Gusti Nurul Si Jelita yang Diminati Banyak Pria: Dilamar HB IX, Dilirik Sjahrir juga Bung Karno
Gusti Nurul pernah bercerita kepada NOVA bertahun-tahun yang lalu tentang rajinnya dia melakukan tirakat, puasa Senin-Kamis, juga minum jamu yang membuat kulitnya berseri. Dia mengaku pernah patah hati karena tak direstui ayahnya. Juga pernah menolak lamaran orang-orang penting dari HB IX, Sutan Sjahrir, hingga Bung Karno.
Artikel ini digubah dari “Si Jelita Diminta Banyak Pria, Dilamar Sultan HB IX, Dilirik St. Syahrir, juga BK” yang ditulis oleh Sri Mustika, tayang di Tabloid NOVA Februari 1989
—
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-Online.com – Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani alias Gusti Nurul sejatinya ingin melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS/setingkat SMP) begitu lulus dari MULO. Sayang, begitu dia lulus, AMS Solo ditutup dan disatukan dengan AMS Jogja.
Ayahnya, Mangkunegara VII, tidak setuju bila putri kesayangannya itu meneruskan pelajaran di luar kota. Sebagai gantinya, dia menyuruh Gusti Nurul mengikuti pelajaran di Van Deventer School yang sebetulnya sederajat dengan MULO.
Di situ Gusti Nurul hanya mengambil pelajaran-pelajaran keterampilan wanita. Seperti memasak, menjahit, juga menyulam. Itulah kenapa dalam sehari dia hanya mengikuti dua pelajaran, dan itu berlangsung selama dua tahun.
Setelah itu Gusti Nurul mengambil kursus merawat bayi tiga kali seminggu selama setahun. Tak hanya belajar teori, Gusti Nurul juga langsung praktik di RSUP seperti peserta-peserta kursus lainnya. Dia mendapat jatah mengurus bayi-bayi di Kelas III.
Kondisi di Kelas III tentu tak sama dengan Kelas I. Setiap hari dia mengaku harus menahan bau kotoran bayi yang “sedap”-nya minta ampun. Tapi dia tak mengeluh, bahkan justru senang karena mendapat perlakukan biasa dari pihak rumah sakit.
Ingat, bagaimanapun juga, dia adalah anak raja, trah Mangkunegara.
Selain itu, Gusti Nurul juga melakukan kesibukan-kesibukan lainnya. Seperti berlatih piano, atau mengikuti latihan grup musik Hawaian Mangkunegaran yang didirikan oleh kakak-kakaknya.
Kepada NOVA, Gusti Nurul memang menggemari musik dari Hawaii itu. Setiap keluar lagu-lagu baru, dia pasti membeli piringan hitamnya.
Tak direstui sang ayah hingga patah hati
Sebagai anak raja, Gusti Nurul ternyata pernah patah hati juga.
Gusti Nurul adalah sosok yang gemar belajar. Untungnya, sang ayah tak pernah memaksanya untuk menikah dengan siapa pun. Meski begitu, terkadang, sekali-dua Mangkunegara VII mengajukan beberapa calon kepadanya, yang dengan halus ditolak oleh Gusti Nurul.
“Untunglah Ayah mau mengerti. Sungguh aku kagum oleh sikap dan pandangannya yang demikian demokratis,” cerita Gusti Nurul.
Mangkunegara VII ternyata juga pernah menyinggung sosok yang disukai oleh Gusti Nurul. Kali ini, dia yang menolak kehendak putrinya itu. “Aku kurang setuju kamu menikah dengan dia,” katanya. Tak ada penjelasan lain.
Tentu saja itu membuat hati Gusti Nurul bersedih. Siang-malam dia terus memikirkan penolakan ayahnya itu. Untung sang ibu selalu menghiburnya, hingga lama-kelamaan rasa kecewa itu hilang juga.
