Francisca Fanggidaej, Nenek Reza Rahadian yang Perjuangannya Dihapus Sejarah
KOMPAS.com – Francisca Fanggidaej adalah nenek dari aktor Reza Rahadian, yang turut berjuang demi kemerdekaan Indonesia sejak usianya masih muda.
Namanya jarang ditemukan dalam jajaran pejuang perempuan Indonesia, karena memang tidak diberi tempat oleh rezim Orde Baru.
Hidup Francisca Fanggidaej penuh liku, terutama setelah malapetaka besar yang mengikuti peristiwa G30S 1965, yang diklaim didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena latar belakang politik dan stigma komunis yang melekat padanya, Francisca Fanggidaej yang tengah mengemban misi di luar negeri, sempat “hilang” bersamaan dengan pembersihan unsur-unsur PKI oleh rezim Soeharto.
Ia tidak bisa pulang ke negerinya sendiri, pernah ditolong oleh Fidel Castro (diktator Kuba), menjadi eksil selama hampir 40 tahun, dan baru bisa pulang ke Indonesia pada 2003.
Berikut ini kisah Francisca Fanggidaej
Baca juga: Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama di Indonesia
Lahirnya Putri “Belanda Hitam”
Francisca Casparina Fanggidaej lahir pada 16 Agustus 1925 di Noel Mina, Pulau Timor.
Ia merupakan putri dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej, seorang kepala pengawas Burgerlijke Openbare Warken (sekarang Dinas Pekerjaan Umum).
Pekerjaan sang ayah membuat Sisca -panggilan akrab Francisca Fanggidaej- dan keluarganya kerap dipanggil “Belanda Hitam”, karena statusnya secara hukum sama dengan orang Belanda.
Meski bisa bersekolah bersama anak-anak keturunan Belanda, Sisca kecil gusar akan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di sekitarnya.
Kegelisahan dalam dirinya itulah yang menumbuhkan kesadaran antikolonialisme dan membuatnya terjun langsung untuk berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, Sisca mulai aktif terlibat diskusi dengan pemuda-pemuda Maluku.
Baca juga: Sri Koesnapsijah, Penulis Perempuan yang Terimbas Penumpasan G30S
Memperjuangkan kemerdekaan di forum internasional
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Francisca Fanggidaej berjuang bersama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya.
Mengutip BBC News Indonesia, Francisca turut menghadiri Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Yogyakarta pada 10-11 November 1945.
Kongres tersebut berjalan di hari yang sama dengan memuncaknya Pertempuran 10 November di Surabaya.
Alhasil, Francisca segera meninggalkan Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang di Surabaya.
Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Yogyakarta melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKPRI), yang mewadahi seluruh organisasi kepemudaan.
Dalam naungan BKPRI, Francisca bersama Yetty Zain menjalankan siaran Radio Gelora Pemuda di Madiun, Jawa Timur, untuk melawan propaganda NICA yang datang ke Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Saat itu, Francisca bertugas mengurusi siaran dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
Baca juga: Biografi Dewi Sartika, Pahlawan Perintis Pendidikan Perempuan
Francisca juga berperan penting dalam upaya diplomasi di kancah internasional pada awal kemerdekaan.
Pada 1947, ia menjadi delegasi Pesindo dalam acara World Youth and Students Festival di Praha, Cekoslowakia, yang digelar oleh World Federation of Democratic Youth (WFDY) dan International Union of Students (IUS).
Dalam acara ini, Francisca berkampanye tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya kemudian berlanjut ke Yugoslavia dan Hongaria.
Pada 1948, Francisca terlibat dalam The Conference of Youth and Students of Southeast Asia Fighting for Freedom and Independence di Kolkata, India.
Namun, sebagian sejarawan menganggap konferensi ini adalah ajang bagi Uni Soviet dan Cominform untuk menyebarkan kebijakan luar negeri barunya ke Asia Tenggara.
Meski tidak terbukti demikian, beberapa saat sesudah konferensi terjadi pemberontakan komunis di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
Francisca pun turut ditangkap akibat peristiwa Pemberontakan PKI Madiun 1948, dan dipenjara di Gladak, Surakarta, Jawa Tengah.
Ia lolos dari hukuman mati karena sedang hamil anak pertama yang kemudian dinamai Nilakandi Sri Luntowati.
