Ada Apa Di Balik Keruntuhan E-Commerce di Indonesia?
Industri e-commerce Indonesia kini memasuki masa kritis. Sejumlah perusahaan besar berguguran di tengah persaingan sengit. Setelah bertahun-tahun menikmati ekspansi pesat, para pemain utama—dari perusahaan marketplace, hingga layanan pembayaran digital, dan layanan logistik—menghadapi penurunan pendapatan yang tajam, yang pada akhirnya memaksa beberapa di antaranya berhenti beroperasi.
Di awal tahun ini, misalnya, kabar tak sedap datang dari Bukalapak. Platform e-commerce yang didirikan pada 2010 oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Muhamad Fajrin Rasyid ini, secara resmi mengumumkan penutupan layanan penjualan produk fisik di marketplace pada Selasa (7/1/2025). Bukalapak selanjutnya akan fokus pada bisnis penjualan produk virtual seperti pulsa, paket data, token, dan produk digital lainnya.
“Sebagai bagian dari langkah strategis ini, kami akan menghentikan operasional penjualan produk fisik di marketplace Bukalapak,” tulis manajemen Bukalapak dalam laman resminya, Rabu (8/1/2025).
Baca juga: Benarkah Marketplace Bukalapak Tutup dan Apa Penyebabnya?
Dalam proses transisi ini, Bukalapak masih mempersilakan pedagang untuk mengunggah produk fisik baru hingga Kamis, 1 Februari 2025. Batas akhir bagi pembeli untuk melakukan pemesanan di sejumlah kategori produk adalah pada 9 Februari 2025 pukul 23.59 WIB.
Jauh sebelum mengumumkan transformasi bisnis, tanda-tanda permasalahan finansial Bukalapak sudah terendus sejak beberapa tahun ke belakang.
Mengutip laporan keuangan terbaru perseroan di Bursa Efek Indonesia (IDX), emiten dengan kode saham BUKA ini membukukan kerugian sebesar Rp537,94 miliar per September 2024, sedikit membaik dibanding kerugian sebesar Rp784,85 miliar pada periode yang sama tahun 2023.
Secara umum, BUKA tercatat merekam kerugian tahun berjalan sebesar Rp1,38 triliun sepanjang 2023. Realisasi tersebut berbalik dari periode 2022 yang mencatat laba sebesar Rp1,98 triliun.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic, Ronny Sasmita, melihat tanda-tanda keruntuhan Bukalapak sudah diperkirakan sebelumnya. Sejak diakuisisi sahamnya oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek), Bukalapak tidak mampu menemukan core business yang menghasilkan pendapatan menjanjikan.
“Karena hanya sebagai platform yang menghubungkan seller dan buyer, itu membingungkan Bukalapak untuk menghasilkan uang,” ujar Ronny kepada Tirto, Rabu (8/1/2025).
Konsep lini bisnis Bukalapak berbeda dibandingkan, misalnya, dengan Lazada. Lazada memiliki barang sendiri dan gudang sendiri. Selain itu, Lazada juga menjadi platform yang dimiliki investor luar yang menghubungkan produk-produk dari Cina ke Indonesia.
“Jelas terlihat, hampir semua yang dijual di Lazada itu milik Lazada. Begitu juga dengan platform lain. TikTok dan Tokopedia, misalnya, harus merger untuk membesarkan diri menjadi salah satu raksasa teknologi di Indonesia. Mereka berusaha menemukan core business mereka,” jelasnya.
Jika melihat ke belakang, penutupan Bukalapak hanya menambah daftar panjang e-commerce yang tutup di Indonesia. Setidaknya sudah ada 16 perusahaan e-commerce yang tumbang sejak era 2000-an awal. Indikasi tumbangnya perusahaan ada dua macam: pertama, penghentian operasi secara menyeluruh; kedua, penggantian nama karena akuisisi.
Sementara itu, ada lima perusahaan e-commerce yang gugur karena diakusisi pihak lain dan berganti nama, yakni Tokobagus, Kleora, Berniaga.com, Plasa.com, dan MatahariMall.com. Sedangkan 11 perusahaan lainnya tumbang karena sepenuhnya berhenti beroperasi.
Sejak 2020 hingga 2023, setidaknya ada dua layanan belanja daring yang tercatat gugur. Pada 2020, Blanja.com—online marketplace hasil joint venture PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom)—resmi tutup pada 1 September 2020. Pada tanggal itu, segala transaksi dihentikan, sementara penarikan uang masih bisa dilakukan hingga 30 September 2020.
Pada 2023, perusahaan layanan belanja daring JD.ID mengumumkan penghentian pesanan pada 15 Februari 2023. Perusahaan tersebut menutup total usahanya pada 31 Maret 2023.
Sebab Keruntuhan E-Commerce
Banyaknya e-commerce yang tumbang, termasuk Bukalapak, mencerminkan adanya dinamika yang terjadi di industri e-commerce di Indonesia, bahkan global. Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyebutkan, salah satu penyebab keruntuhan industri ini adalah persaingan bisnis yang ketat.
E-commerce di Indonesia, kata Budi, didominasi oleh pemain besar seperti Tokopedia (GoTo) dan Shopee (Sea Group) yang memiliki akses modal besar. Mereka mampu memberikan subsidi harga, diskon besar-besaran, dan promosi yang sulit disaingi oleh pemain lain.
