Pemerintahan Jokowi Buat Simulasi Kenaikan Pajak 12 Persen,Segini Besaran Kenaikannya,Dampaknya?
BANGKAPOS.COM–Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat simulasi terkait dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Kenaikan ini direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025, sesuai dengan aturan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Sedang dihitung. Sudah kita simulasikan. Kira-kira potensinya berapa, kemudian dampaknya ke sektor usaha juga, karena kan harus berlaku di Januari 2025,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, di kantornya, Senin (5/8).
Susiwijono menjelaskan bahwa simulasi ini mencakup potensi penerimaan pajak yang diperkirakan bisa bertambah hingga Rp 70 triliun.
Namun, peningkatan penerimaan ini perlu mempertimbangkan kemampuan bisnis dan sektor industri.
“Kalau dampak potensinya kan gampang hitungnya, naik dari 11 persen ke 12 persen itu kan berarti naik 1 % . 1 per 11 itu kan katakan 10 % , total PPN kita realisasi setahun Rp 730-an triliun, berarti kan tambahnya sekitar Rp 70-an triliun,” jelasnya.
Pemerintah juga masih mengkaji rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 % , mengingat ada usulan dari para pengusaha untuk menunda kenaikan ini.
“Justru karena ada harapan dari Kadin (menunda PPN 12 % ) itu kita kaji kembali,” tambah Susiwijono.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai bahwa kenaikan PPN menjadi 12 % pada tahun depan hanya akan menyumbang sekitar Rp 110 triliun pada penerimaan pajak, atau mendorong rasio pajak sebesar 0,23 % saja.
Meski penerimaan dari kenaikan PPN cukup besar, dorongan pada rasio pajak dinilai masih minim.
“Sehingga kita perlu hati-hati dalam menentukan target rasio pajak,” tutur Fajry kepada Kontan, Kamis (25/7).
Fajry juga menilai bahwa untuk mendorong rasio pajak, tidak bisa hanya mengandalkan kenaikan tarif pajak saja, melainkan paling besar ditentukan oleh kondisi struktur ekonomi.
Berdampak ke Berbagai Sektor
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mengkaji dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 % terhadap perekonomian Indonesia.
Ia menilai bahwa keputusan menaikkan PPN kurang tepat untuk meningkatkan penerimaan negara dalam kondisi ekonomi yang sulit.
“Keputusan menaikkan PPN jadi 12 % kurang tepat untuk menaikkan penerimaan negara, karena ini bisa berdampak ke segala sektor yang kena PPN. Harusnya saat ekonomi susah, pemerintah memberikan stimulus,” kata Purbaya saat ditemui di Jakarta belum lama ini seperti dikutip ari Kontan.co.id
Purbaya menambahkan, kenaikan tarif PPN menjadi 12?rpotensi menekan konsumsi rumah tangga.
Padahal, pengeluaran konsumsi rumah tangga memainkan peran sangat penting dalam perputaran ekonomi negara.
“Kenaikan ini juga akan berdampak pada perbankan. Jika konsumsi rumah tangga tertekan seiring dengan naiknya inflasi, maka masyarakat akan enggan menyimpan dananya di bank karena dananya lebih banyak dikeluarkan untuk kebutuhan pokok hingga membayar cicilan,” ujarnya.
Senada dengan Purbaya, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin, juga mengkhawatirkan efek domino yang akan ditimbulkan dari kenaikan tarif PPN tersebut.
“Kenaikan ini terutama akan berdampak pada sektor riil, di mana harga barang kebutuhan akan naik, konsumsi akan tertekan, dan ini membuat masyarakat enggan menyimpan uangnya,” kata Amin kepada Kontan.
Di sisi lain, barang-barang konsumtif maupun jasa yang terkena PPN akan berdampak pada permintaan kredit perbankan.
Saat konsumsi tertekan, industri sektor riil akan membatasi produksinya, yang juga akan berdampak pada permintaan kredit untuk operasional maupun ekspansi usaha.
Produk Perbankan
Produk perbankan yang terkena biaya PPN antara lain investasi untuk segmen wealth management, safe deposit box, dan Kredit Pembiayaan Perumahan (KPR), tidak terkecuali Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), meskipun biaya ini dibebankan kepada nasabah.
“Produk bank yang akan terkena adalah KPR, tapi sampai akhir tahun ini KPR masih bebas PPN untuk yang di bawah Rp 2 miliar,” tambahnya.
Pemerintah memang memberikan insentif stimulus bagi segmen perumahan demi membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah, salah satunya dengan pembebasan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) yang berlaku sampai akhir 2024.
Sebelumnya, tarif PPN telah naik dari 10 % menjadi 11 % sejak tahun 2022, dan perbankan telah mengimplementasikan aturan kenaikan tersebut pada produk-produk layanan yang terkena PPN, termasuk biaya transaksi obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, serta biaya instrumen di Bank Indonesia.
Kenaikan PPN menjadi 11 % ini juga berimbas pada naiknya biaya layanan bank seperti sewa safe deposit box (SDB) atau robotic safe deposit box (RSDB).
PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon) saat ini masih menerapkan tarif PPN 11 % sesuai aturan yang berlaku.
Consumer Funding & Wealth Business Head Danamon, Ivan Jaya, mengatakan bahwa jika kenaikan tarif PPN menjadi 12 % diberlakukan mulai tahun depan, pihaknya akan sepenuhnya mengikuti aturan tersebut untuk diimplementasikan kepada produk-produk bank yang terkena PPN.
“Danamon memastikan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 % tidak akan terlalu signifikan membebani nasabah untuk subscription fee reksa dana. Namun ke depannya, kami tentunya akan mengevaluasi berbagai skenario dan strategi untuk melakukan penyesuaian pada layanan yang kami tawarkan dari seluruh produk Bank,” kata Ivan.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk, Lani Darmawan, mengatakan bahwa kenaikan PPN dari 10 % menjadi 11 % tahun lalu tidak terlalu berdampak signifikan terhadap minat nasabah untuk berinvestasi pada produk-produk wealth management di CIMB Niaga.
“Sejauh ini, kami tidak melihat dampak dari 11 % pajak terhadap produk investasi di wealth management,” katanya kepada Kontan, Jumat (22/3).
Lani menambahkan bahwa pihaknya akan melihat lebih lanjut dampak penerapan PPN 12 % pada tahun depan.(*)
Artikel ini diolah dari Kontan.co.id