Informasi Terpercaya Masa Kini

Sartono Kartodirdjo, Begawan Sejarah Indonesia Bekas Tetangga Ibu Tien Soeharto

0 9

Sartono Kartodirdjo, begawan sejarah Indonesia. Ternyata pernah jadi tetangga Ibu Tien Soeharto saat masih sekolah dulu.

Intisari-Online.com – Berbicara tentang penulisan sejarah di Indonesia, rasanya kita bisa lepas dari sosok Sartono Kartodirdjo, sosok asketik yang dilabeli sebagai begawan sejarah Indonesia. Pria kelahiran Wonogiri itu disebut-sebut sebagai pioner tulisan sejarah yang bercorak Indonesiasentris.

Ternyata Intisari pernah melalukan wawancara ekslusif dengan penulis Pemberontakan Petani Banten 1888 itu. Di bawah ini adalah kisah Sartono yang ditulis oleh Mulyawan Karim dengan judul “Sartono Kartodirdjo, Ahli Sejarah Bekas Tetangga Ibu Tien”, tayang di Majalah Intisari edisi Februari 1986 (dengan sedikit penyuntingan).

Sartono Kartodirdjo, Ahli Sejarah Bekas Tetangga Ibu Tien

Waktu ditemui Intisari dia baru saja pulang dari Negeri Belanda untuk menghadiri sebuah seminar. Mengikuti seminar, di dalam maupun di luar negeri, adalah kegiatan yang masih terus dilakukan Sartono Kartodirdjo (ketika itu 64 tahun) sejarawan Indonesia paling senior saat ini.

Di samping itu, saat itu, dia juga masih punya setumpuk kegiatan lain, mulai dari melayani wawancara dari berbagai media massa sampai mengajar di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (sekarang FIB UGM).

Melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah adalah pekerjaan rutin Sartono. Ketika itu dia tengah menggarap buku teks sejarah Indonesia, yang sudah mulai dilakukannya beberapa tahun sebelumnya, ketika dia menjadi guru besar tamu di Netherlands Institute for Advanced Study (NIAS) di Wassenaar, Negeri Belanda.

Membaca dengan peralatan tukang arloji

Melihat sosok Sartono ketika itu orang tak akan percaya bahwa dia masih mampu berperan aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah. Selain usianya yang saat itu sudah memasuhi usia uzur, Sartono juga menderita kelainan retina (selaput jala) di kedua belah matanya, terutama mata kanan.

Penyakit yang telah dideritanya sejak kecil ini makin lama makin parah dan menyebabkannya hampir tak dapat melihat sama sekali. Baru setelah ia menjalani operasi di Boston, Amerika Serikat, pada 1973, penglihatannya menjadi agak lumayan.

Sampai sekarang, untuk dapat membaca dengan baik Sartono masih harus melengkapi diri selain dengan kaca matanya yang tebal, juga dengan sebuah kaca pembesar seperti yang dipakai tukang arloji dan sebuah lampu baca yang ekstra terang.

Mata awas yang sebenarnya jadi syarat mutlak yang harus dimiliki seorang sejarawan tampaknya tak berlaku bagi Sartono. Dengan mata yang cuma bisa melihat samar-samar ia mencapai kesarjanaannya di Universitas Indonesia, meraih gelar master di Universitas Yale, Amerika Serikat, dan menggondol gelar doktor di Universitas Amsterdam, Negeri Belanda, pada 1966.

Tantangan mesti dijawa

“Justru karena itu saya merasa ditantang untuk membuktikan bahwa saya masih mampu berprestasi dan tak kalah dengan mereka yang muda-muda,” jawab Sartono saat itu waktu ditanya pengaruh usia dan kesehatannya pada kegiatan kerjanya.

Bagi Sartono, hidup memang berarti menjawab semua tantangan.

Ketika diterima menjadi mahasiswa Fakultas Sastra UI, dia memutuskan memilih Jurusan Sejarah karena jurusan ini kurang peminatnya, sehingga dianggapnya sebagai kekosongan yang perlu diisi. Teman-teman seangkatannya, seperti R.P. Soejono, pernah jadi kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Harsojo, guru besar antropologi yang telah almarhum, memilih jurusan-jurusan lain.

Pulang dari studi di luar negeri tahun 1967, sebenarnya dia bisa saja bekerja di Jakarta, menjadi peneliti di Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia alias MIPI (sekarang BRIN) atau mengajar di UI. Namun, Sartono memilih tinggal dan bekerja di Yogyakarta, kota yang pada masa itu boleh dikatakan belum memiliki pusat-pusat kegiatan ilmiah, di mana ia bisa berkarier.

