Mengenal Alice Milliat, Pelopor Atlet Perempuan Bisa Tampil di Olimpiade
KOMPAS.com – Kejuaraan Olimpiade dulunya hanya diikuti atlet laki-laki dari seluruh penjuru dunia. Hal itu berubah berkat jasa atlet Perancis, Alice Milliat yang berjuang agar perempuan dapat ikut Olimpiade.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) melaporkan, Olimpiade Paris 2024 dan Paralimpiade Paris 2024 menjadi kejuaraan pertama dalam sejarah yang diikuti atlet putra dan putri dalam jumlah yang sama.
Dikutip dari laman resmi Olimpiade, Olimpiade Paris 2024 mempertemukan setidaknya 10.500 atlet dari 206 negara. Dari jumlah tersebut, setengah di antaranya perempuan,
Olimpiade Paris 2024 bahkan menggelar 28 dari 32 cabang olahraga dengan kesetaraan gender. Kejuaraan ini juga menyediakan medali untuk 152 pertandingan putri, 157 putra, dan 20 campuran.
Saat digelar pada 1896 silam, keterwakilan atlet perempuan dan laki-laki belum sama sama dalam Olimpiade. Situasi itu berubah seperti saat ini berkat atlet Perancis Alice Milliat.
Baca juga: Catatan Perolehan Medali Indonesia di Olimpiade dari Masa ke Masa
Siapa Alice Milliat?
Dikutip dari Paris (18/6/2024), Alice Milliat lahir pada 1884 di Kota Nantes, Perancis. Dia menikah dengan Joseph Milliat pada 1904 di London, Inggris.
Di Inggris, Alice bekerja sebagai pengasuh anak dan stenografer atau tukang ketik dengan metode steno sehingga tulisannya cepat dan singkat.
Kala itu, dia juga menekuni olahraga dayung dan sepak bola yang jarang dilakukan perempuan Perancis pada masanya.
Setelah empat tahun menikah, suaminya meninggal. Alice pun pindah ke Paris selama perang dunia. Dia bekerja sebagai guru sekolah.
Selain dayung dan sepak bola, dia rupanya juga mampu berenang dan bermain hoki lapangan. Saat itu, perempuan di Eropa pun mulai punya hak memilih dan bekerja.
Pada 1915, Alice menjadi presiden klub olahraga khusus perempuan setempat. Dia ikut mendirikan federasi nasional pada 1917.
“Olahraga wanita mulai punya tempat dalam kehidupan sosial, sama seperti olahraga pria,” katanya saat itu.
Namun, sejak Olimpiade pertama 1896 hingga kala itu belum ada keterwakilan perempuan dalam kompetisi olahraga dunia tersebut.
Ketua Komite Olimpiade Internasional (IOC) Baron Pierre de Coubertin saat itu menyebut, belum ada urgensi perempuan ikut serta dalam perlombaan tersebut.
Menurut Coubertin yang pada masa itu pemikirannya belum inklusif, Olimpiade tak butuh atlet perempuan agar acaranya tidak terlalu besar.
Perempuan dia nilai tidak pantas berkompetisi di depan umum dan tidak punya kemampuan terbaik untuk masuk Olimpiade.
Seiring berjalannya waktu, pemikiran usang tersebut berubah. Pada Olimpiade Paris 1900, mulai ada 22 perempuan dari 997 atlet yang berkompetisi, dikutip dari NBC Olympics.
Kala itu, pelaut Swiss Helene de Pourtales menjadi perempuan pertama yang berlaga dan menjuara Olimpiade.
Baca juga: Gregoria dan Pebulu Tangkis Wanita Indonesia yang Pernah Meraih Medali di Olimpiade
Ciptakan Olimpiade khusus perempuan
Alice Milliat lalu mendirikan dan menjadi presiden Federasi Olahraga Wanita Internasional pada 1919.
Persatuan sejumlah federasi nasional ini kerap mengadakan kompetisi atletik, bola basket, sepak bola, rugbi, dan hoki.
Meski begitu, Alice ingin ada ajang sama antara perempuan dan laki-laki.
Dia lalu mengusulkan ada cabang atletik perempuan dalam Olimpiade Belgia 1920.
Usulan ini ditolak Komite Olimpiade Internasional, dilansir dari The New York Times (10/7/2024).
Pada 1921, presiden pertama badan pengelola atletik global dan anggota IOC, Sigfrid Edström, mengadakan pertemuan internasional khusus wanita di Monte Carlo.
Alice tidak suka. Pertemuan itu ia anggap cuma ajang berfoto dan mencari popularitas semata.
Dia meyakini, mengatur olahraga perempuan di bawah kepemimpinan laki-laki termasuk bagian dari cara laki-laki berkuasa.
Dia lalu menggelar Olimpiade perempuan di Paris pada 1922. Acara itu diadakan dua tahun sebelum Olimpiade Paris 1924. Kejuaraan itu berlangsung setiap empat tahun hingga 1934.
Namun, gelaran olahraganya sempat diperolok publik. Pasalnya, banyak peserta jatuh dan dianggap tidak mampu berolahraga berat.
Dinamika terus bergulir. Pada 1934, Komite Olimpiade Internasional mempertimbangkan menghapus perempuan sepenuhnya dari Olimpiade. Namun, upaya itu bisa dicegah lewat voting.
Hasilnya, olimpiade kala itu mulai memperbolehkan perempuan ikut cabang olahraga tenis dan golf di nomor perorangan. Perempuan juga bisa berpartisipasi dalam berlayar, kriket, dan berkuda.
Baca juga: Profil Gregoria Mariska Tunjung, Sempat Ingin Berhenti Jadi Atlet, Kini Sumbang Medali Pertama untuk Indonesia
Peran Alice Milliat baru diakui
Diberitakan RFI (8/6/2024), Olimpiade perempuan berhenti diadakan pada 1940 saat muncul rezim Vichy yang pro-Nazi di Perancis.
Kebijakan kala itu membuat perempuan dilarang tampil di kompetisi publik, termasuk olahraga.
Sejak itu, Alice banting setir ganti pekerjaan di bidang penerjemahan dan kesekretariatan hingga meninggal pada 1957.
Kuburannya di Nantes, Perancis tidak diketahui karena tanpa batu nisan hingga 2020.
Sejak kematian Alice Milliat dan seiring bertumbuhnya kesadaran gender secara luas, Komite Olimpiade Internasional mulai mendukung kesetaraan di bidang olahraga.
Berangsur-angsur, banyak atlet perempuan mulai bisa mengikuti beragam nomor kejuaraan, laiknya laki-laki.
Hingga pada 2024, Olimpiade mencatat komposisi pertandingan antara laki-laki dan perempuan jumlahnya sama.
Para sejarawan terus menggali kontribusi Alice Miliiat. Untuk menghargai jasa perintis kesetaraan di bidang olahraga ini, Yayasan Alice Milliat didirikan di Perancis pada 2016 lalu.
Selain itu, sebuah gimnasium di Paris diberi nama Alice Milliat untuk mengenang nama besarnya. Lapangan terbuka di Porte de la Chapelle juga akan menggunakan namanya.
Kini, nama Alice Milliat akhirnya dikenang luas sebagai pelopor atlet perempuan bisa ikut serta dalam kejuaraan Olimpiade.