Bukan Cuma Soal Ekonomi, Malas Nikah Karena Skeptisme dari Medsos!
Fenomena menurunnya angka pernikahan bukan hal baru. Pada tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pernikahan hanya mencapai 1.577.255, turun sebanyak 128.093 dari tahun 2022 yang mencapai 1.705.348 pernikahan. Tren ini telah berlangsung sejak 2019 (Kompas).
Menurut Prof. Dr. Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, ada perubahan besar dalam masyarakat modern, terutama bagi perempuan.
Perempuan kini lebih mandiri karena memiliki akses pendidikan yang lebih luas dan kesempatan kerja yang lebih terbuka. Dengan bekal pendidikan dan pendapatan yang mereka hasilkan sendiri, ketergantungan pada laki-laki untuk urusan ekonomi pun berkurang.
Lebih lanjut Prof. Bagong mengamati bahwa kondisi ekonomi laki-laki saat ini pun tidak terlalu ideal. Lapangan pekerjaan semakin sempit, dan persaingan semakin ketat, membuat mereka sulit mendapatkan penghasilan yang benar-benar mapan.
Kombinasi antara kemandirian perempuan dan kondisi ekonomi yang challenging ini, membuat banyak perempuan enggan terburu-buru menikah.
Bagi saya ada satu aspek lain yang sering luput dari pembahasan ini, yaitu media sosial! Dunia media sosial kini sering kali lebih dari sekadar platform komunikasi. Medsos kini nyaris alih fungsi sebagai benchmark atau acuan untuk menilai kehidupan, termasuk konsep pernikahan.
Di era ini, masalah rumah tangga seolah bukan lagi sesuatu yang disembunyikan rapat-rapat di dalam rumah. Sebaliknya, konflik atau drama rumah tangga kini dipertontonkan ke publik dan dikonsumsi lintas generasi.
Pernahkah Anda scrolling media sosial dan melihat postingan yang berisi keluhan tentang pasangan yang malas bekerja, pasangan yang diduga selingkuh, mertua yang toxic, atau bahkan masalah-masalah pribadi lainnya seperti urusan ranjang?
Fenomena “oversharing” ini menciptakan kesan bahwa pernikahan itu penuh dengan drama dan jauh dari kata bahagia. Tidak heran, bagi banyak orang yang belum menikah, citra pernikahan yang demikian justru membuat mereka skeptis.
Media sosial nyaris menjadi benchmark yang sangat kuat, dan tidak sedikit orang menganggap tayangan konflik pernikahan di sana sebagai cerminan “realita” yang berlaku umum.
Mereka yang belum menikah—khususnya generasi yang dibesarkan bersama media sosial—mungkin tidak memiliki kemampuan untuk memfilter informasi itu dengan baik. Seolah-olah, ketika satu orang mengeluhkan rumah tangganya di media sosial, semua pernikahan di dunia ini juga sama kacaunya.
Satu hal yang perlu diingat, media sosial hanya memperlihatkan sebagian kecil dari kisah besar pernikahan seseorang. Ia menampilkan akhir konflik, tanpa menyajikan proses penyelesaian atau usaha yang mungkin sudah dilakukan di balik layar.
Efek dari penggambaran yang tidak utuh itu menciptakan persepsi bahwa pernikahan memang penuh dengan risiko dan problematika yang berat. Alhasil, banyak yang akhirnya menunda hingga mengurungkan niat untuk menikah.
Lebih parah lagi, mereka yang sudah skeptis kadang terjebak dalam “bias konfirmasi”—mereka cenderung mencari konten yang sesuai dengan pandangan negatif mereka tentang pernikahan, dan mengabaikan sisi positif dari kehidupan pernikahan yang tidak berlebihan diekspos di media sosial.
Kondisi itu semakin memperkuat anggapan bahwa pernikahan bukanlah jalan hidup yang diidamkan, melainkan perjalanan panjang yang akan dipenuhi dengan konflik.
Dulu, ada kata-akat bijak yang mengatakan, “Rumah tangga itu ibarat nasi, makin tertutup makin matang.” yang berarti hubungan rumah tangga yang baik adalah hubungan yang menjaga privasinya.
Namun, di era medsos, pepatah ini kalah pamor dengan tren oversharing tadi. Semua hal, mulai dari debat soal siapa yang harus mencuci piring hingga masalah serius tentang perceraian, diumbar ke publik. Dan semua ini bisa diakses oleh siapa saja, termasuk mereka yang masih dalam tahap mencari jati diri dan mempertimbangkan pernikahan.
Selain itu, ada pula konsep psikologis yang mendukung bahwa eksposur berulang pada tayangan-tayangan di medsos dapat membentuk persepsi kita. Ketika media sosial terus-menerus menampilkan sisi suram pernikahan, lama-kelamaan publik pun akan menganggap bahwa itulah realita semua pernikahan.
Persepsi semacam itu perlahan membangun skeptisisme terhadap sebuah pernikahan, terutama di kalangan muda.
Lalu, bagaimana menyikapi konten rumah tangga di media sosial agar tidak ikut terpengaruh? Jawabannya adalah bijak dalam memilih apa yang kita lihat.
Kita bisa memfilter akun-akun yang kita ikuti, memastikan bahwa yang kita lihat adalah tayangan yang konstruktif dan tidak melulu menampilkan aib.
Kita pun bisa memilih untuk mengikuti konten yang menampilkan sisi pernikahan yang sehat, dengan masalah yang disertai dengan solusi yang baik.
Selain itu, sebagai pengguna media sosial, kita harus menyadari bahwa tidak semua yang kita lihat adalah cerminan kehidupan nyata.
Mereka yang sering mengunggah masalah rumah tangga di media sosial mungkin hanya menampilkan sebagian kecil dari keseluruhan cerita mereka. Penting bagi kita untuk menjaga pikiran agar tidak terperangkap dalam narasi negatif yang dibangun oleh segelintir orang.
Pada akhirnya, Angka Pernikahan Turun bukan lagi soalan ekonomi dan kesiapan mental saja. Tapi ada tambahan variabel baru berupa skeptisme terhadap pernikahan itu sendiri akibat paparan konten-konten “aib rumah tangga” tadi.
Jadi, kalau sampai kita atau orang di sekitar kita merasa skeptis terhadap pernikahan, setidaknya kita tahu dari mana perasaan itu berasal.
Di zaman ini, menikah atau tidak menikah adalah pilihan yang sangat pribadi. Namun, jika ketakutan untuk menikah hanya berasal dari paparan konten negatif di media sosial, mungkin sudah saatnya kita lebih bijak dalam memilah informasi.
Sebab, kehidupan pernikahan seharusnya bukanlah tontonan untuk umum. Seperti kata pepatah modern, “Apa yang terjadi di dapur, biarlah tetap jadi urusan dapur.”