Hindari Plagiarisme pada Era Teknologi Digital, Dosen Ilkom Unika Atma Jaya Ajak Mahasiswa Berpikir Kritis
KOMPAS.com – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru yang semakin kompleks, terutama dalam hal pengembangan kemampuan berpikir kritis di kalangan peserta didik.
Dosen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya (UAJ) Lisa Esti Puji Hartanti mengaku sering dihadapkan dengan fenomena yang semakin marak, yakni penggunaan alat kecerdasan buatan (AI), seperti ChatGPT, oleh mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka.
Ia menceritakan pengalaman yang dialaminya baru-baru ini adalah saat seorang mahasiswa bertanya tentang parafrase kalimat dalam pembuatan tugas makalah.
“Maaf Ibu, saya tidak dapat menulis bagus, jadi saya menggunakan ChatGPT untuk membuat makalah. Supaya tidak kedeteksi AI, apakah saya harus parafrase kalimatnya?”. Pertanyaan ini langsung membuat Lisa berpikir lebih dalam tentang dampak teknologi terhadap proses belajar.
Baca juga: Menginspirasi, Guru Sejarah di Flores Timur Gunakan Sampah Sebagai Media Belajar
Seperti yang diungkapkan oleh filsuf modern ternama Perancis abad ke-17 (tahun 1596-1650), René Descartes, “Cogito Ergo Sum,” yang berarti “Aku berpikir, maka aku ada.”
Pada dasarnya, keberadaan seseorang diakui melalui kemampuan berpikirnya. Namun, dengan hadirnya teknologi internet dan berbagai alat digital, pemaknaan ini seakan bergeser menjadi, “I click, therefore I am” atau “Saya mengklik, maka saya ada.”
Artinya, semakin banyaknya klik, termasuk salin-tempel (copy-paste) kalimat tanpa proses berpikir yang mendalam, seolah menentukan eksistensi seseorang, bukan lagi melalui cara berpikir atau kreativitasnya.
Hal tersebut menciptakan tantangan besar bagi pendidikan, yaitu peserta didik lebih mengandalkan kemudahan teknologi ketimbang berpikir secara kritis.
Baca juga: Menteri UMKM Meminta Pengusaha UMKM Adopsi Teknologi Digital
Menurut Lisa, perkembangan teknologi akan terus memengaruhi cara kita berinteraksi dan berpikir.
“Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis harus dilatih. Berpikir kritis membantu seseorang untuk menilai dan memikirkan kembali apa yang perlu dilakukan atau dipercaya,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (26/11/2024).
Untuk itu, lanjut Lisa, lingkungan yang mendukung sangat penting, mulai dari keluarga, teman, hingga sekolah atau universitas.
Ia mengungkapkan bahwa pendidikan memiliki peran besar dalam membentuk kemampuan kognitif, sosial, dan emosional seseorang.
Baca juga: Sering Ngobrol dengan Warga, Dharma Pongrekun: Saya Mau Jalin Hubungan Emosional
“Oleh karena itu, penting untuk memperkenalkan konsep etika berinternet kepada para peserta didik. Etika ini mencakup pedoman mengenai cara yang baik dan benar dalam berperilaku di dunia maya, yang telah disepakati oleh kelompok masyarakat,” imbuh Lisa.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa di dunia digital, ada istilah netiket yang mengacu pada tata krama dalam menggunakan internet untuk komunikasi dan pertukaran data.
Netiket ini, kata dia. menekankan pentingnya kebebasan berpikir, menghormati hak pribadi orang lain, membangun hubungan sosial yang baik, dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi orang lain.
Baca juga: Rektor Uhamka: Desain Kurikulum Perlu Integrasikan Teknologi dan Kemampuan Berpikir Kritis
“Untuk mendukung peserta didik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pendidik bisa mengajarkan mereka cara-cara untuk berpikir mandiri, seperti dengan memberikan studi kasus atau diskusi yang mendorong mereka untuk berpikir lebih dalam,” ucap Lisa.
Selain itu, lanjut dia, penting juga untuk mendidik mereka tentang etika dalam menggunakan internet, seperti menghindari plagiarisme atau copy-paste.
Pendidik, sebut dia, juga perlu mengenalkan konsep hak cipta (copyright), agar peserta didik memahami bahwa karya yang dihasilkan melalui pemikiran mereka sendiri berhak untuk dilindungi.
Baca juga: Gibran Apresiasi Pemrograman Mesin MPS Karya Siswa SMKN 7 Semarang
“Netiket harus selalu diajarkan agar peserta didik tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Dengan cara ini, kemampuan berpikir reflektif mereka bisa terus dilatih dan berkembang, yang pada gilirannya akan membentuk karakter berpikir yang lebih kritis,” imbuh Lisa.
“Mari kita terus tekankan bahwa eksistensi manusia sejati terbentuk melalui proses berpikir dan kreativitas, bukan hanya dengan mengandalkan mesin,” sambungnya.