kemenkeu. Kita sampaikan. Kebetulan kan Menkeu-nya sama,” tambahnya.
Senada dengan Apindo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey mengatakan, para pengusaha ritel tidak setuju dengan rencana kenaikan pajak PPN 12 persen.
Sehingga Aprindo mengusulkan agar rencana kenaikan itu ditunda dalam satu hingga dua tahun mendatang.
“Iya dong (tidak setuju PPN naik). Ini kita baru (selesai) deflasi. Baru mau kembali lagi karena pemerintah mengangkat program-program barunya kan,” beber Roy usai menghadiri peringatan Hari Ritel Nasional 2024 di JiExpo Kemayoran, 13 November 2024.
Baca juga: PPN Tetap Naik Jadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025, Apa Alasannya?
“Jadi jangan, PPN itu harus ditangguhkan. Minimal satu tahun ke depan. Atau kalau bisa dua tahun. Karena sekarang minimal daya belinya bisa kembali dulu, gitu,” ujar dia lagi.
Roy menegaskan, di pemerintahan yang baru ini pengusaha ritel memiliki harapan kondisi ekonomi menjadi lebih baik. Sehingga pengurangan ekspansi yang dialami pengusaha ritel tidak berlanjut.
“Dengan catatan ya, PPN jangan dilakukan. Satu 1 persen itu jadi 12 persen. Itu harus ditangguhkan,” tegasnya.
Roy Mandey mengatakan, produktivitas industri retail nasional biasanya mengalami puncaknya pada momen Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.
Ia menyebut saat ini kondisi deflasi di Indonesia sudah berangsur selesai sehingga mempengaruhi permintaan domestik.
“Kita syukuri deflasi sudah selesai, kita sudah ada inflasi, sudah mulai kembali lagi demand domestik dan kita harapkan di Natal tahun baru, Nataru tentu ada satu hasil yang cukup baik,” kata Roy.
Baca juga: Ini Daftar Barang yang Terdampak dan Tidak Terdampak PPN 12 Persen
“Kita berharap tentunya di tahun depan ini, kita tinggal satu bulan lagi melangkah di tahun 2025 dengan tantangan yang tentunya pasti enggak akan selesai dan belum tentu selesai, tetapi di tengah tantangan biasanya ada peluang,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Roy mengungkapkan saat ini belum ada PHK yang terjadi di industri retail karena memang bukan bersifat padat karya.
Namun, ia mengakui pengusaha ritel ada yang mengurangi ekspansi karena pengaruh deflasi beberapa waktu lalu. Hanya saja menurutnya belum sampai ada ritel yang mengalami pailit.
“Belum ada. Kalau yang mengurangi ekspansi iya. Karena, pelemahan domestik itu. Deflasi. Jadi menahan investasi untuk ekspansi. Tapi kolaps belum,” tutur Roy.
“Jadi di sektor kami ini, kalau ada ritel yang tutup bukan berarti perusahaannya kolaps. Tapi bisa jadi karena mereka relokasi, kemudian bisa saja mereka ingin mengganti format bisnis dari hypermarket jadi supermarket. Perusahaannya sih tetap,” jelasnya.
Baca juga: PPN Naik Jadi 12 Persen, Sri Mulyani: APBN Harus Dijaga Kesehatannya