Informasi Terpercaya Masa Kini

Susi Susanti, Didiskriminasi Meski Sudah Harumkan Negara Di Olimpiade

0 8

Dia adalah atlet pertama yang mempersembahkan emas Olimpiade bagi bangsa ini. Dia contoh nyata bagi semangat, kerja keras, dan kesungguhan, tapi sekaligus pengorbanan. Itu juga dilakukannya dalam banyak hal, sampai sekarang.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Momen itu sungguh menyentuh perasaan. Bukan hanya untuk kepuasan pribadi maupun keluarga. Apa yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 1992 di Pavello de la Mar Bella di Kota Barcelona, Spanyol, sudah menjadi catatan puncak sejarah olahraga bagi bangsa Indonesia.

Hari itu Lucia Francisca Susi Susanti mendapat kalungan medali emas Olimpiade. Dia berhasil menjuarai nomor tunggal putri setelah menyingkirkan jagoan Korea Selatan, Bang Soo Hyun, lewat pertarungan rubber-set yang sangat menegangkan.

Sang Merah Putih dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya. Selama upacara penghormatan kepada Sang Juara, air mata Susi menetes penuh rasa bahagia. Pada saat yang sama ternyata jutaan rakyat Indonesia yang menyaksikan lewat siaran langsung televisi, mengalami hal serupa.

Ada empati, ada keharuan yang sangat mendalam. Hari itu, Susi, gadis kelahiran Tasikmalaya, 11 Februari 1971, bukan lagi milik keluarga Risad Haditono dan Purwo Banowati, tapi milik seluruh negeri ini. Prestasi dan reputasinya membuat nama Indonesia wangi di mata dunia. Bayangkan, inilah medali emas pertama Indonesia di kontes Olimpiade yang diikuti sejak Olimpiade Helsinki 1952.

Tidak lama kemudian, kejayaan Indonesia dilengkapi dengan medali emas kedua lewat gelar juara tunggal putra Alan Budikusuma. Pertandingan di nomor tunggal putra ini memang tidak setegang di tunggal putri karena terjadi all Indonesian final antara Alan dengan Ardy Wiranata.

Hari itu Indonesia merebut dua medali emas dari cabang bulutangkis. Empat tahun berselang di Olimpiade Seoul, Korea Selatan, Indonesia baru mampu merebut perak dari cabang panahan. Kebahagiaan yang sangat lengkap.

Dua anak manusia yang sedang berkasih-kasihan, Susi dan Alan, sama-sama berjaya. Sepasang emas dari sepasang cinta, yang sebagaimana kita ketahui, pasangan ini kemudian membentuk mahligai rumah tangga pada 9 Februari 1997. Keluarga bahagia ini kemudian dikarunia tiga anak: Laurencia Averina, Albertus Edward, dan Sebastianus Frederick.

Kini golden mix-double ini menempati rumah yang nyaman di Gading Kirana Timur, Jakarta Utara.

No pain no gain

Kejayaan tidak datang sendiri. Harus ada pengorbanan untuk bisa menggapai cita-cita yang bersemayam jauh di lubuk hati paling dalam. Ketika hanya memikirkan kenikmatan di kemudian hari tanpa kegigihan dalam proses, semua akan sia-sia belaka. Susi sadar betul arti “no pain no gain”. Karena itu, segala beban harus berani dipikul.

Walau terkadang sangat melelahkan dan bahkan nyaris melahirkan rasa frustrasi, namun dengan tekad dan keyakinan, segala tantangan berhasil dilalui. Alhasil, puncak prestasi seorang atlet menjadi imbalan yang sangat pantas hingga kemudian mundur teratur dari arena pertandingan.

Dapat dibayangkan bagaimana Susi, anak manja yang sangat dekat dengan maminya, Purwo Banowati, harus berpisah. Ketika itu, Susi masih duduk di bangku SMP, usia 14 tahun, terpaksa meninggalkan kota kelahirannya untuk tinggal dan berlatih di klub Jaya Raya, Jakarta.