“Waktu itu saya berpikir, kok semua yang baik cuma ada di Jakarta. Padahal, di luar Jakarta ilmu ‘kan juga harus dikembangkan,” kata Sartono.

Karena itulah dia lalu menerima tawaran dari Universitas Gadjah Mada untuk menjadi pengajar tetap di sana. Salah satunya berkat Sartono, Jurusan Sejarah UGM menjadi salah satu lembaga pendidikan sejarah yang boleh dibilang terbaik di tanah air.

Sejarawan-sejarawan terkemuka lain, seperti Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo, tak lain adalah bekas mahasiswa atau promovendus yang pernah dibimbing Sartono.

“Mengapa saya berusaha menyusun buku sejarah Indonesia, tak lain ya untuk menjawab tantangan juga,” kata Sartono tentang bukunya yang akan segera terbit itu. Kualitas buku-buku sejarah Indonesia yang ada dianggap Sartono masih kurang memuaskan. Kalaupun ada yang baik, menurut Sartono, itu biasanya ditulis oleh sejarawan asing. “Kan aneh kalau kita harus mengacu pada karya-karya asing setiap kali kita berbicara tentang sejarah kita sendiri,” tambahnya lagi.

Sikap Sartono yang selalu berusaha menjawab tantangan yang dihadapinya menyebabkan dia disebut sebagai Toynbee-an oleh rekan-rekannya. Istilah ini diambil dari nama sejarawan terkenal Inggris, Arnold J. Toynbee, yang mengembangkan konsep challenge and response untuk menganalisis proses-proses sejarah.

Tetangga Ibu Tien

Dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah, 1921, Sartono adalah anak ketiga dari lima orang bersaudara. Bersama Sartono, dua orang kakaknya merupakan hasil perkawinan pertama ayahnya, sedang kedua adiknya adalah hasil perkawinan yang kedua. Ayahnya menikah kembali setelah ibunya meninggal dunia ketika Sartono masih kecil.

Sartono adalah satu-satunya anak laki-laki dari dua perkawinan ayahnya ini.

Berbeda dengan Sartono yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, kedua kakak kandungnya memilih hidup sebagai biarawati. Kakak tertuanya, Stanislas alias Sarsini, dianggap Sartono sebagai orang yang sangat mempengaruhi hidup dan pikirannya, terutama dalam soal-soal kerohanian.

Waktu Sartono masih duduk di sekolah dasar, Sarsini-lah yang memindahkannya dari HIS (Hollands Inlandsche School) milik gubernemen di Wonogiri ke HIS milik misi Katolik di Solo, hanya semata-mata karena ia menginginkan adiknya mendapat porsi pendidikan agama lebih banyak.

Juga berbeda dari dua kakaknya, kedua adiknya kini hidup berumah tangga, satu tinggal di Semarang, sedang yang lain tinggal di Jakarta. Adiknya yang terkecil, seorang dokter hewan, menikah dengan Mohammad Soerjani, pernah menjadi kepala Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia (PSL-UI).

Kartodirdjo, nama belakang Sartono, ternyata bukan nama ayahnya. Menurut Sartono nama itu diambilnya dari nama seorang leluhurnya yang berasal dari Solo, yang, konon, merupakan seorang pengikut Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Nama ini baru dipakainya setelah ia dewasa.

“Habis, orang yang namanya Sartono ‘kan banyak,” katanya sambil menyebut nama Sartono lain, ahli paleontologi di ITB, sebagai contoh.

Nama ayah Sartono sendiri adalah Tjitrosarojo, seorang posterij ambtenaar, pegawai jawatan pos zaman kolonial. Jabatan ayahnya inilah yang memungkinkan Sartono bersekolah di HIS, yang tak semua anak pribumi bisa memasukinya. Di HIS ini Sartono menjadi kakak kelas dari Suhartinah, anak tetangganya yang kini jadi Ibu Negara kita. “Salah satu guru saya waktu itu adalah Pak Prodjo, ayahnya Pak Umar Kayam.”

Ketika jadi siswa HIS Sartono sebenarnya tinggal hanya bertiga saja bersama ayah dan ibunya di rumah mereka yang besar. Kedua kakaknya sudah tidak tinggal lagi di Wonogiri, karena bersekolah guru (Kweekschool) di Mendut.

Namun, Sartono ingat bahwa pada masa itu banyak saudara sebayanya yang ikut tinggal bersama orangtuanya, karena mereka juga bersekolah di HIS yang cuma satu-satunya di Wonogiri. “Kalau tak salah di rumah kami pernah mondok sampai enam belas orang saudara yang orang tuanya tinggal di daerah-daerah lain,” Sartono mengenang.

