Gaya Hidup “Slow Living”, Apakah Hanya untuk Para Pensiunan saja?
Slow living, jadi fenomena untuk perubahan gaya hidup masa kini. Bagi mereka yang umumnya hidup di kota besar, untuk berangkat dari rumah menuju satu lokasi di tengah kota, butuh waktu hampir 2-3 jam. Persiapannya perlu lebih awal supaya tidak terlambat. Apalagi jika harus bertemu dengan orang penting.
Slow living, jadi kerinduan orang kota untuk memperlambat gaya hidupnya, lebih sederhana, bahkan lebih bermakna.
Apakah memperlambat gaya hidup itu untuk ketenangan diri sendiri atau dorongan agar orang lain juga mengikuti gaya hidup kita? Awalnya pasti didorong untuk kepenting pribadi diri sendiri.
Saat mendengar tentang “gaya hidup slow living”, mindset yang saya pikirkan adalah hidup tenang di luar kota atau di luar kota Jakarta. Ada beberapa kota yang telah disurvei oleh Kompas.com dan dijadikan rekomendasi untuk jadi kota “slow living”.
Kota-kota itu adalah Kedu Raya (Purworejo, Temanggung, Magelang, Wonosobo) jadi kota slow living yang terbaik (dari berbagai aspek) sedangkan kota slow living yang lainnya adalah Solo, Malang, Yogyakarta, Salatiga.
Enaknya di kota-kota yang disebutkan di atas adalah faktor biaya hidup yang rendah, iklim yang lebih ramah (tidak begitu panas seperti di Jakarta) dan suasana kota dan orang serta lingkungan yang ramah. Semua orang jadi tertarik untuk menjadikan kota-kota ini tempat yang idealis untuk kembali ke kampung halaman.
Mudahkah adaptasi di kota kecil?
Saya pernah mengatakan kepada teman-teman yang saya ajak untuk pulang kampung halaman atau kumpul di suatu kota kecil. Anggapan bahwa di kota kecil, kita mudah sekali berkumpul dan menikmati hari-hari dengan tidak terburu-buru, menikmati hari dengan sangat tenang dan damai, atau istilah kerennya, minfulness.
Sayangnya, ketika saya mencoba sendiri untuk datang ke kota kecil itu dalam waktu 3-4 hari saja, saya merasa tidak betah. Ada yang hilang dari kesibukan saya. Saya seperti terlena, kok menjalani hidup begini santai, sementara selama hampir 30 tahun hidup penuh dengan irama cepat, dari satu kegiatan ke kegiatan yang lainnya.
Baru 3-4 hari sudah terasa hampa, nanti jika pindah selamanya ke kota kecil, apakah ngga lebih kehilangan lagi?
Apakah saya salah mengintepretasikan “slow living” . Berkali-kali saya baca definsinya mengatakan bahwa gaya hidup menekankan pada menjalani hidup lebih santai, sederhana dan bermakna.
Nah, ternyata yang salah adalah mindset saya yang belum siap untuk mengatur waktu sesuai dengan prioritas hidup, fokus juga kepada kualitas bukan kuantitas, fokus saja pada hal-hal yang kecil.
Pensiun dengan slow living, tepatkah?
Sudah hampir 12 tahun memasuki dunia pensiun dengan ritme kerja yang berbeda dengan saat kerja. Pembagian waktu kerja rumah tangga dan pembagian kerja sebagai freelancer. Meskipun diselingi dengan kegiatan sosial, tetapi hidup saya lebih bermakna ketika bisa menyelesaikan rencana kegiatan pada hari itu.
Seolah dunia kerja saya ditentukan oleh pencapaian jumlah kegiatan yang dilakukan. Akhirnya, saya sendiri masih sering dilanda stres jika salah satu kegiatan harus dilewatkan karena sesuatu hal (entah sakit atau entah kena macet).
Sebenarnya waktu pensiun ini justru tepat sekali untuk mulai dengan gaya hidup slow living. Di kota kecil ini bukan berarti kita mengurangi atau menghilangkan kegiatan yang pernah kita kerjakan misalnya menulis, merajut dan menyanyi.
Justru di kota kecil, kita tetap harus beraktivitas supaya tidak merasa kehilangan makna hidup. Hanya iramanya tentu berubah. Kita tidak lagi dikejar tenggat waktu penyelesaikan tulisan, tetapi kitab isa membuat waktu yang lebih fleksibel untuk menyelesaikan.
Pernah saya di kota Purwokerto, saya akan berkunjung di 3 tempat, saya berpikir, pasti waktu yang akan dihabiskan sekitar 3 — 4 jam, ternyata saya salah hitung, hanya sekitar 1 1/2 jam saja. Waktu yang tidak terbuang di jalan karena macet, itu membuat pikiran dan hati juga lebih nyaman untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain, atau istirahat yang lebih panjang.
Namun, saya juga ngga pernah gegabah untuk menganjurkan teman-teman untuk segera ke kota kecil yang ditunjuk untuk “slow living”. Saya belajar dari setiap orangtua yang pindah dari suatu tempat yang sudah lama ditempati ke tempat baru, pasti pengin kembali ke kota yang lama. Entah suatu magnet apa yang masih menempel di ingatan, perlu waktu adaptasi yang lebih lama.
Setiap kali saya mengajak teman, saya bilang, ayo kita coba dulu 1-2 tahun dulu kita pindah ke kota kecil. Syukur-syukur masih bisa kontrak dulu. Setelah hati dan pikiran merasa lebih “kerasan”, barulah melangkah selanjutnya untuk pindah ke kota kecil itu.
Mengapa “slow living” jadi tren?
Kesadaran manusia untuk mempertanyakan kepada tujuan hidup. Perkembangan teknologi, budaya, dan konsumsi yang penuh dengan globalisasi membuat ritme kehidupan serba cepat dan seringkali kita lakukan tanpa makna.
Akhirnya, ada gerakan yang menyadari bahwa gaya hidup “Slow Living”, voluntary simplicity, mendorong manusia untuk hidup lebih sadar, memperlambat langkah dan kembali kepada dasarnya yang penting.