Anak pendiam dan lebih suka ngendon di rumah menemani mami membuat kue dagangan itu harus mengakhiri semuanya. Ada obsesi dan pengharapan yang terus menggelitik dalam diri Susi untuk menjadi atlet sejati. Sikap manja ditinggalkan dan memulai hidup sendirian di rantau. Rasa rindu dan kesepian ditepis dengan kompensasi latihan lebih banyak melebihi rekan-rekannya di klub.

Dari postur tubuh, sesungguhnya Susi tidak kelihatan atletis. Tinggi hanya 161 cm dan tampak kurus seperti tak bertenaga. Sadar akan kekurangannya, Susi menutupi dengan menguatkan ketahanan endurance dan pola permainan mengandalkan stroke ketimbang smash yang lebih menyerang.

Setiap kali para pemain kelas dunia bertanding menghadapi Susi, mereka sudah merasa jeri duluan. Tampil tenang, tidak emosional dan ingin cepat-cepat mengakhiri pertandingan, menjadi modal utama. Dengan pertahanan kuat dan pengembalian bola secara akurat ia sering memaksa lawan membuat unforced error – melakukan kesalahan sendiri yang menghasilkan poin untuk Susi.

Ketika konsentrasi lawan sudah buyar, di situlah saatnya Susi menyerang secara dingin dan tentu meraih kemenangan. Pengorbanan masa remaja Susi telah membuahkan hasil. Gelar juara di berbagai turnamen internasional direbut. Juara Dunia, juara All England, Olimpiade, dan dua kali mengawinkan Piala Uber dan Piala Thomas tahun 1994 dan 1996 adalah prestasi indah.

Tidak ada yang dirahasiakan. Susi juara karena memiliki disiplin pribadi untuk mewujudkan obsesi yang dibangun sendiri. Menata hidup masa depan. Hingga kapan pun panggung bulu tangkis tidak akan pernah dilupakan Susi dan Alan.

Pasangan ini, walau tidak aktif melatih di Pemusatan Latihan Nasional Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (Pelatnas PBSI), tetap ringan tangan memberi masukan dan pemikiran kepada atlet bila diminta.

Sadar akan potensi dan lahan yang sudah tersedia, Alan dan Susi juga cerdas memanfaatkan kelebihan mereka. Usaha yang dirintis pun tidak jauh dari kegiatan olahraga seperti tempat latihan bulu tangkis dan kegiatan tempat kebugaran secara komersial.

Belakangan, duet sehati ini mendirikan perusahaan ASTEC dengan memanfaatkan popularitas dan kepiawaian keduanya. Nama depan Alan dan Susi digabung menjadi AS, kemudian dilengkapi dengan TEC, singkatan dari Technologi.

Usaha ini berkisar pada pembuatan raket dan perlengkapan olahraga, khususnya bulu tangkis. Saat ini Astec sudah teken kontrak kerjasama dengan PB Jaya Raya sebagai pemasok peralatan bulutangkis.

Pasangan Susi dan Alan sekaligus menjawab dan memberi bukti bawah kekhawatiran publik akan masa depan suram atlet tidak benar. Jika memang cerdas dalam menyikapi hidup selama menjadi atlet dan memanfaatkan kelebihannya di hari tua, maka stigma atlet Indonesia menderita ketika pensiun, terbantahkan. Cukup menggali talenta dan mau belajar tanpa jenuh adalah potensi besar untuk meraih kesuksesan.

Bukan sekadar retorika, tapi bukti sudah ditunjukkan Susi dan Alan. Lahir dan tumbuh dari panggung olahraga dan kemudian berhasil menerobos segala hambatan kehidupan. Siapa tahu cara hidup yang ditempuh pasangan ini menjadi inspirasi bagi atlet Indonesia lainnya.