“Yah, inilah bayarannya menjadi anak raja, mau nikah saja tidak bisa dengan sembarangan orang,” batin Gusti Nurul, sebagaimana dituturkan kepada NOVA.
Mesti tidak bisa menikah dengan lelaki idaman itu, toh Gusti Nurul masih bisa berteman dengan sosok yang sebenarnya masih kerabat itu. Hingga kemudian datanglah lamaran itu, dari orang nomor satu di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX, yang kelak jadi Wakil Presiden RI.
Suatu ketika sang ayah memanggil Gusti Nurul. Dia bilang, Sri Sultan HB IX dari Yogyakarta mengirim utusan untuk menanyakannya. HB IX ingin meminangnya menjadi istrinya. Gusti Nurul pun terkejut mendengarnya.
“Menjadi istri Sultan? Dijadikan permaisuri? Betapa tinggi dan beratnya kedudukan itu. Wanita mana pun kupikir pasti mengidam-idamkannya,” tuturnya. Tapi Gusti Nurul segera ingat harapan sang ibu, supaya jangan sampai dimadu–oleh siapa pun.
Akhirnya Gusti Nurul memberanikan diri mengemukakan keberatannya kepada sang ayah, Mangkunegara VII. Syukurlah, ayahnya bisa menerima alasan keberatannya.
“Barangkali persoalan tak bersedia dimadu ini bisa saja kuajukan kepada Sri Sultan. Dan bukan tak mungkin dia berkenan memenuhi permohonanku. Tapi hati nuraniku tetap mengatakan tidak. Rasanya tak adil bila aku mendesak pada Sultan untuk menceraikan garwa ampilnya. Bagaimanapun pun mereka sesama kaumku,” katanya.
Di lain pihak, HB IX ternyata menerima penolakan itu dengan besar hati. Meski begitu, ketika bertemu, di tetap mendesak ingin tahu kenapa Gusti Nurul menolak lamarannya. “Terus terang saja kukatakan, ‘Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu.’,” katanya.
HB IX hanya tersenyum. Tapi dalam surat-suratnya kepada Gusti Nurul, dia sering mengatakan, sampai kapan pun tak akan mengambil permaisuri.
Walau ada penolakan, hubungan antara keluarga Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran tetap baik-baik saja. Bahkan jauh hari kemudian, setelah Gusti Nurul menikah, hubungannya dengan HB IX tetap tak berubah.
Bagi Gusti Nurul, HB IX sudah dianggap sebagai kakak sendiri yang setiap saat bisa dimintai nasihat. HB IX sendiri juga pernah berpesan, “Kalau ada kesulitan dalam rumah tangga jangan segan-segan datang padaku.”
Walaupun begitu, Gusti Nurul tak pernah datang menemuinya sendiri, pasti ada sang suami yang menemanya. Sebagai informasi, Gusti Nurul akhirnya menikah dengan Raden Mas Soerjo Soejarso pada Mei 1954.
Menurut Gusti Nurul, selama pertemuan dengan HB IX, Sang Sultan ternyata sama sekali tak pernah menunjukkan sikap yang bisa dianggap sebagai memendam rasa terhadapnya. Itulah kenapa sang suami tak pernah cemburu.
Disurati Sutan Sjahrir
Sultan HB IX bukan satu-satunya bangsawan yang mencoba meminangnya. Bangsawan-bangsawan lain juga pangeran-pangeran dari Yogyakarta juga tak kalah tertariknya kepada Gusti Nurul. Tapi sekali lagi, putri Mangkunegaran ini tidak bisa menerima cinta mereka.
Alasannya sama, dia tak ingin dimadu. Suatu ketika saat salah seorang pangeran itu menikah, Gusti Nurul justru berkomentar, “Syukurlah, akhirnya Mas menikah juga.” Tapi jawabnya sungguh tak terduga. “Habis kamu tidak mau. Tapi istriku belum apa-apanya bayanganmu kok.”
