Kisah Ulama yang Wafat saat Sedang Sholat,Pendiri Dua Pesantren Besar di Banten
TRIBUNBANTEN.COM – Wafat atau meninggal dunia dalam keadaan ‘Husnul Khotimah’, atau dalam keadaan baik, sholeh, beriman dan bertaqwa, terutama wafat dalam keadaan sedang beribadah salat, merupakan impian bagi setiap kaum muslimin dan muslimat.
Salah satu tokoh yang meninggal dalam keadaan salat, adalah KH Ahmad Rifai Arief.
Dia adalah seorang kiyai, perintis dan pendiri Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Pondok Pesantren La Tansa, Pondok Pesantren Sakinah La Lahwa, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STIE dan STAI) La Tansa Mashiro.
Baca juga: Megahnya Ponpes Daar El-Qolam, Pesantren Terbesar di Banten yang Punya JPO Khusus Santriwati!
KH Ahmad Rifai Arief lahir 30 Desember 1942, dan meninggal 16 Juni 1997, pada umur 54 tahun.
Kiyai yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo itu wafat pada usia yang belum terlampau tua akibat serangan jantung, dalam keadaan sedang melakukan ibadah sholat dzuhur.
MasyaAllah, sungguh hal tersebut merupakan kematian yang diinginkan oleh setiap ummat Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wa salam.
Pada Tahun 1997 semua karya-karya KH Ahmad Rifa’i Arief, Pesantren Daar El-Qolam, La Tansa, La Lahwa, dan Perguruan Tinggi La Tansa Mashiroh sudah berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Namun, beliau sadar bahwa karya-karya itu akan semakin menambah beban dan fikirannya.
Meskipun ia menyerahkan kepada kader-kadernya, bukan berarti ia meninggalkannya sama sekali.
Ia mesti mengunjungi 3 institusi pendidikan yang dibangunnya kecuali Daar el-Qolam yang memang dekat dengan rumahnya.
Pada masa itulah ia selalu pergi balik ke Gintung–Rangkasbitung atau Gintung–Labuan yang berjarak lebih kurang 35 KM.
Setiap kali pergi untuk mengawasi pondok-pondoknya, Rifa’i selalu diantar oleh supir pribadinya, Wawan Ridwan.
Selain berkunjung ke pondok-pondoknya, Rifa’i juga disibukkan dengan undangan acara atau pertemuan tertentu.
Namun, ia tidak berkenan memenuhi undangan ceramah di luar pondoknya sendiri, kecuali yang menjemputnya adalah santri-santrinya.
Pada tahun 1997, lebih kurang 200 rancangan mengajar (i`dad) santri kelas terakhir mesti ia koreksi.
Setelah I`dad itu mendapat kelulusan dari musyrif pertama pertama dan keduanya. Jika telah mendapatkan kelulusan dari kiyainya, mereka baru boleh mengajar itupun masih diawasi oleh musyrif pertama dan keduanya.
Selain itu acara yang cukup menyibukkan setiap tahun ialah Khutbah al- Wada` dan Tafwîdl al-Syahâdah.
Pada acara tersebut, ia mesti menyampaikan khutbah terakhirnya di hadapan para santri dan orang tua mereka, sekaligus menyerahkan ijazah sebagai tanda berakhirnya pelajaran para santri kelas akhir di pondok pesantren.
Pada hari Sabtu 14 Juni 1997 M, di Pondok Pesantren La Tansa ia menyampaikan khutbah atau nasihat terakhirnya di hadapan santri dan orang tua mereka.
Setelah itu ia kembali ke rumahnya di Gintung, karena esoknya ia mesti menyampaikan “kuliah etiket” kepada santri-santrinya yang akan pulang ke rumah mereka dalam rangka libur akhir tahun ajaran 1996/1997.
Pada Ahad 15 Juni 1997 pukul 07.00 pagi, Kiyai Rifa’i menuju aula pondok.
Wajah kira-kira 2000 santri Daar el-Qolam kelihatan ceria menunggu kedatangan beliau, apalagi hari tersebut adalah dimulainya liburan akhir tahun pelajaran.
Mereka tidak sabar mendengar pesan dan nasihat kiyainya sebagai bekal mengisi masa liburan di rumah.
Para guru juga sudah menunggu beliau di depan pintu sekretariat pondok.
Sekitar pukul 07.15 pagi, beliau datang memakai jas biru tua dengan baju putih dan celana panjang dengan warna yang sama dengan jasnya.
Dasi dan peci menambah keserasian busananya pagi itu.
