Informasi Terpercaya Masa Kini

Indonesia Tingkatkan Kesiapsiagaan Hadapi Bakteri Pemakan Daging

0 23

Jakarta, 18 Juli 2024 – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah meningkatkan kewaspadaan terkait wabah bakteri pemakan daging yang sedang melanda Jepang. Meskipun hingga saat ini belum ada laporan kasus serupa di Indonesia, langkah waspada tetap diambil untuk mencegah potensi penyebaran bakteri ini.

Dalam wawancara yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan, dr. Muhammad Faris Rizqhilmi dan dr. Narumi Anastasya Kakiuchi menjelaskan langkah-langkah konkret yang telah diambil oleh Kemenkes.

“Dari Kemenkes untuk saat ini hanya mengambil langkah waspada saja. Jadi meningkatkan kewaspadaan terkait adanya wabah bakteri pemakan daging di Jepang, karena memang di Indonesia secara kasus masih sangat jarang. Makanya Indonesia seperti negara-negara lain mengambil sikap waspada saja, tapi tidak ada pembatasan turis dari Jepang atau semacamnya,” jelas dr. Faris.

Mengenal Bakteri Pemakan Daging

Bakteri pemakan daging, yang dalam istilah medis dikenal sebagai Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS), dapat menyebabkan infeksi berat yang mengancam nyawa. 

Bakteri penyebabnya, yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes, sebenarnya merupakan flora normal pada kulit manusia. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti luka yang tidak ditangani dengan baik atau daya tahan tubuh yang menurun, bakteri ini bisa menyebabkan infeksi sistemik yang parah. 

“Sebetulnya si bakteri penyebab penyakit ini sudah ada di setiap orang. Memang dia merupakan bakteri normal di kulit, cuma memang pada beberapa kondisi dia bisa menyebabkan penyakit. Salah satunya penyakit ini yang disebabkan oleh bakteri pemakan daging,” tambah dr. Faris.

Langkah-Langkah Pencegahan

Kemenkes telah memberikan instruksi kepada seluruh puskesmas untuk melakukan tracing penyakit menular dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan pencegahan infeksi bakteri ini. 

“Kemenkes kan membawahi berbagai fasilitas kesehatan dalam berbagai tingkat. Tentunya untuk upaya preventif dan juga promotif kesehatan yang paling berperan adalah puskesmas, pusat kesehatan masyarakat. Tentunya upaya yang sudah dilakukan dari Kemenkes dengan memberikan instruksi kepada terutama puskesmas untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat terkait dengan kondisi penyakit yang bisa disebabkan oleh bakteri pemakan daging,” jelas dr. Narumi.

Edukasi yang diberikan meliputi penjelasan tentang bakteri pemakan daging, faktor risiko, serta penanganan awal yang tepat. Salah satu faktor risiko utama yang disoroti adalah penggunaan pembalut dengan daya serap tinggi yang dipakai dalam waktu terlalu lama, yang dapat meningkatkan risiko infeksi STSS. 

“Misalnya salah satu faktor risiko terjadinya STSS ini adalah penggunaan pembalut yang memiliki daya serap tinggi dan dia dipakai dalam waktu yang di luar batasan seharusnya. Pembalut itu kan paling tidak hanya dipakai 4-6 jam kurang lebih seharinya. Nah itu ada beberapa orang yang dia mungkin ingin hemat atau gimana dibiarkan pembalutnya ini sampai seharian penuh. Nah itulah yang menjadi faktor risiko terjadinya si STSS ini,” tambah dr. Narumi.

Selain itu, penanganan luka yang tidak tepat juga menjadi perhatian. “Atau bisa juga misalnya kondisi-kondisi luka di kulit ya misalnya terkena benda tajam atau kecelakaan namun tidak ditangani dengan tepat, tidak dibawa ke dokter, tidak dibawa ke tenaga medis, tidak dibersihkan dengan baik, tidak dibalut. Akhirnya terjadilah infeksi baik oleh streptococcus ataupun staphylococcus tadi sebagai penyebab bakteri pemakan daging akibatnya terjadi infeksi sistemik pasiennya jatuh ke kondisi STSS ini,” jelas dr. Faris.

Kesiapan Fasilitas Kesehatan

Menurut dr. Muhammad Faris, fasilitas kesehatan di Indonesia sudah cukup memadai untuk menangani infeksi ini, terutama jika pasien mendapat penanganan sejak awal. 

“Sebetulnya kondisi penyakit STSS yang tadi saya sebutkan sebelumnya akibat bakteri pemakan daging ini bukan merupakan kondisi yang seperti penyakit-penyakit langka yang pengobatannya butuh teknologi canggih, tidak seperti itu. Indonesia sebetulnya secara fasilitas kesehatan, sarana kesehatan sudah memadai karena sebetulnya penyakit ini apabila ditangani oleh tenaga medis pada tahap awal maka kemungkinan pasien selamat, angka mortalitasnya bisa ditekan kemudian juga pasien bisa sembuh total itu persentasenya sangat tinggi,” jelasnya.

Indonesia memiliki cukup banyak kamar ICU dan kamar rawat inap yang tersedia di berbagai rumah sakit. “Nah, apabila pasien sudah terjatuh kondisi yang berat, saya rasa di Indonesia juga sudah cukup mumpuni, kita memiliki cukup banyak kamar ICU di berbagai rumah sakit baik swasta maupun negeri, kamar rawat inap juga yang tersedia cukup banyak, di Jakarta sendiri kurang lebih tersedia sejauh ini sekitar 120.000 kasur ya setidaknya di daerah Jakarta, belum terhitung Jabodetabek, Jakarta dan sekitarnya, ya saya rasa sudah cukup untuk mampu menangani kasus ini,” tambah dr. Narumi.

Peran Masyarakat

Masyarakat diharapkan untuk selalu mengikuti informasi kesehatan dari sumber yang kredibel dan mempraktikkan tindakan pencegahan yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan. 

“Ya, pesan saya adalah yang pertama terus up to date terhadap informasi kesehatan yang ada ya baik dari sosial media maupun dari tenaga medis langsung atau dari sarana kesehatan, seperti puskesmas, tetap pastikan juga sumber informasinya adalah valid, dapat dipastikan kredibilitasnya,” kata dr. Faris.

Selain itu, masyarakat juga diharapkan untuk mempraktikkan apa yang sudah dihimbau oleh tenaga kesehatan. “Kemudian juga tentunya mempraktikan apa yang sudah dihimbau, diberikan informasinya oleh tenaga kesehatan dan tentunya yang terakhir adalah jangan pernah takut untuk berobat sejak awal, karena apabila sudah telat, infeksinya sudah menyebar ke seluruh tubuh, kondisinya sudah berat, maka risiko kematian akan semakin tinggi, namun jika sudah berobat dari awal, risiko kematian rendah, kemungkinan pasien juga sembuh juga tinggi, itu saja pesan dari saya sebagai tenaga medis untuk kesehatan masyarakat,” tambah dr. Narumi.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat tetap waspada dan siap menghadapi kemungkinan penyebaran bakteri pemakan daging, meskipun kasusnya masih sangat jarang terjadi di Indonesia. Kewaspadaan dan edukasi masyarakat menjadi kunci dalam pencegahan dan penanganan penyakit ini. 

“Mencegah lebih baik daripada mengobati, dan dengan edukasi yang tepat, kita bisa mencegah terjadinya infeksi yang lebih parah,” tutup dr. Faris.

Leave a comment