Sosok terhormat lain yang pernah mencoba mendekati Gusti Nurul adalah Bapak Bangsa Sutan Sjahrir. Bung Kecil, sebutan Sjahrir, ternyata sering menyuratinya, yang mana sering juga dibalas oleh Gusti Nurul. Meski begitu, hubungan mereka tak berlanjut ke pelaminan.
“Yang menjadi penghalangnya hanyalah masalah partai,” kata Gusti Nurul.
“Sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia, dia tidak mungkin menikah dengan putri bangsawan yang dianggap feodal. Kami toh tetap berteman baik. Setiap kali melawat ke mana-mana, dia tidak lupa mengirimkan cinderamata untukku.”
Sutan Sjahrir biasanya mengiriminya jam tangan, tas, juga selendang sutra sebagai hadiah. Tapi Sjahrir tak pernah mengantarkannya sendiri. Biasanya yang bertindak sebagai “kurir” adalah istri teman akrabnya.
Sjahrir juga pernah mengundang Gusti Nurul dan ibunya ke Linggarjati, tempat bersejarah di mana Perjanjian Linggarjati ditandatangani.
Bung Karno pun tertarik
Tak hanya Sjahrir, Bung Karno juga disebut menaruh ketertarikan kepada Gusti Nurul. Meski begitu, dia mengaku tak pernah mendengarnya secara langsung Bung Besar mengungkapkan isi hatinya.
Cuma, setelah dia menikah, ketika ada kesempatan bertemu dengan Bung Karno, ayah Megawati itu selalu bilang, “”Wah, aku kalah cepat dengan suamimu.” Terkait dengan Bung Karno, Gusti Nurul juga bilang, dasarnya memang bukan jodoh.
Meski tak ada tekanan dalam pernikahan, Gusti Nurul rupanya gelisah juga, terlebih karena usianya semakin bertambah. “Masyarakat tentu bertanya-tanya mengapa aku terlambat menikah, padahal calon sudah begitu banyak. Mungkin juga ada sekelompok orang yang menganggapku terlalu memilih-milih. Namun sejauh itu tak pernah ada orang yang menanyakan langsung padaku. Mungkin mereka takut menyinggung perasaanku,” ceritanya.
Hingga suatu ketika, ibunya meminta Gusti Nurul untuk melakukan tirakat mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Walau berat, Gusti Nurut menuruti nasihat ibunya itu. “Akhirnya Tuhan memang memberikan petunjuk. Antara sadar dan setengah tidur aku melihat wajah pria yang sudah cukup lama kukenal,” katanya.
Pemuda itu masih kerabat dengan Gusti Nurul juga. “Tapi aku sempat sanksi, jangan-jangan itu cuma kembangnya orang tidur. Apalagi waktu itu dia masih menjalani pendidikan militer di Negeri Belanda. Di sana siapa tahu dia juga sudah kecantol dengan noni-noni Belanda yang lincah dan bebas bergaul.”
—
Singkat cerita, Gusti Nurul akhirnya menikah dengan seorang anggota militer bernama Raden Mas Soerjo Soejarso pada 24 Maret 1954. Ketika itu usia Gusti Nurul sudah 33 tahun. Di kalangan militer, suami Gusti Nurul adalah sosok yang berpengaruh.
Sebagai seorang tentara, Soerjo Soejarso pernah mengenyam pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Belanda. Setelah proklamasi, dia diangkat menjadi kepala Inspektorat Kavaleri Angkatan Darat. Dari pernikahannya dengan Sujarso Surjosurarso, Gusti Nurul memiliki tujuh anak.
Setelah menikah, Gusti Nurul keluar dari keraton pura Mangkunegaran, dan memilih tinggal di Bandung, Jawa Barat. Di sana dia menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal dunia pada 10 November 2015. Gusti Nurul meninggal dunia setelah dirawat selama tiga pekan di Rumah Sakit St Carolus, Bandung.