Alasan Orang Asia Kurang Tertarik Gunakan AI Dibanding Warga Eropa dan Amerika
Investasi kecerdasan buatan alias AI (artificial intelligence) di Asia Tenggara tengah naik daun, tapi adopsi penggunanya masih belum semasif di Eropa dan Amerika Serikat. Founding Partner AppWorks, Jamie Lin, menyebut
adopsi ini terhalang harga dan model kecerdasan bahasa atau large language models (LLM).
Lin menyebut jumlah pengguna mingguan ChatGPT terbaru berkisar 250 juta pengguna secara global. Angka ini masih jauh dibandingkan dengan total populasi 8 miliar penduduk global.
“Secara global, angka pengguna ChatGPT tidak akan sebesar yang dibayangkan. Angka ini bakal bertambah, tapi tidak akan sebesar itu,” ujar Lin pada Tech in Asia Conference yang diadakan di Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (23/10)
Asia mulai melihat peluang AI 2.0 alias LLM ini pada dua tahun lalu saat OpenAI merilis ChatGPT. Menurut Lin, saat itu beberapa lembaga dan perusahaan mulai mengembangkan LLM versi mereka.
Lin lalu menjelaskan Asia sebenarnya tidak berada di belakang Eropa dan Amerika untuk pengembangan AI. Bahkan beberapa komunitas di Asia, yang tidak ia elaborasi lebih lanjut, lebih canggih dibanding dua benua ini.
Menurut Lin terdapat dua hal yang menghalangi adopsi AI di Asia. Pertama, LLM tidak terlalu paham dengan bahasa lokal Asia. “Sehingga kegunaannya lebih sedikit dibanding di negara yang berbahasa Inggris,” ujarnya.
Kedua, banyak lembaga pengembang AI menetapkan harga lebih mahal bagi negara-negara berpendapatan kecil seperti Asia, maupun Asia Tenggara.
Di sisi lain, Founder dan Chief Investment Officer 3Cap, Esther Wong, menilai saat ini pengembangan AI di Asia masih membutuhkan banyak investasi di bidang infrastruktur agar bisa berkembang lebih besar.
Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara yang menjadi sasaran investasi terbaik karena harga listriknya murah. Pasokan listrik yang murah menjadi penting karena AI menggunakan banyak listrik untuk memproduksi token. Mulai dari software, hardware, dan metode bisnis.
Lalu, pemerintah Malaysia dan Indonesia sangat terbuka dengan investasi. Regulasinya juga tidak memberatkan investasi dari negara luar.
“Saya percaya Asia Tenggara tidak telat terlibat dalam infrastruktur AI. Alasan ada sedikit organisasi AI di Asia Tenggara adalah masalah bahasa, investasi, dan harga,. Ini adalah topik penting” ujarnya.
Meski demikian, beberapa perusahaan teknologi besar telah berinvestasi di infrastruktur AI yakni pusat data. Mulai dari Microsoft yang berinvestasi US$ 1,17 miliar atau Rp 26,3 triliun di Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur cloud dan AI. Investasi ini diumumkan pada April 2024 lalu, seiring dengan pelatihan A bagi 840.000 warga Indonesia. Ini adalah investasi tunggal terbesar Microsoft di Indonesia selama 29 tahun terakhir
Di Malaysia, Microsoft berinvestasi lebih besar yakni US$ 2,2 miliar atau Rp 34,3 triliun untuk memperluas infrastruktur dan melatih penggunaan AI bagi 200 ribu warga setempat.
Pada Mei lalu, Google juga berinvestasi US$2 miliar alias Rp 30,5 triliun untuk membangun pusat data dan kawasan cloud pertama di negeri jiran. Di Indonesia, Google beri hibah US$ 2 juta atau Rp 30,5 miliar untuk mengembangkan kemampuan AI bagi 200 ribu petani.
Awal tahun, Nvidia juga mengucurkan duit US$ 4,3 miliar atau Rp 66,5 triliun untuk mengembangkan infrastruktur AI. Sasarannya untuk mempercepat pengembangan LLM bahasa Melayu.