Informasi Terpercaya Masa Kini

Romansa STOVIA, Cerita tentang Perjuangan Pemuda dari Berbagai Suku Bangsa untuk Meraih Cita-Cita

0 8

Buku ini saya dapatkan di Gramedia kira- kira sebulan yang lalu. Buku yang sangat menarik, karena saya belum  pernah membaca novel sejarah dengan latar belakang STOVIA. 

Sedikit tentang STOVIA

STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera didirikan pada tahun 1849.

Latar belakang pendirian sekolah ini adalah karena kondisi kesehatan masyarakat Betawi yang memburuk karena sakit malaria.

Para dokter tidak bisa menangani pasien dengan baik karena jumlah dokter sangat sedikit.

Karena mendatangkan dokter langsung dari Belanda memerlukan biaya yang mahal akhirnya Dr Willem Bosch akhirnya mengusulkan agar pemerintahan Hindia Belanda mendidik pemuda pemuda Jawa menjadi tenaga kesehatan.

Pada tahun 1849 dibangunlah sekolah kedokteran di Hindia Belanda dengan nama Sekolah Dokter Jawa berlokasi di Welvetreden.

Lulusan sekolah ini nantinya akan menjadi asisten dokter atau mantri cacar, karena selain menghadapi wabah malaria, Batavia juga terjangkit wabah cacar.

Pada 1902 Sekolah Dokter Djawa semakin berkembang dan berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. 

Dari namanya sudah mulai tampak bahwa yang bersekolah di sini bukan hanya orang Jawa saja

Pada 5 Juli 1920 seluruh kegiatan pendidikan STOVIA secara resmi dipindahkan ke jalan Salemba yang  sekarang kita dengan “Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia”.

Novel dengan setting waktu 1918-1928 ini bercerita tentang perjuangan empat sekawan yaitu Yansen, Hilman, Arsan dan Sudiro selama bersekolah di STOVIA untuk mewujudkan cita cita mereka menjadi seorang dokter.

Keempatnya berasal dari latar belakang yang berbeda. Yansen berasal dari Minahasa, Hilman dari Sunda, Arsan pemuda Minang dan Sudiro dari Jawa.

Banyak peristiwa mewarnai perjuangan mereka yang akhirnya semakin mempererat persahabatan keempatnya untuk bersama berjuang mewujudkan cita-cita.

Selain bercerita tentang perjuangan meraih cita cita buku setebal 350 halaman  ini bercerita meraih perjuangan untuk meraih kesetaraan. 

Di mana pada saat itu terjadi perbedaan perlakuan pada orang Jawa, ya, orang Jawa harus selalu memakai blangkon dan tidak boleh bersepatu.

Kesetaraan pada perbedaan agama juga disinggung di sini yaitu di bagian Ramadan, di mana siswa yang beragama Islam secara sembunyi sembunyi ingin gembira merayakan datangnya Ramadhan dengan bermain petasan. Dan bisa ditebak, Mereka ketahuan dan mendapatkan hukuman dari pihak sekolah.

Dalam buku ini ditunjukkan bahwa jalan untuk meraih cita cita tidaklah mudah. Cobaan dan rintangan datang silih berganti.

Tentang Arsan yang hendak dinikahkan oleh ninik mamaknya, Sudiro yang ayahnya menjadi korban gempa besar di Purworejo, Hilman yang terlibat cinta dengan seorang nyai, juga Yansen yang terlibat perkelahian dengan Hilman karena nyai tersebut ternyata adalah mantan kekasihnya di Minahasa.

Ditulis di bagian belakang bahwa novel ini adalah perwujudan keinginan pengarangnya untuk memberikan pendidikan sejarah pada generasi muda, dan Sania Rasyid berhasil untuk itu.

Sebagai novel berlatar sejarah buku ini sangat enak untuk dinikmati. Bahasanya mengalir ringan dengan dialog-dialog yang berisi, dan bisa menggambarkan suasana yang terjadi di kisaran tahun 1918-1928.

Lalu bagaimana dengan perjuangan keempatnya dalam meraih cita cita? Apakah mereka berhasil menjadi dokter atau menyerah pada segala cobaan yang mendera? 

Novel yang menggambarkan perjuangan dan kekompakan kaum muda di tahun tahun itu sangat cocok dibaca saat sekarang kita sedang dalam semangat merayakan Sumpah Pemuda. 

Ya, di tangan pemudalah masa depan bangsa ini terletak. Perjuangan, tekad dan kegigihan para pemuda sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman yang datang tiada henti.

Salam Kompasiana 

Leave a comment