Seperti biasa ia memberikan nasihat kepada santri-santrinya tentang bagaimana mengisi masa libur dengan baik.
Pukul 09.00 pagi, beliau telah selesai memberikan ceramah, kemudian meninggalkan aula dan kembali ke rumahnya.
Di rumahnya sudah menunggu beberapa orang tua murid yang juga hendak berpamitan pulang membawa anaknya.
Setelah itu beliau istirahat di kamarnya, sebelum itu ia minta dipijat oleh anaknya, Ahmad Faisal Hadziq.
Pada pukul 1.30 siang, Faisal mengetuk pintu kamar ayahnya. Ia hendak memberitahu bahwa ada tamu yang telah menunggunya.
Tamu tersebut adalah Ibu Farida Hanum, yang selama itu bekerjasama dengan beliau dalam program pembelajaran komputer untuk para santrinya.
Ibu Farida datang dihantar adik iparnya, Ade Zamzami.
Ketika anaknya (Faisal) membuka pintu kamarnya, ia terperanjat, sebab melihat ayahnya terbaring di atas sajadah dengan pakaian salat (berkain dan berpeci).
Kemudian ia memanggil ibu dan saudara-saudaranya yang ada di sekitar rumah.
Kiyai Rifa’i langsung dilarikan ke rumah sakit ‘al-Qadr’, Karawaci, Tangerang yang berjarak sekitar 20 km dari rumahnya.
Kiyai Rifa’i dibawa oleh anaknya Faisal, didampingi dengan Ustadz Ali Mudzakir.
Setibanya di rumah sakit tersebut, dokter menyatakan bahwa ia telah meninggal dunia akibat serangan jantung.
Hari itu, Ahad 15 Juni 1997, pukul 12.30 tengah hari ribuan orang berbondong-bondong mendatangi rumah beliau.
Berita kematiannya muncul pada siaran berita terakhir Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI). Jenazah almarhum disemayamkan di rumahnya.
Keesokan harinya, Senin 16 Juni 1997, pukul 10.00 pagi beliau dimakamkan.
Surat kabar nasional Republika, juga memberitakan kematiannya pada 17 Juni 1997.
Selanjutnya, pada hari Selasa 17 Juni 1997 M, diadakan musyawarah keluarga yang membahas penerus beliau sebagai pimpinan pesantren.
Musyawarah itu dihadiri juga Kiyai Abdullah Syukri Zarkasyi, anak dari guru Rifai, Kiyai Imam Zarkasyi.
Kiyai Abdullah Syukri adalah sahabat Kiyai Rifai ketika belajar di pondok Gontor, yang juga salah seorang dari 3 pimpinan pondok Gontor.
Ia diangkat oleh badan wakaf Gontor untuk menggantikan ayahnya yang meninggal dunia pada tahun 1985.
Semasa hidupnya, Kiyai Rifa’i sering berjumpa dengan Kiyai Syukri, baik di Gontor ataupun di tempat-tempat lain. Begitu pula Kiyai Syukri beberapa kali mengunjungi pondok Kiyai Rifa’i.
Kiyai Rifa’i memang tidak menyampaikan wasiat kepada keluarganya, tetapi ia pernah menyampaikannya kepada Pak Syukri, bahwa yang kelak akan menggantikannya ialah adik lelaki beliau yaitu Ahmad Syahiduddin dan anak lelakinya Adrian Mafatihullah Karim.
Musyawah tersebut memutuskan pengganti beliau seperti yang diwasiatkan kepada Kiyai Syukri.
Kiyai Syahiduddin kemudian meminta kepada kakaknya, Nyai Hj. Enah Huwaenah untuk membantunya mengurus santri-santri putri.
Setelah salat dzuhur langsung diadakan pelantikan di masjid pondok. Ahmad Syahiduddin dan Enah Huwaenah adalah lulusan angkatan pertama pondok pesantren Daar el-Qolam.
Baca juga: Indahnya Ponpes La Tansa, Pesantren Modern Terindah di Banten, Ini Lokasi
Sementara itu, Adrian, putra Rifa’i, juga lulusan pondok yang sama pada angkatan ke-17.
Akhirnya mereka bertiga yang melanjutkan kepemimpinan Ahmad Rifa’i Arief.
Dengan demikian, ladang dakwah yang dibuat dan digarap oleh Kiai Rifa’i akan terus subur dan menuai hasil, dan terus mencetak santri-santri yang berkualitas, yang mampu merawat tradisi dan merespon modernisasi.