Jejak Akhir RA Kartini, Wafat di Rembang dan Tempat Peristirahatan Terakhirnya
TEMPO.CO, Jakarta – Pada 13 September 1904, RA Kartini meninggal di Rembang setelah melahirkan anaknya pada usia muda. RA Kartini dikenal sebagai pahlawan Pergerakan Nasional yang berjuang untuk emansipasi wanita dan dikenang karena keberaniannya dalam mendobrak batas-batas sosial.
Dilansir dari jogjaprov.go.id, Raden Adjeng Kartini, lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, pada 17 September 1904 pada usia 25 tahun, lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini. Ia adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Silsilah Kartini dari pihak ayahnya dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini awalnya menjabat sebagai wedana di Mayong. Karena peraturan kolonial yang mengharuskan bupati menikahi seorang bangsawan, ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan Raja Madura. Setelah pernikahan ini, ayah Kartini diangkat menjadi bupati Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, baik kandung maupun tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati pada usia 25 tahun, sementara kakaknya, Sosrokartono, dikenal sebagai ahli bahasa. Hingga usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), di mana ia belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Kemampuan Kartini dalam bahasa Belanda mendorongnya untuk belajar secara mandiri dan menulis surat kepada teman korespondensi dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon, yang banyak mendukungnya. Melalui buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa dan mulai mengembangkan keinginan untuk memajukan perempuan pribumi yang berada dalam status sosial rendah.
Ia banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft dan menerima leestrommel, paket majalah yang berisi kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Beberapa tulisannya dimuat di majalah tersebut. Kartini menunjukkan minat mendalam pada berbagai topik, tidak hanya emansipasi wanita tetapi juga isu sosial umum.
Sebelum berusia 20 tahun, Kartini telah membaca beberapa karya penting berbahasa Belanda, termasuk “Max Havelaar” dan “Surat-Surat Cinta” oleh Multatuli, serta “De Stille Kraacht” oleh Louis Coperus. Ia juga membaca karya Augusta de Witt, roman feminis oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan “Die Waffen Nieder” oleh Berta Von Suttner.
Pada 12 November 1903, Kartini menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah memiliki tiga istri. Suaminya mendukung keinginan Kartini dan memberinya kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita di Rembang, yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Ia meninggal dunia empat hari setelah melahirkan anak laki-lakinya, Soesalit Djojoadhiningrat, yang lahir pada 13 September 1904. RA Kartini wafat pada 17 September 1904 dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Menurut beberapa sumber, Kartini menghembuskan napas terakhir di pangkuan suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, berdasarkan kesaksian para abdi dalem yang hadir saat itu.
Untuk mengenang jasa-jasa Kartini sebagai pahlawan emansipasi, didirikan Sekolah Kartini di berbagai daerah, seperti Semarang, Malang, Yogyakarta, Madiun, dan Cirebon. Meskipun Kartini telah tiada, cita-cita dan perjuangannya terus dikenang. Kemajuan yang dicapai oleh kaum wanita Indonesia saat ini adalah hasil dari perjuangannya, yang tercermin dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Pilihan Editor: Hari-hari Terakhir RA Kartini, Kematiannya Dibunuh atau Akibat Pre-eklampsia