Rektor Paramadina Kritik Jokowi: Sudah Seperti Zaman Pak Harto, Presiden seperti Raja

Rektor Universitas Paramadina menilai pemerintahan Jokowi sudah seperti zaman Presiden Soeharto. Pasalnya, birokrasi sudah dimobilisasi demi kepentingan terselubung. APBN dibelokkan untuk Bansos bertepatan dengan masa-masa panas politik.

Rektor Paramadina Kritik Jokowi: Sudah Seperti Zaman Pak Harto, Presiden seperti Raja

TEMPO.CO, Jakarta - Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah seperti zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Pasalnya, birokrasi sudah dimobilisasi demi kepentingan khusus, bukan berorientasi kepada kepentingan rakyat.

"Sudah seperti zaman Pak Harto. Mobilisasi Golkar pada waktu itu, ya sudah terjadi (saat ini) dan hanya terjadi ketika kekuasaan itu otoriter. Sekarang sudah sempurna otoriternya dan presiden sudah seperti raja," katanya dalam diskusi daring pada Rabu, 7 Februari 2024.

Didik Rachbini menyoroti anggaran negara yang belakangan mengalir deras untuk bantuan sosial (Bansos). Tak sedikit yang memang menuding bahwa Bansos tersebut sarat unsur politis. Menurut Didik, Bansos digunakan Jokowi sebagai alat politik belaka.

Didik Rachbini mengatakan, Jokowi melancarkan niatnya melalui berbagai macam cara. Mulai dari cara yang terang-terangan, tidak langsung, hingga isyarat simbolik. "Jadi most probably, bukan most likely, bansos ini akan dipakai sebagai alat politik. Dan itu sudah dilakukan dengan berbagai cara, langsung, tidak langsung, simbolik-simbolik, dan seterusnya."

Dia memaparkan, Presiden Soeharto meninggalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp 50 sampai 60 triliun sebelum lengser. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) memulai dengan Rp 200 sampai Rp 500 triliun di akhir masa jabatannya.

Selanjutnya: "Pak SBY mulai dengan Rp 200 triliun, Rp 300, terakhir Rp 500 triliun...."

"Pak SBY mulai dengan Rp 200 triliun, Rp 300, terakhir Rp 500 triliun sebelum lengser. Nah, Pak Jokowi ini karena ekonomi berkembang, sampai Rp 3.000 triliun," tuturnya.

Jika dikaji dengan kondisi perpolitikan saat ini yang merupakan tahun panas politik, kata Didik Rachbini, APBN digelontorkan jor-joran untuk pemberian Bansos. "Sudah dibicarakan internal mereka untuk kepentingan istana, kepentingan kekuasaan, kepentingan kelanggengan. Memobilisasi anggaran sosial yang Rp 500 triliun itu untuk kepentingan politik."

Didik Rachbini mengamini bahwa dugaan tersebut memang sulit dibuktikan. Akan tetapi, dampaknya sudah dirasakan jelas. "Apapun alasannya, ya memang tidak mudah membuktikan, tetapi ini sudah seperti kentut. Kentutnya ada, kita rasakan," kata dia.

Didik Rachbini menganggap bahwa Pemilu 2024 adalah pemilu paling tidak jujur sepanjang sejarah. Menurut dia, Pemilu tahun ini aka dicatat sebagai Pemilu yang tidak bersih. Dia membandingkan dengan Pemilu di era pencalonan SBY. Ketika SBY menjabat, tidak ada kerabat atau bahkan putranya yang maju untuk melanjutkan estafet pemerintahan ayahnya.

Berbeda dengan sekarang, putra sulung petahana Presiden Jokowi melenggang maju dalam kontestasi politik sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto. "Yang paling bersih itu sebenarnya zaman SBY, karena SBY gak punya kepentingan. Anaknya belum mau menjadi presiden dan seterusnya. Jadi, teman-teman cendekiawan mohon bisa secara kritis mencermati," ucap Didik Rachbini.

Pilihan Editor: Diterpa Isu Boikot, Laba Bersih Unilever Anjlok 10,5 Persen Jadi Rp 4,8 Triliun pada 2023

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow