Soe Hok Gie Pergi Selamanya di Gunung Semeru 55 Tahun Lalu
TEMPO.CO, Jakarta – Pada 55 tahun lalu, tepatnya pada 16 Desember 1969, aktivis mahasiswa Soe Hok Gie meninggal di ketinggian Gunung Semeru.
Nama Soe Hok Gie sangat dikenal di kalangan mahasiswa pergerakan saat itu, terutama sebagai ikon idealisme angkatan 66 dan pada awal pemerintahan Orde Baru. Sebagai seorang aktivis yang kritis, Gie kerap mengkritik pemerintah lewat tulisan-tulisannya yang tajam.
Ia adalah sosok yang sangat dikenal sejak akhir pemerintahan Orde Lama hingga era Orde Baru. Soe Hok Gie, yang berasal dari keluarga Tionghoa, menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI) dari 1962 hingga 1969.
Lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta, Gie merupakan anak dari Soe Lie Pit dan Nio Hoe An. Sejak kecil, ia sudah dekat dengan dunia sastra, dengan darah seni yang mengalir dari sang ayah yang merupakan seorang novelis. Gie juga gemar menghabiskan waktu di perpustakaan, yang semakin memperdalam kecintaannya terhadap sastra.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, Gie melanjutkan studi di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI. Di kampus, Gie dikenal sebagai mahasiswa kritis dengan pandangan tajam, yang tak segan mengkritik pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru. Bahkan, teman-temannya yang duduk di parlemen juga tak luput dari kritikannya. Gie percaya bahwa tujuannya adalah untuk membela rakyat yang tertindas, meskipun sering mendapatkan cacian dan cercaan, termasuk dari mereka yang merujuk pada keturunan Tionghoanya.
Ia menulis banyak artikel yang dimuat di media massa seperti Kompas, Indonesia Raya, Mahasiswa Indonesia, Harian Kami, dan Cahaya Keinginan. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Setelah Tiga Tahun, Gie menegaskan, “Bergabunglah dengan partai politik kalau mau berpolitik, jangan mencatut nama mahasiswa.”
Selain aktif menulis, Soe Hok Gie juga dikenal sebagai seorang pendaki gunung. Kegemaran ini bahkan menjadi salah satu cikal bakal berdirinya Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) di UI. Namun, kecintaannya pada alam bebas justru berakhir tragis di Gunung Semeru, tempat ia menghembuskan napas terakhirnya pada 16 Desember 1969. Sebuah takdir yang ironis, mengingat Gie selalu mencari ketenangan dan pencerahan di pegunungan.
Kematian Soe Hok Gie
Soe Hok Gie meninggal pada 16 Desember 1969 di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, yang terletak pada ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut. Beberapa sumber menyebutkan bahwa penyebab kematiannya adalah menghirup gas beracun, beberapa saat sebelum ia mencapai usia 27 tahun.
Menurut tesis yang ditulis oleh John R. Maxwell, yang mengisahkan biografi Soe Hok Gie, pada 12 Desember 1969, Gie bersama rombongannya yang terdiri dari Aristides Katoppo, Herman Lantang, Abdurrachman, Anton Wijaya, Rudy Badil, Idham Dhanvantari Lubis, dan Freddy Lodewijk Lasut berangkat dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Gubeng di Surabaya. Selama perjalanan, Gie banyak berbicara tentang sejarah kolonialisme di Jawa bersama teman-temannya. Rombongan juga membawa buku panduan pendakian “Gids voor Bergtochten op Java” untuk mendaki Gunung Semeru.
Sesampainya di Stasiun Gubeng, mereka melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Tumpang, dekat kota Malang, dan mengunjungi Desa Kunci dengan mobil. Jelang subuh, mereka beristirahat di rumah kepala Dukuh Gubuk Klalah, Binanjar. Setelah terpisah sementara, mereka akhirnya berkumpul kembali di Ranu Kumbolo.
Pada pagi hari Selasa, 16 Desember 1969, rombongan mulai bersiap menuju puncak Gunung Semeru. Siang harinya, mereka berhenti di pelataran kaki Gunung Kepolo untuk beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Recopodo. Setelah itu, mereka berhenti di pelataran datar pada ketinggian 3.300 mdpl.
Tidak lama setelah itu, hujan lebat disertai angin kencang dan kabut tebal melanda jalur pendakian menuju Puncak Mahameru. Mereka melanjutkan perjalanan dengan formasi berpencar, sambil menggunakan ponco sebagai perlindungan dari hujan.
Selain cuaca buruk, terjadi semburan gas yang melepaskan debu dan material vulkanik ke udara. Setelah mencapai puncak dan melihat letusan Kawah Jonggring Saloko, rombongan berhenti sejenak untuk berdoa.
Namun, saat turun, Freddy Lasut, anggota termuda, berlari dengan panik dan mengabarkan bahwa Idhan dan Gie mengalami kecelakaan. Tides, anggota senior, meminta Freddy dan Herman untuk kembali ke atas, namun Herman mengabarkan bahwa Gie dan Idhan telah meninggal dunia setelah mengalami kejang-kejang. Mereka dinyatakan meninggal pada sore hari.
Jenazah Gie dan Idhan diletakkan di puncak Semeru selama hampir seminggu. Baru pada 22 Desember 1969, rombongan berhasil menurunkan jenazah keduanya. Ketika ditemukan, kondisi jenazah mereka masih utuh.
Reno Eza Mahendra berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan Editor: Prosesi Pemakaman Soe Hok Gie, dari Gunung Semeru Bersemayam di Museum Taman Prasasti