 

Menggilas Diskriminasi

Ketika itu Susi Susanti masih 21 tahun. Masih muda memang usianya, tapi daya dobraknya luar biasa. Dia berhasil menumbangkan lawan-lawannya dengan gerakan yang lincah, cepat dan pukulan yang bertenaga. Seperti disebut di awal, Susi meraih medali emas setelah di partai final menumbangkan atlet andalan Korea Selatan, Bang Soo-hyun, lewat pertandingan tiga set: 5-11, 11-5, dan 11-3.

Sontak, tangis wanita yang kini jadi istri Alan Budikusuma itu tak terbendung ketika naik podium dan melihat Merah Putih berkibar dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Para penonton yang datang ke Barcelona juga larut dalam kegembiraan itu, beberapa dari mereka menitikkan air mata usai Susi Susanti meraih medali emas Olimpiade.

“Bagaimana tidak terharu bisa merebut medali emas dan mengumandangkan Indonesia Raya,” cerita Susi usai mengalahkan Bang Soo-hyun. Tak berselang lama, Alan bisa mengalahkan rekan senegaranya, Ardy B Wiranata dua set langsung 15-12 dan 18-13. Dua medali emas berhasil dibawa pulang ke tanah air lewat sejoli itu.

Selain menjadi pebulu tangkis pertama yang meraih medali emas Olimpiade, Susi Susanti, bagaimana dikutip dari Kompas.com, juga merupakan peraih juara All England. Gelar All England pertamanya diraih pada 1990.

Menurut berita Harian Kompas edisi 18 Maret 1990, sekitar 5.000 penonton yang memadati Wembley Arena bersorak ketika Susi yang saat itu berusia 19 tahun menjadi juara di turnamen tertua di dunia tersebut. Di partai final, Susi berhasil menundukkan rivalnya dari China, Huang Hua, dengan dua set langsung, 12-11, 11-1. Prestasi yang dicapai Susi itu membuat masyarakat bergembira sekaligus bangga.

Sebab, selama ini Indonesia hanya mampu meloloskan tunggal putri ke final All England melalui Minarni pada 1968 dan Verawaty tahun 1980. Keduanya gagal menjadi juara setelah tumbang di partai final. Hingga kini, Susi menjadi satu-satunya tunggal putri Indonesia yang berhasil menjadi juara All England.

Selama kariernya, Susi menjadi juara All England sebanyak empat kali, yakni tahun 1990, 1991,1993, dan 1994. Namanya tercatat di Guinness Book of World Records sebagai pebulu tangkis wanita yang menjuarai All England empat kali berturut-turut.

Selain Olimpiade dan All England, Susi juga pernah menjuarai World Badminton Grand Prix Finals sebanyak lima kali berturut-turut dari tahun 1990 hingga 1994. Ia juga menjadi juara di Kejuaraan Dunia IBF pada tahun 1993. Di samping itu Susi juga turut ambil bagian di tim putri Indonesia yang menjuarai Piala Uber tahun 1994 dan 1996.

Perjalanan Susi sebagai atlet bulu tangkis berakhir pada 1998, setelah ia memutuskan gantung raket. Keputusan itu diambil Susi usai menikah dengan Alan Budi Kusuma pada 1997. Berkat prestasinya di dunia bulu tangkis, pada tahun 2004 Susi diganjar penghargaan BWF Hall of Fame, sebuah penghargaan individu dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) kepada sosok pebulutangkis yang berpengaruh di dunia.

Perjuangan Susi untuk bisa menjadi pemain bulu tangkis berprestasi tidak mudah. Butuh banyak perjuangan dan pengorbanan. Sang ayah, Risad Haditono, merupakan sosok yang berpengaruh dalam karier bulutangkis Susi. Lewat sang ayahlah Susi mengenal salah satu olahraga paling populer di Indonesia.

Susi kecil mulai mengasah bakat bulu tangkisnya dengan bergabung di klub PB Tunas Tasikmalaya. Pada 1985 ketika berusia 14 tahun, Susi pindah ke Jakarta untuk bergabung dengan PB Jaya Raya.