Suaminya yang pertama, Sukarno, ditembak mati bersama rombongan Amir Sjarifuddin, pada 19 Desember 1948.
Baca juga: Peran Amir Sjarifuddin dalam Sejarah Indonesia
Menjadi Eksil Pasca-G30S
Setelah Peristiwa Madiun 1948, Francisca sempat memimpin Pemuda Rakyat, SOBSI, dan Gerakan Wanita Indonesia.
Menjelang Konferensi Asia Afrika (1955), Francisca mengawali karier sebagai wartawan kantor berita Antara.
Bersama rekan-rekan wartawan, ia mendirikan INPS (Indonesian National Press Service).
Pada 1957, Francisca ditunjuk Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), dari wakil golongan wartawan.
Sebagai anggota DPR-GR di Komisi Luar Negeri, ia ikut dalam rombongan Presiden Soekarno menghadiri persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA) ketiga di Aljazair, pada 1964.
Pada 1965, Francisca terbang ke Helsinki, Finlandia, untuk menghadiri Konferensi Perdamaian Sedunia.
Ketika peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus dan PKI segera dituding sebagai dalang utama yang mengakibatkan sejumlah jenderal TNI AD tewas, Francisca sedang bertugas di luar negeri.
Pandangan “antek komunis” yang tidak pernah lepas dari Francisca sejak akhir 1940-an, membuatnya turut menjadi korban perburuan para pelaku G30S yang dijalankan rezim Soeharto.
Baca juga: Mengapa PKI Dipercaya sebagai Dalang G30S?
Suami Francisca, Supriyo, yang bekerja sebagai jurnalis kantor berita Antara, ditangkap tidak lama setelah peristiwa itu. Rumahnya disita dan isinya dijarah.
Supriyo dipenjara selama 12 tahun (bebas tahun 1978) tanpa diadili karena dikaitkan dengan pilihan politik Francisca.
Selama itu, tujuh anak Francisca yang masih kecil, diselamatkan dan dirawat oleh keluarga dekatnya.
Melansir BBC News Indonesia, dalam memoarnya berjudul Perempuan Revolusioner (2006), yang ditulis oleh bekas tahanan politik 65, Hersri Setiawan, Francisca menyebut peristiwa G30S seperti halilintar di siang bolong.
Pada 28 Oktober 1965, ia menghadiri Kongres Organisasi Jurnalis Internasional di Chile. Sejak itu, Francisca tidak lagi bisa pulang ke Indonesia.
Ketika menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, pada Januari 1966, paspornya sudah dianggap tidak berlaku.
Di Indonesia, tujuh anaknya tumbuh dewasa di bawah asuhan kerabatnya, dan harus bertahan hidup di tengah stigma masyarakat terhadap mereka akibat propaganda Orde Baru mengenai PKI maupun simpatisannya.
Baca juga: Akhir Hidup Soekarno: Lengser Usai G30S, Dimakamkan Soeharto di Blitar
Tidak hanya itu, mereka tidak mengetahui apakah Francisca masih hidup atau tidak.
Foto-foto Francisca bahkan ditempel di tempat umum, dilengkapi dengan narasi “tangkap hidup atau mati Francisca”.
Dari Kuba, Francisca bisa berpindah ke beberapa negara berkat paspor sementara pemberian Fidel Castro.
Ia sempat tinggal di China selama hampir 20 tahun, dan akhirnya mendarat di Belanda pada 1985.
Barulah setelah Francisca menetap di Belanda, anak-anaknya mendapatkan kepastian tentang kabarnya dan bisa berkirim surat.
Pada 1993, Francisca pertama kalinya bertemu sang putri, Maya, di Belanda, setelah hampir 30 tahun terpisah.
Kendati demikian, status eksil Francisca membuatnya tidak bisa leluasa bertemu anak-anaknya, apalagi hidup bersama.
Setelah Reformasi 1998 dan runtuhnya rezim Soeharto, presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mempersilakan para eksil untuk pulang.
Baca juga: 7 Teori Dalang G30S
Sejak itu, Francisca baru leluasa bertemu dengan anak-anaknya. Ia akhirnya menginjakkan kakinya lagi di Indonesia pada 2003.
Francisca Fanggidaej tetap tinggal di kediamannya di kota kecil Zeizt, Belanda, hingga akhir hayatnya pada 13 November 2013, dalam usia 88 tahun.