Bangladesh Akhirnya Ubah Aturan Kuota PNS Selepas Ratusan Tewas dalam Kerusuhan
KOMPAS.com – Mahkamah Agung Bangladesh akhirnya mengumumkan perubahan aturan kuota pegawai negeri sipil (PNS) yang memicu bentrokan dan kerusuhan di Bangladesh sejak awal Juli 2024.
Kejadian itu disebabkan pemerintah Bangladesh menyediakan kuota PNS sebesar 30 persen untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh 1971. Hal ini membuat para mahasiswa marah dan berunjuk rasa.
Kerusuhan Bangladesh kini diperkirakan telah menyebabkan sedikitnya 115 orang meninggal dunia, seperti diberitakan BBC, Minggu (21/7/2024).
Untuk meredakan bentrokan, pemerintah Bangladesh memberlakukan jam malam dan mengerahkan patroli tentara. Jaringan internet dan seluler juga diputus di seluruh negeri.
Namun, meski aturan kuota PNS diubah, para pengunjuk rasa menegaskan mereka tetap akan melakukan aksi demonstrasi melawan pemerintah.
Baca juga: 39 Orang Meninggal dan Stasiun TV Dibakar, Ini Latar Belakang Aksi Protes Mahasiswa di Bangladesh
Perubahan aturan kuota PNS Bangladesh
Pada Minggu (21/7/2024), Mahkamah Agung memutuskan kuota PNS untuk keturunan veteran perang dipotong menjadi 5 persen dari awalnya 30 persen.
Sebesar 93 persen kuota PNS kini dialokasikan untuk masyarakat umum berdasarkan prestasi, dikutip dari CNN, Minggu.
Kuota satu persen ditujukan ke anggota kelompok etnis minoritas. Lalu, satu persen kuota terakhir untuk transgender dan penyandang disabilitas.
Sebelum perubahan ini diberlakukan, pemerintah mengalokasikan kuota PNS total 56 persen bagi keluarga veteran perang, perempuan, warga distrik terbelakang, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.
Para mahasiswa memprotes pemberian kuota PNS karena menilai kebijakan itu digunakan sebagai alat pendukung partai penguasa sekaligus taktik memperkuat pengaruh pemerintah.
“(Keputusan Mahkamah Agung) memberikan solusi akhir untuk sistem kuota ini,” kata pengacara yang mewakili para mahasiswa pengunjuk rasa, Shah Monjurul Hoque.
Jaksa Agung Bangladesh AM Amin Uddin mengatakan, dia berharap keadaan kembali normal setelah putusan ini dan oknum dengan motif tersembunyi berhenti menghasut orang lain.
Menurutnya, para mahasiswa yang ikut unjuk rasa bukan bagian dari kekerasan dan pembakaran yang terjadi di Bangladesh selama unjuk rasa tersebut.
“Saya akan meminta pemerintah untuk mencari tahu siapa pelaku di balik kekerasan tersebut dan mengambil tindakan tegas terhadap mereka,” tambahnya.
Baca juga: Asal-usul Etnis Rohingya dan Kenapa Mengungsi dari Myanmar dan Bangladesh?
Protes tetap berlanjut
Sayangnya meski aturan kuota PNS diubah oleh Mahkamah Agung Bangladesh, sejumlah pengunjuk rasa menyatakan gerakan protes akan tetap dilanjutkan.
“Kami mengapresiasi putusan pengadilan,” kata salah seorang koordinator Nusrat Tabassum.
“Namun, tuntutan utama kami ditujukan kepada departemen eksekutif. Hingga tuntutan tersebut dilaksanakan, program penutupan total di seluruh negeri akan terus berlanjut,” tegas dia.
Hal-hal yang dituntut oleh mahasiswa mencakup keadilan bagi pengunjuk rasa yang terbunuh dalam beberapa hari terakhir, pembebasan para pemimpin protes yang ditahan, pemulihan layanan internet, dan pengunduran diri para menteri pemerintah.
Sementara itu, seorang koordinator gerakan reformasi bernama Nahid Islam mengaku dirinya telah mengalami penyiksaan fisik dan mental saat diinterograsi polisi.
Katanya, Nahid dijemput orang-orang yang mengaku detektif, lalu diborgol dan dibawa pergi. Dia mengaku diinterograsi dan disiksa hingga pingsan dalam sebuah ruangan. Dia telah berada di pinggir jalan saat sadar.
“Saya diinterogasi dan kemudian disiksa. Pada satu titik saya pingsan. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa. Saya masih memiliki gumpalan darah di kedua bahu dan kaki kiri,” tuturnya.
Kerusuhan Bangladesh mengakibatkan gedung-gedung pemerintah, pos pemeriksaan polisi, dan sistem metro dibakar. Banyak kendaraan dibakar di ibukota Dhaka.
Bentrokan juga menyebabkan lebih dari 800 tahanan melarikan diri dari penjara membawa 85 senjata dan 10.000 butir amunisi. Namun, baru 58 tahanan yang ditangkap.
Demonstrasi juga terjadi di negara-negara lain yang dihuni komunitas warga Bangladesh seperti London, Inggris dan New York, AS.