Dalam Film Susi Susanti: Love All digambarkan bagaimana beratnya kehidupan Susi ketika harus tinggal di asrama dan jauh dari orangtua. Hari-harinya dihabiskan dengan berlatih bulu tangkis dari pagi hingga malam. Ia pun dituntut hidup secara mandiri di perantauan.

Sebagai atlet, Susi dituntut disiplin dalam berbagai hal. Mulai dari pola makan hingga jam istirahat. Ketika bergabung di PB Jaya Raya susi diharuskan mengonsumsi makanan empat sehat lima sempurna supaya fisiknya prima.

Kerja kerasnya ketika di PB Jaya Raya pun membuahkan hasil yang mengantarkannya masuk ke pemusatan latihan nasional (pelatnas) dan akhirnya mewakili Indonesia di turnamen bergengsi dunia.

Walaupun sering mengharumkan nama Indonesia, Susi sempat mengalami perlakuan diskriminatif, karena latar belakang keluarganya sebagai keturunan Tionghoa. Sebagai informasi, lewat Inpres Nomor 14 Tahun 1967, negara membatasi aktivitas etnis Tionghoa di Indonesia.

Tak hanya itu, Pemerintah Orde Baru juga memberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) bagi etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Saat itu berlaku aturan bahwa setiap warga keturunan yang berusia 17 tahun diwajibkan untuk memiliki SKBRI.

Dokumen tersebut menjadi krusial bagi masyarakat etnis Tionghoa, sebab SKBRI menjadi syarat wajib untuk mengurus administrasi kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta pernikahan, akta kelahiran, serta dokumen lainnya.

Namun, tidak mudah untuk mendapatkan SKBRI. Susi baru mendapatkan SKBRI pada 1996, menjelang pernikahannya dengan Alan. Untuk mendapatkan itu dia harus menunggu hingga delapan tahun. Padahal pada rentang 1988 hingga 1996, Susi telah banyak mewakili Indonesia dan menyabet banyak prestasi yang mengharumkan Indonesia.

“Mama mengajukan pengurusan SBKRI saya itu tahun 1988 dan baru keluar tahun 1996 saat kami mengurus pernikahan. Saat muncul di media massa baru (SKBRI) keluar,” ujar Susi, dikutip dari Harian Kompas edisi 18 April 2004.

Susi bercerita bahwa untuk mengurus SKBRI selain susah, kadang juga harus menggunakan uang. Bahkan menurut saudaranya pernah ada seseorang yang meninggal karena tidak bisa berobat ke luar negeri akibat terkendala SKBRI.

Sementara, obat yang dibutuhkan hanya ada di Singapura dan China. Susi pun heran mengapa dia harus dituntut menunjukkan SKBRI, ketika sudah banyak prestasi yang ia persembahkan untuk Indonesia.

“Bagaimana ya, kami sudah berjuang, tetapi kok kami harus menunjukkan bukti kewarganegaraan. Kakek saya lahir di Indonesia, mama lahir di Indonesia, saya lahir di Indonesia. Kenapa mesti ada perbedaan?” kata Susi.

Meski mengalami diskriminasi, namun hal itu tidak mengurangi kecintaannya pada Indonesia. Sebelum Olimpiade Barcelona 1992 beberapa negara sempat menawari Susi untuk menjadi atlet mereka. Namun tawaran itu ditolak Susi, meskipun dengan iming-iming jaminan kehidupan yang lebih baik.

“Sebelum Olimpiade (1992), tawaran ke luar negeri banyak dengan jaminan yang besar, tetapi saya merasa orang Indonesia, cinta indonesia. Keindonesiaan itu dibeli berapa pun tidak mungkin saya jual. Saya lahir dan hidup di sini, masa saya jual keindonesiaan saya dengan uang,” pungkas perempuan kelahiran 11 Februari 1971 itu. (Majalah Intisari, Harian Kompas, Kompas.com)

Leave a comment