Selain Suhartinah, yang biasa dipanggil Bu Tien”, dan Oemar Seno Adji, kakak kelasnya yang kemudian pernah menjadi ketua Mahkamah Agung, Sartono tidak ingat lagi siapa teman-teman lain dari masa HIS-nya di Wonogiri. Ini karena ketika duduk di kelas enam ia dipindahkan ke HIS Katolik Purbayan di Solo.

Pak Guru kecantol Bu Guru

Tamat HIS pada 1935 dia melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMTP sekarang. Di sini ia hanya sempat duduk di kelas satu, karena pada tahun berikutnya ia pindah ke Muntilan untuk masuk HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool), sekolah guru.

Setelah lulus HIK pada Juni 1941, Sartono langsung mengajar di HIS Muntilan. Baru tiga bulan, ia dialihtugaskan ke Salatiga, tempat ia tinggal selama enam tahun berikutnya. Sartono berusaha tetap menjalankan peranannya sebagai guru, meski setelah beberapa bulan ia tinggal di Salatiga pecah Perang Asia Timur Raya, yang menyebabkan kota diduduki pasukan Jepang.

Di Salatiga Sartono juga mulai memperlihatkan minatnya berorganisasi. Ia menjadi ketua AMKRI (Angkatan Muda Katolik Republik Indonesia), salah satu dari belasan organisasi pemuda di Jawa Tengah pada masa itu. Sartono juga pernah menjadi sekretaris jenderal dari gabungan organisasi-organisasi ini.

“Yang jadi ketua saya lupa siapa, tapi wakil ketuanya adalah Soetinah, yang kemudian pernah jadi Inspektur Jenderal di Departemen P dan K,” Sartono mencoba mengingat-ingat rekan-rekan aktivis kala itu.

Banyak kejadian dari masa itu masih diingat Sartono dengan baik. Dengan bersemangat ia menceritakan bagaimana organisasi yang dipimpinnya pernah menyelenggarakan perayaan hari Kartini yang pertama pada tahun 1946, “Saya sebagai ketua betul-betul puas. Semua pekerjaan dilakukan dengan baik oleh panitia. Saya tak usah ikut sibuk dan tinggal mengawasi saja,” kata Sartono bangga.

Yang membuat kenangan di Salatiga bertambah manis adalah karena pada masa itu Sartono juga bertemu dengan seorang gadis yang kemudian menjadi teman hidup abadinya. Sri Kadarjati, nama gadis itu, juga seorang guru dan rekan Sartono di AMKRI. Sri yang lulusan Huishoudschool, Sekolah Kepandaian Putri, lahir di Purwodadi dan kemudian tinggal di Semarang bersama orangtuanya. Serangan tentara Jepang atas Semarang menyebabkan ia dan keluarganya mengungsi ke Salatiga.

Perang Kemerdekaan I, yang meletus 1947, memaksa orang di Salatiga untuk mengungsi lagi. Sri dan keluarganya, juga Sartono, mengungsi ke Yogyakarta, yang pada masa itu jadi ibu kota RI. Di Kota Gudeg ini Sartono dan Sri setahun kemudian menikah pada tanggal 6 Mei 1948.

Waktu menyunting Sri sebagai istri Sartono sudah kembali bekerja sebagai guru. Kalau di Salatiga ia mengajar di HIS, yang sejajar dengan SD sekarang, maka di Yogya Sartono mengajar di SMP. Ia tinggal di Yogya sampai tahun 1950, saat ia memutuskan untuk melanjutkan studi ke UI di Jakarta.

Tahun 1950 itu, bersama Sri tentunya, Sartono hijrah ke Jakarta dan belajar sebagai mahasiswa sejarah. Untuk menghidupi keluarganya, selain belajar Sartono juga mengajar di SMA Santa Ursula, di Lapangan Banteng.

Kesibukannya sebagai mahasiswa dan guru tampaknya tak bisa mengurangi minat lama Sartono dalam berorganisasi. Hampir semua waktu luang yang tersisa digunakan Sartono untuk bergiat di PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), organisasi di mana ia menjadi anggota dan aktivis sampai ia menjadi sarjana pada awal tahun 1956.

Selalu sepuluh untuk sejarah

Lulus dari UI Sartono mula-mula bekerja di MIPI, sekarang LIPI, sebagai tenaga peneliti, dan kemudian di IKIP Bandung dan UGM sebagai dosen sejak tahun 1959. Tahun 1962 ia meninggalkan semua kegiatannya ini, karena menerima beasiswa untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat dan, kemudian, Negeri Belanda.

Disertasinya yang berjudul The Peasant Revolt of Banten 1888 (terbit dalam bahasa Indonesia dengna judul Pemberontakan Petani Banten 1888) juga menawarkan sesuatu yang revolusioner dalam perkembangan Ilmu Sejarah di tanah air. Ia merombak tradisi penulisan sejarah Indonesia yang telah ada, yang sebenarnya tak lain sejarah kaum penjajah di Indonesia.

Dalam disertainya Sartono justru berusaha menunjukkan peranan sejarah dari bangsa Indonesia sendiri. Apa yang ingin dicapai Sartono melalui karya tulisnya ini adalah mengembangkan pendekatan sejarah yang Indonesiasentris. Selain ketajaman analisisnya, kebaruan pendekatannya inilah yang menyebabkan ia dianugerahi nilai cum laude.

Tulisan sejarah Indonesia pada umumnya adalah tulisan tentang sejarah politik, di mana dibahas peranan sejarah dari tokoh-tokoh tingkat nasional. Namun, Sartono lebih berminat pada sejarah sosial yang bersifat lokal, yang kurang mendapat perhatian dari para sejarawan lainnya.

Disertasinya, misalnya, membicarakan tentang petani, golongan masyarakat yang paling rendah, yang seringkali tidak dianggap sebagai faktor yang menentukan jalannya sejarah. Tapi penelitian Sartono justru menyimpulkan hal yang sebaliknya. Petani bukanlah golongan yang selalu pasif sebagaimana yang selalu dibayangkan, tapi bisa juga menjadi partisipan aktif yang menentukan sejarah.

Pulang dari studi di luar negeri pada 1967 Sartono mulai tinggal di Yogyakarta. Selain menjadi dosen di UGM, Sartono juga mulai sibuk dengan berbagai jabatan lain yang dipercayakan padanya. Dia misalnya pernah menjadi koordinator Komite Nasional UNESCO dan menjadi tenaga peneliti senior pada Institute of Southeast Asian Studies di Singapura.

Sartono dikukuhkan sebagai guru besar sejarah di UGM pada 1968. Usaha untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam dunia akademik dan pendidikan ini, sadar atau tidak, telah dirintisnya sejak di sekolah dasar. “Entah kenapa. Tapi buku pertama yang ingin saya miliki waktu itu adalah buku sejarah. Saya tetap ingin membelinya meski harganya mahal dan harus memesan terlebih dulu,” Sartono mengenang kecintaannya pada sejarah waktu ia kecil.

“Sejak di HIS sampai lulus HIK saya juga selalu mendapat nilai sepuluh dalam ujian sejarah.” Jadi masuk akal kalau kemudian ia juga mendapat nilai tinggi untuk disertasinya dan menempati peringkat teratas dalam deretan sejarawan Indonesia.

Dijuluki si Karel I

Meski dikenal sebagai pekerja keras dan orang yang serius, tapi Sartono bukan robot. Di sela-sela kesibukan sehari-harinya Sartono masih sempat mengurusi berbagai kegemaran pribadinya. Ketika masih muda ia sangat gemar akan drama dan musik klasik.

“Saya malah pernah menjadi anggota sebuah orkes klasik sebagai pemain biola,” katanya saat itu. Sekarang tak ada waktu lagi untuk menggesek biola sendiri, dan Sartono hanya menjadi pendengar setia dari acara musik klasik BBC saja. Sartono juga mengaku memiliki koleksi yang lumayan dari kaset rekaman musikus-musikus kesayangannya, seperti Bach dan Tchaikovsky.

Kondisi kesehatan matanya telah membuat Sartono di ujung masa tuanya tak dapat lagi menikmati pertunjukan drama. Padahal sebelumnya dia bukan cuma gemar menonton, tapi juga pernah menyutradarai sendiri beberapa lakon yang dibawakan oleh murid-muridnya ketika ia mengajar di SMP dan SMA.

Masih segar dalam ingatan Sartono kenangan ketika ia menyutradarai anak didiknya memainkan sebuah lakon Cina yang dianggapnya sangat bagus dan dramatik. Drama yang berjudul Chang Ku Tang itu mengisahkan dua orang guru dan murid yang terpaksa harus saling bertarung dalam Perang Bokser di awal abad ke-20 ini.

Kesukaan lain dari Sartono adalah mengoleksikan benda-benda yang dianggapnya menarik, mulai dari kertas surat dari berbagai hotel sampai boneka dari berbagai negara. Mengumpulkan perangko bahkan sudah mulai dilakukannya sejak ia kecil.