“Operasi marketplace memerlukan investasi besar, termasuk dalam teknologi, logistik, pemasaran, dan layanan pelanggan. Dalam kasus Bukalapak, margin keuntungan yang cenderung tipis membuat model bisnis ini sulit dipertahankan tanpa suntikan modal besar,” katanya kepada Tirto pada Rabu (8/1/2025).
Dengan maraknya platform seperti Shopee dan Lazada, konsumen semakin terpikat oleh marketplace yang menawarkan pengalaman belanja terintegrasi, promosi agresif, dan layanan luas. Bukalapak, dan mungkin beberapa e-commerce lainnya, kesulitan mempertahankan daya tarik sehingga kalah bersaing.
Di sisi lain, kasus Bukalapak bukanlah fenomena unik. Di berbagai negara, banyak e-commerce yang menghadapi tekanan serupa karena dominasi pasar oleh pemain besar, misalnya seperti Amazon di AS atau Alibaba di Tiongkok. Inilah situasi yang membuat adanya ketergantungan pada pemberian promo atau diskon. Hal ini tak dilihat sebagai model yang berkelanjutan.
“Perubahan kebiasaan belanja juga berperan. Konsumen kini beralih ke model direct-to-consumer (D2C) atau social commerce,” tambahnya.
Senada, direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga melihat runtuhnya e-commerce di Indonesia karena memang peta persaingan cukup ketat. Saat ini, e-commerce di Indonesia sudah terdiri dari tiga layer yang jaraknya cukup jauh.
Layer pertama adalah layer paling atas, yang diisi oleh Shopee dan Tokopedia-TikTok. Sebelum penggabungan Tokopedia-Tiktok, layer kedua diisi oleh Shopee dan Tokopedia. Merger Tokopedia dengan TikTok kemudian membuat persaingan semakin sengit dengan Shopee.
Sedangkan layer selanjutnya adalah platform level menengah seperti Blibli, Lazada, dan Bukalapak. Sebelum bergabung dengan Tokopedia, TikTok Shop berada di layer ini. Namun, dengan tutupnya Bukalapak, praktis middle platform sekarang hanya diisi Blibli dan Lazada. Lalu, menurut Nailul, layer ketiga diisi platform e-commerce yang kecil-kecil dan lokal.
“Shopee dan Tokopedia-TikTok saat ini bersaing dalam dua hal, inovasi dan bakar uang. Inovasi yang dilakukan keduanya adalah mengembangkan live shopping. Shopee memang sudah mengembangkan live shopping ini secara masif. Sedangkan Tokopedia sangat terbantu dengan ekosistem live streaming TikTok sebagai media sosial,” jelas Huda kepada Tirto, Rabu (8/1/2025).
Bahkan terbaru, kata Huda, Shopee masuk dalam ekosistem YouTube yang memudahkan mereka memasarkan produknya melalui video ataupun live streaming di YouTube. Shopee juga masih membakar uang guna menarik konsumen lebih banyak. Tidak bisa dipungkiri, konsumen di Tanah Air masih sangat berorientasi terhadap harga (price oriented consumer). Harga masih jadi daya tarik utama dalam berbelanja secara digital.
Sementara apa yang terjadi di Bukalapak, kata Huda, semakin mengindikasikan inovasi dan bakar uang yang dilakukan oleh e-commerce (hampir di semua industri digital) itu masih menjadi alat bertahan di bisnis ini. Apalagi, setelah IPO, Bukalapak belum mendapatkan pendanaan segar lagi.
“Ini karena mereka lebih fokus ke pengembangan mitra Bukalapak dalam beberapa tahun terakhir. Mereka akhirnya memilih menutup layanan e-commerce-nya,” pungkas dia.
Bagaimana Prospek E-Commerce di Indonesia ke Depan?
Namun terlepas dari fenomena baru-baru ini, iDEA melihat prospek industri e-commerce masih cerah. Menurutnya, ke depan, e-commerce di Indonesia kemungkinan akan terus berkonsolidasi. Di sisi lain, pemain kecil dan menengah akan sulit bertahan.
“Hanya beberapa pemain besar dengan sumber daya kuat yang dapat mendominasi pasar,” imbuh Budi dari iDEA.
Di sisi lain, social commerce, seperti yang terlihat pada platform TikTok Shop atau Instagram Shopping, ke depan juga akan semakin berkembang. Karena saat ini, konsumen cenderung lebih tertarik dengan pengalaman belanja yang personal melalui media sosial.
Pemain e-commerce, lanjut Budi, mungkin juga akan mulai beralih dari hanya marketplace menjadi ekosistem yang mencakup layanan keuangan digital, logistik, hingga teknologi berbasis AI untuk efisiensi.
Sedangkan e-commerce yang melayani segmen pasar tertentu, seperti barang-barang lokal, produk halal, atau produk ramah lingkungan, memiliki peluang lebih baik untuk bertahan.
“Ini juga membuka peluang bagi inovasi, terutama dalam model bisnis yang lebih berkelanjutan seperti social commerce, layanan digital, atau direct-to-consumer,” kata dia.
Dengan berbagai kemungkinan terjadi ke depan, Budi meyakini bahwa industri ini masih memiliki prospek cerah jika para pemainnya mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang terus berubah. Pada akhirnya, mereka yang tidak mau berinovasi dan beradaptasi akan mengikuti jejak-jejak perusahaan-perusahaan sebelumnya, yakni gulung tikar.