Apa Itu JOMO, Fenomena Penanding FOMO
TEMPO.CO, Jakarta – Fenomena FOMO atau fear of missing out, ketika seseorang merasa khawatir tertinggal pengalaman seru yang dinikmati orang lain, kini mulai memiliki tandingan dalam bentuk JOMO atau joy of missing out. Jika FOMO membuat seseorang cemas ketinggalan momen-momen menyenangkan, maka JOMO menawarkan ketenangan dalam memilih kegiatan yang lebih memuaskan hati seperti dilansir dari Cleveland Clinic.
JOMO, atau kebahagiaan untuk melewatkan sesuatu, seperti dijelaskan oleh psikolog Susan Albers, PsyD, adalah konsep yang mengutamakan kebahagiaan dan ketenangan batin dengan memilih tidak terlibat dalam kegiatan tertentu demi kepuasan diri.
“Arti JOMO adalah menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam memilih untuk tidak mengikuti aktivitas tertentu serta lebih fokus pada perawatan diri,” kata Dr Albers. Menurutnya, JOMO membantu seseorang secara sadar memilih aktivitas yang benar-benar diinginkan, tanpa tekanan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, JOMO mungkin muncul ketika seseorang memilih untuk tidak menghadiri acara yang sebenarnya tidak ingin dihadiri, seperti pesta ulang tahun yang dirasa hanya sebagai formalitas. Dengan JOMO, seseorang akan fokus pada pilihan pribadi yang mungkin lebih memberikan rasa nyaman, seperti berolahraga atau menghabiskan waktu berkualitas dengan teman dekat.
Dr. Albers juga menjelaskan bahwa JOMO berperan penting dalam mengurangi efek negatif media sosial, yang sering kali menjadi sumber utama dari FOMO. Di era digital, sangat mudah untuk merasa cemas atau iri ketika melihat aktivitas menarik orang lain melalui layar. Menurutnya, salah satu cara untuk mengatasi FOMO adalah dengan mengambil jeda dari media sosial.
“JOMO lebih menekankan pada kualitas kegiatan yang dilakukan daripada kuantitas,” katanya. Dengan mengurangi waktu di media sosial, seseorang dapat fokus pada minat dan tujuan pribadi yang lebih memberikan kepuasan.
Beberapa manfaat JOMO antara lain:
- Meningkatkan produktivitas dan fokus
- Meningkatkan kualitas interaksi dalam hubungan sosial
- Memperbaiki kesejahteraan emosional dan fisik
JOMO: Antara Baik dan Buruk
Walau memiliki dampak positif, JOMO juga bukan tanpa kekurangan. Dr Albers mencatat bahwa FOMO dapat menjadi dorongan positif untuk mencoba hal-hal baru dan keluar dari zona nyaman. Melihat aktivitas orang lain bisa memicu inspirasi dan ide baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya.
Selain itu, JOMO bisa terasa lebih nyaman bagi mereka yang memiliki kepribadian introvert. Dr Albers menyebut bahwa individu introvert cenderung lebih menikmati waktu sendiri dan tidak masalah jika melewatkan banyak acara sosial. Sebaliknya, orang yang memiliki FOMO cenderung berkepribadian ekstrovert, yang menyukai kegiatan sosial dan bersosialisasi.
Idealnya, kehidupan seseorang memiliki keseimbangan antara momen FOMO dan JOMO. “Keduanya memiliki manfaat dan tantangan masing-masing,” kata dia.
Mengubah FOMO Menjadi JOMO
Bagi yang sering mengalami FOMO dan ingin merasakan lebih banyak JOMO, dikutip dari Cleveland, Dr Albers menawarkan beberapa tips.
Pertama, kurangi waktu di media sosial. “Dengan mengurangi waktu di media sosial, perbandingan diri dengan orang lain akan menurun,” ujarnya. Pengurangan ini bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, jika Anda menghabiskan empat jam sehari di media sosial, kurangi menjadi tiga setengah jam, dan secara bertahap turunkan sesuai target.
Kedua, tetapkan batasan. Jika sering merasa kewalahan dengan banyaknya agenda, penting untuk lebih selektif dalam mengalokasikan waktu. Pastikan hanya menghadiri acara atau kegiatan yang benar-benar memberikan kebahagiaan, bukan karena kewajiban sosial semata.
Ketiga, belajar mengatakan tidak. Mengatakan “tidak” adalah langkah penting dalam menjaga batasan. “Tidak apa-apa untuk menolak ajakan,” ujar Dr Albers. Ketika menolak permintaan, cobalah untuk tetap menghargai undangan tanpa harus merasa bersalah atau memberikan alasan panjang.
Mengelola FOMO dan menambah momen JOMO dalam hidup bisa dimulai dengan memilih aktivitas yang benar-benar memberikan kebahagiaan dan kepuasan.
“Sebelum menyetujui undangan, tanyakan pada diri sendiri apakah Anda melakukannya karena takut ketinggalan atau karena benar-benar menginginkannya,” kata Dr Albers.
Dengan jeda untuk mempertimbangkan, seseorang dapat menentukan apa yang membawa kebahagiaan sejati, baik di tengah keramaian maupun dalam kesendirian.
Pilihan Editor: Gaya Hidup JOMO sebagai Solusi Terhindar dari Kecanduan Tren dan Media Sosial