“Sayang koleksi cincin cerutu saya yang juga saya kumpulan sejak kecil sudah hilang entah di mana,” katanya. Kegemarannya yang terakhir inilah yang mungkin menyebabkannya sempat dijuluki Karel, sebuah merek cerutu, oleh seorang guru HIS-nya.

Pemilik 100 m buku

Namun, tak ada hal lain yang dikoleksi Sartono secara serius dan besar-besaran kecuali buku. “Selain karena sejak dulu memang gemar membaca, saya selalu berusaha melengkapi koleksi buku saya, karena perpustakaan-perpustakaan kita tak bisa diandalkan. Untuk melakukan penelitian dan menulis saya harus menyandarkan diri pada perpustakan pribadi saya,” Sartono menjelaskan.

“Hampir semua toko buku penting di Leiden, Den Haag, Amsterdam, Paris dan Berkeley pernah saya hampiri,” tambah Sartono yang selalu membawa pulang paling tidak sepuluh buah buku sebagai oleh-oleh, jika bepergian ke luar negeri.

Berapa banyak buku yang dimiliki Sartono sekarang? “Persisnya saya tidak tahu, tapi kalau dijajarkan panjangnya tak kurang dari 100 meter,” kata Sartono. Ini belum termasuk satu lemari bukunya yang ia titipkan pada salah seorang kerabatnya di Semarang. Begitu cintanya Sartono pada buku, sampai-sampai Dharmono, bekas mahasiswanya yang kini juga mengajar di Jurusan Sejarah UGM, mengatakan sambil bercanda, “Istri pertama Pak Sartono ‘kan buku.”

Ingin menulis novel

Hingga masa tuanya, Sartono tinggal di kompleks perumahan dosen UGM, beberapa puluh meter saja dari gedung Fakultas Sastra dan Kebudayaan tempatnya mengajar. Meski tak mewah, rumahnya yang tua dan cukup besar nampak bersih dan terawat. Halaman rumah penuh dengan berbagai tanaman hias yang menyejukkan.

Sehari-hari Sartono sebenarnya bisa bekerja di kantor Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan atau di ruang Jurusan Sejarah, tapi bagi Sartono tak ada tempat lain yang lebih nyaman untuk bekerja kecuali di rumah. Dalam ruang perpustakaan pribadinya ia bisa duduk sampai berjam-jam untuk membaca atau menulis.

Selain karena dia telah memiliki sendiri fasilitas perpustakaan yang memadai, Sartono juga jadi betah bekerja di rumah karena ia bisa selalu berada dekat Sri dan cucu-cucunya. Kemampuan melihat Sartono yang minim telah menjadikan mereka asisten-asisten pribadinya dalam bekerja.

Mereka mencarikan buku yang diperlukan, membacakan koran atau majalah dan mengetikkan tulisan-tulisan yang dibuatnya (karena Sartono tak suka mengetik). “Bahkan, cucu sayalah yang biasanya membacakan skripsi mahasiswa yang perlu saya koreksi,” kata Sartono sambil senyum. Ketiga cucunya masih kecil, baru duduk di sekolah dasar.

Dua anak Sartono, Nimpuno dan Roswita, ternyata tak ada seorang pun yang mengikuti jejak sang ayah sebagai sejarawan. Nimpuno, meski pernah duduk di Fakultas Hukum UGM, sekarang sibuk berwiraswasta, sedang Roswita sejak kawin menghentikan kuliahnya di Fakultas Psikologi dan menjadi ibu rumah tangga.

“Saya memang tak pernah menuntut apa-apa dari mereka. Bakat dan keinginan orang ‘kan berbeda-beda,” Sartono menjelaskan. Tak hanya rumah Sartono yang mencerminkan kesederhanaan dan kerendahan hatinya. Ia sendiri selalu tampil bersahaja. Baju batik lengan pendek dan sandal kulit adalah bagian dari pakaian sehari-harinya.

“Masih banyak yang ingin saya lakukan. Tapi yang jelas saya akan terus menulis, baik karya ilmiah, artikel untuk koran atau majalah. Saya juga bercita-cita menulis novel,” Sartono menceritakan rencananya setelah pensiun nanti.

“Namun, sekarang saya’ belum sempat memikirkan apa judul dan ceritanya,” tambah Sartono tentang calon novelnya itu. Ia memang selalu ingin melakukan sesuatu, karena yakin hasilnya tak akan sia-sia. “Every effort has its own reward,” begitu kata Sartono.

Leave a comment