5 Fakta Soal Film Dokumenter Dirty Vote

Film dokumenter Dirty Vote telah menggedor perhatian publik. Film yang diproduksi WatchDoc ini analisis mendalam dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024.

5 Fakta Soal Film Dokumenter Dirty Vote

TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter Dirty Vote telah menyita perhatian publik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 pada pekan ini.

Film yang diproduksi oleh WatchDoc ini memberikan analisis mendalam tentang dugaan kecurangan dalam Pemilu secara sistematis.

5 Hal Film Dirty Vote

1. Sutradara Dirty Vote

Film dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Dalam siaran tertulisnya, Dandhy menyampaikan film itu bentuk edukasi untuk masyarakat yang pada 14 Februari 2024 akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.

2. Film melibatkan 20 lembaga

Menurut Dandhy, film dokumenter Dirty Vote digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. Pembuatannya, kata Dandhy, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Dalam waktu kurang lebih 5 jam setelah siar di YouTube, film itu saat ini telah dilihat 355.831 orang dan dan disukai oleh 51.294 pengguna YouTube.

3. Profil 3 pakar hukum dalam Dirty Vote

Film Dirty Vote mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu secara sistematis. Dugaan kecurangan tersebut diulas oleh tiga pakar hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Dalam film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono itu, mereka mengulas sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Dia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1999. Studinya lanjut di University of Warwick, Inggris dan berhasil meraih gelar Master Law in Development pada 2002. Sejak tahun 2015, Bivitri telah menjadi pengajar Hukum Tata Negara, serta menjabat sebagai Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan sebagai peneliti di PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia).

Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, dia memperoleh gelar sarjana Ilmu Hukum dari universitas tersebut pada 2003. Pendidikannya lanjut dengan meraih gelar Master of Law dari Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat pada 2006. Ia juga menyelesaikan pendidikan S3 di UGM pada 2012. Selain menjadi dosen UGM, Zainal juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari tahun 2015 hingga 2017.

Sementara Feri Amsari dikenal sebagai seorang aktivis hukum dan cendekiawan Indonesia. Saat ini ia mengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Selain menjadi dosen, ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Feri Amsari memulai pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Andalas dan berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 2008 dengan IPK cumlaude. Dia melanjutkan pendidikan magister di bidang perbandingan hukum Amerika dan Asia di William and Mary Law School, Virginia.

4. Isi film dokumenter Dirty Vote

Film dokumenter Dirty Vote mengungkap sejumlah isu yang terkait dengan dugaan kecurangan Pemilu oleh Presiden Jokowi. Salah satunya, soal isu politisasi bantuan sosial alias Bansos ramai dibicarakam dalam beberapa waktu terakhir.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti memberikan penjelasannya dalam film Dirty Vote. "Mengapa Bansos dijadikan alat berpolitik? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang namanya politik gentong babi atau pork barrel politics," kata Bivitri dalam film yang disutradarai Dandy Laksono tersebut.

Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Saat itu, para budak harus berebut mengambil daging babi yang diawetkan dalam gentong. Para budak lantas memperebutkan babi di gentong tersebut.

"Akhirnya muncul istilah bahwa ada orang-orang yang akan berebut jatah untuk kenyamanan dirinya," tutur Bivitri.

Dalam konteks politik saat ini, Bivitri mengatakan politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara. Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi agar dirinya bisa dipilih kembali.

"Tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya," ujar Bivitri.

Dalam pemaparannya di film Dirty Vote, Bivitri memang menyoroti gelontoran anggaran Bansos menjelang Pemilu 2024 yang dianggap berlebihan. Sebab, untuk bulan Januari saja pemerintah sudah menghabiskan Rp 78,06 triliun. Jenis bantuan yang diberikan melalui anggaran tersebut, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan beras, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino.

5. Respon TKN Parbowo-Gibran

Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran soal film dokumenter “Dirty Vote” yang diluncurkan dalam platform YouTube, Minggu, 11 Februari 2024. Mereka mencurigai film tersebut dibuat bertujuan menurunkan muruah Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran Habiburokhman saat jumpa pers di Jakarta, selang beberapa jam setelah film itu tayang, pun meminta masyarakat jangan terpancing narasi-narasi dalam film tersebut, karena dia meyakini sebagian besar isinya sebatas asumsi.

“Sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif, dan sangat tidak ilmiah. Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film tersebut dan saya kok merasa sepertinya ada tendensi, keinginan untuk mendegradasi pemilu ini dengan narasi yang sangat tidak berdasar,” kata Habiburokhman saat membacakan sikap TKN atas tayangan dokumenter Dirty Vote dikutip dari Antara.

Habiburokhman berpendapat narasi-narasi yang disampaikan tiga pakar hukum tata negara dalam film dokumenter itu berseberangan dengan pendirian rakyat. Oleh karena itu, Habiburokhman meminta masyarakat tidak terhasut dengan narasi dalam film dokumenter itu.

“Kami menyarankan kepada rakyat untuk tidak terhasut, serta tidak terprovokasi oleh narasi kebohongan dalam film tersebut serta tidak melakukan pelanggaran hukum. Kita harus pastikan Pemilu 2024 berlangsung damai, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil),” kata dia.

KAKAK INDRA PURNAMA | ANDIKA DWI | RIRI RAHAYU | ANTARANEWS

Pilihan editor: Film Dirty Vote Bongkar Politisasi Bansos Gentong Babi Jokowi

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow