Informasi Terpercaya Masa Kini

Nostalgia Mudik Zaman Old vs Zaman Now

0 10

Mudik: Lebih dari Sekadar Perjalanan, Ini Tentang Pulang

Mudik bukan hanya soal berpindah dari satu kota ke kota lain. Ini tentang perjalanan pulang, tentang rindu yang menggumpal di dada, tentang momen di mana seseorang kembali ke akar yang telah lama ditinggalkan.

Tapi, seperti halnya segala sesuatu dalam hidup, mudik juga mengalami perubahan. Ada masa di mana perjalanan mudik adalah sebuah perjuangan, penuh tantangan, penuh warna. Kini, segalanya lebih mudah, lebih cepat, lebih nyaman.

Namun, ada sesuatu yang perlahan memudar. Kehangatan dalam perjalanan, kebersamaan dengan orang lain yang sejenak menjadi teman, interaksi yang membangun cerita… semua itu mulai menghilang di tengah modernisasi.

Mari kita kembali ke masa lalu, mengingat kembali bagaimana mudik zaman old, lalu bandingkan dengan realitas mudik zaman now.

Mudik Zaman Old: Perjuangan yang Menjadi Kenangan Tak Terlupakan

1. Antri Tiket Berjam-jam: Siapa Cepat, Dia Dapat!

Dulu, tiket mudik bukan sekadar barang yang bisa dibeli kapan saja. Tiket adalah harta karun yang harus diperjuangkan.Harus datang ke terminal atau stasiun jauh-jauh hari sebelum keberangkatan.Antrian mengular hingga berjam-jam di bawah terik matahari.Banyak yang rela begadang, menginap di depan loket hanya demi mendapat tiket.Calo merajalela, menjual tiket dengan harga dua kali lipat.Kadang, ada yang sudah antri lama, tapi tetap tidak kebagian tiket.Bagi yang tidak beruntung, terpaksa mencari cara lain: naik kendaraan alternatif, nebeng truk, atau bahkan nekat naik kendaraan tanpa tiket.

2. Bus Ekonomi, Kereta Api Penuh Sesak, Hingga Truk Bak Terbuka

Jika sudah dapat tiket, perjuangan belum selesai. Moda transportasi zaman dulu jauh dari kata nyaman.Bus ekonomi: Kursi keras, panas, berdesakan dengan penumpang lain, dan bau keringat bercampur asap rokok.Kereta api kelas ekonomi: Bangku kayu, tidak ada AC, penumpang duduk di lantai atau lorong, bahkan ada yang naik ke atap gerbong.Truk bak terbuka: Jadi pilihan terakhir bagi yang kehabisan tiket. Satu-satunya atap adalah langit, angin malam menjadi selimut, dan hujan adalah tantangan tambahan.

3. Jalanan Berlubang, Jembatan Kayu, dan Perjalanan yang Tak Kunjung Sampai

Sebelum jalan tol merajai jalur mudik, perjalanan adalah ujian kesabaran.Jalanan berbatu dan berlubang. Jika hujan, berubah menjadi kubangan lumpur yang sulit dilewati.Bus mogok? Hal biasa! Para penumpang sering harus turun dan ikut membantu mendorong.Jembatan kayu tua yang harus diperiksa lebih dulu. Sopir turun untuk memastikan jembatan masih kuat dilewati.Perjalanan Jakarta-Surabaya bisa memakan waktu lebih dari 24 jam. Tidak ada jalan tol, hanya jalan berliku yang menyusuri desa demi desa.

Namun, justru dalam perjalanan panjang inilah tercipta kisah-kisah tak terlupakan.

4. Saling Berbagi Bekal di Perjalanan

Di tengah keterbatasan, ada satu hal yang selalu membuat perjalanan lebih ringan: kebersamaan.

“Silakan dicoba, Bu, ini ayam goreng bikinan istri saya.”

“Mas, masih punya nasi? Saya punya sambal dan tempe goreng, kita makan bareng yuk.”

“Ini anaknya boleh saya bantu suapi? Biar Ibunya bisa makan dulu.”

Makanan yang dibawa dari rumah bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi menjadi sarana berbagi dengan sesama.

5. Pedagang Asongan dan Pengamen yang Menghidupkan Suasana

Di dalam bus atau kereta ekonomi, ada dua hal yang selalu menemani perjalanan: pedagang asongan dan pengamen jalanan.

“Kacang! Tahu sumedang! Kopi panas!”

“Air mineral! Teh botol dingin!”

“Ayo, Bu, keripiknya renyah, enak buat ngemil di perjalanan!”

Di tengah suara mesin kendaraan yang menderu, mereka menghidupkan perjalanan dengan suara khas mereka yang tak tergantikan.

Lalu ada pengamen yang dengan suara seraknya menyanyikan lagu-lagu nostalgia:

“Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…”

“Pergi untuk kembali… Walau kini ku jauh di rantau…”

Perjalanan terasa berat, tapi juga hangat.

Mudik Zaman Now: Nyaman, Cepat, tapi Ada yang Hilang…

1. Tiket di Ujung Jari, Tak Perlu Antre

Sekarang, mendapatkan tiket semudah mengetik di ponsel.Bisa dipesan kapan saja, di mana saja.Tidak perlu antre di loket, tinggal klik dan bayar.Tidak ada lagi calo yang menjual tiket dengan harga selangit.Check-in lebih mudah, cukup scan barcode.Cepat dan praktis, tapi kehilangan sensasi perjuangan.

2. Transportasi Super Nyaman

Dulu naik bus ekonomi, sekarang bus luxury dan kereta eksekutif.Bus dan kereta ber-AC, kursi empuk, ada WiFi dan colokan listrik.Pesawat murah meriah. Dulu tak terpikirkan, kini jadi pilihan utama.Tidak ada lagi desak-desakan, tidak ada lagi duduk bahkan tidur di lorong kereta api.

3. Jalan Tol yang Memangkas Waktu

Dulu, perjalanan Jakarta-Surabaya bisa lebih dari 24 jam. Sekarang hanya 10 jam lewat tol.Tidak ada lagi jalan berbatu.Tidak ada lagi bus mogok.Semua serba cepat, serba lancar.

4. Tidak Ada Lagi Interaksi di Perjalanan

Dulu, perjalanan penuh interaksi. Kini? Semua tenggelam dalam gadget masing-masing.Tidak ada lagi orang yang berbagi bekal.Tidak ada lagi pedagang asongan yang menawarkan tahu sumedang.Tidak ada lagi pengamen yang menyanyikan lagu-lagu nostalgia.Semua diam, tenggelam dalam layar ponsel, menikmati perjalanan dalam sunyi. Kesimpulan: Perjalanan Boleh Berubah, Tapi Rindu Tetap Sama

Dulu, mudik penuh perjuangan. Ada rasa lelah, tapi juga kebersamaan yang begitu erat.

 Kini, segalanya lebih cepat dan nyaman, tapi ada sesuatu yang hilang: kehangatan interaksi manusia.

Namun, satu hal yang tak pernah berubah: rindu yang membawa kita pulang.

Bukan soal seberapa cepat kita sampai, tapi tentang perjalanan yang membawa kita kembali ke tempat di mana hati kita selalu ingin pulang.

Leave a comment