Informasi Terpercaya Masa Kini

Bagaimana Paus Fransiskus Mengubah Wajah Gereja Katolik

0 6

PADA bulan Maret 2014, Paus Fransiskus mengaku dosa di Basilika Santo Petrus. Kurang lebih setahun setelah dia terpilih sebagai paus, dia memimpin ibadat pertobatan, yang diselenggarakan untuk mendorong umat Katolik di seluruh dunia memenuhi kewajiban mereka mengakui dosa-dosanya sebelum memasuki masa Paskah.

Sejumlah pastor ditempatkan di bilik-bilik pengakuan dosa yang ada di lingkungan basilika. Rencananya, Paus akan melayani pengakuan di salah satu bilik itu. Namun, dia memisahkan diri dari orang yang mengantarnya ke biliknya dan melangkah ke bilik lain, di mana dia berlutut, membuat tanda salib, dan berbicara pelan kepada seorang pastor.

Hal itu mengagetkan orang-orang yang menyaksikan, yang mengira Paus akan memberikan absolusi kepada orang lain atas dosa mereka, bukan malah mengakui dosanya sendiri. Dalam memori kebanyakan orang katolik masa kini, belum ada paus dalam masa hidup mereka, Yohanes Paulus II ataupun Benediktus XVI, melakukan hal itu, yaitu mengaku dosa di depan umum.

Baca juga: Kisah di Balik Terpilihnya Paus Fransiskus

Namun jika ditinjau kembali, maksudnya jelas: Paus sedang memimpin dengan memberi contoh, dia ikut serta dalam ritual, bukan menempatkan diri di atasnya.

Sudah 11 tahun lebih Fransiskus menjadi paus dan tindakan seperti di atas telah menjadi ciri khas masa jabatannya. Sama seperti Yohanes Paulus II yang mengubah profil kepausan melalui perjalanan keliling dunia, Fransiskus melakukannya melalui spontanitas dan keterusterangannya.

Mengkritik Gereja

Kepada kaum konservatif yang resah di dalam Gereja Katolik, dia menunjukkan bahwa Gereja merupakan sebuah institusi yang pemimpinnya bisa menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang belum terselesaikan secara terbuka, bukan malah mengabaikannya dan menganggapnya sebagai tabu.

Dia telah menegaskan, pencarian yang rendah hati dan personal akan cara yang benar untuk menjalani hidup merupakan hal yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik abad ke-21 hingga ke level paling tinggi.

Enam bulan setelah menduduki tahta kepausan, Fransiskus menggemparkan Gereja Katolik dengan publikasi pernyataannya bahwa gereja telah “terobsesi” dengan aborsi, pernikahan sesama jenis, dan kontrasepsi, dan bahwa ia memilih untuk tidak membicarakan hal-hal tersebut meskipun mendapat kritik.

 

Komentarnya itu muncul dalam sebuah wawancara panjang di mana dia mengkritik gereja karena menempatkan dogma di atas cinta, dan karena memprioritaskan doktrin moral dibandingkan melayani masyarakat miskin dan terpinggirkan. Ia mengartikulasikan visinya tentang gereja yang inklusif, “rumah bagi semua orang”, sesuatu yang sangat kontras dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI, yang membayangkan gereja yang lebih kecil tetapi lebih murni.

Rendah Hati dan Peduli pada Orang Miskin

Kepemimpinan Paus Fransiskus dianggap mengejutkan sejak awal. Pada Februari 2013, Benediktus XVI mengundurkan diri. Benediktus XVI menjadi paus pertama yang mengundurkan diri dalam hampir enam ratus tahun.

Kardinal Jorge Mario Bergoglio, dari Buenos Aires, Argentina, terpilih pada bulan berikutnya. Dia orang pertama dari Ordo Yesuit dan dari Benua Amerika yang menjadi paus. Dia juga orang pertama yang menggunakan nama Fransiskus, nama yang merujuk ke Fransiskus dari Assisi, santo asal Italia dari abad pertengahan yang terkenal dengan spiritualitas “kemiskinan yang suci”.

Perhatian Paus Fransiskus terhadap orang miskin, dan gayanya yang lebih mirip dengan seorang pastor paroki, telah mengubah persepsi dalam beberapa minggu setelah pemilihannya.

Dalam sebuah pidatonya di hadapan para diplomat yang ditempatkan di Tahta Suci pada Mei 2013, Paus Fransiskus berbicara tentang perlunya lebih banyak etika dalam bidang keuangan. Ia mengkritik pemujaan terhadap uang.

Baca juga: Mengenal Sosok dan Pemikiran Paus Fransiskus

“Kita telah menciptakan berhala-berhala baru,” katanya. “Penyembahan terhadap anak lembu emas zaman dahulu telah menemukan gambaran baru dan tidak berperasaan dalam pemujaan terhadap uang dan kediktatoran perekonomian yang tidak berwajah dan tidak memiliki tujuan yang manusiawi.”

Ketika Paus Fransiskus mulai menjabat, dia memilih tinggal di wisma Vatikan dibandingkan di Istana Apostolik. Dia sering menghadiri acara-acara kepausan dengan menggunakan mobil Fiat, ketimbang Mercedes-Benz. Dia membawa keceriaan kepada audiens di luar Gereja Santo Petrus.

Hubungannya dengan masyarakat menunjukkan bahwa pemilihannya mengubah dirinya — bahwa seorang pria yang dikenal oleh banyak orang Argentina sebagai sosok yang serius dan berhati-hati telah diresapi dengan apa yang disebutnya “sukacita Injil”.

Sejak itu, Fransiskus berulang kali membuat hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya menjadi tampak wajar. Tentu saja, Paus harus mengakui dosa-dosanya sebelum mendengarkan pengakuan dosa orang lain.

 

Dia berjalan di tengah kerumunan orang di luar Gereja St. Petrus dan memeluk seorang pria yang wajahnya rusak karena penyakitnya. Fransiskus mengunjungi kamp migran dan pengungsi di pulau Lesbos, Yunani (dan membawa beberapa pengungsi dengan pesawat kepausan untuk menetap di Italia).

Dia pergi ke sebuah masjid di Republik Afrika Tengah di tengah perang saudara yang dipicu oleh perselisihan antara orang Kristen dan Muslim. Fransiskus mengakui bahwa dia bersalah telah membela seorang uskup Cile yang dituduh telah menutupi pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah pastor.

Membenahi Birokrasi Vatikan 

Fransiskus juga menerapkan kepiawaiannya dalam melakukan hal-hal tidak biasa ke dalam operasi sehari-hari di Vatikan.

Tujuh bulan setelah menjabat, Paus Fransiskus menyerukan desentralisasi kekuasaan di dalam gereja, dengan mengatakan bahwa Vatikan dan bahkan Paus harus bekerja sama dengan para uskup, umat awam, dan khususnya perempuan.

Dia membentuk dewan penasehat kardinal dan menjelaskan bahwa dia akan berkonsultasi dengan orang lain; meluncurkan penyelidikan terhadap Bank Vatikan, yang lama dicurigai telah melakukan korupsi dan pencucian uang.

Paus Fransiskus berhadapan dengan birokrasi Vatikan yang sarat dengan intrik dan kelambanan, suatu kondisi yang menurut sejumlah petinggi gereja turut berkontribusi pada pengunduran diri Paus Benediktus XVI.

Dia mengganti orang-orang konservatif dengan kelompok moderat saat gereja bersiap menghadapi perdebatan penting mengenai proses pengambilan keputusan di Vatikan dan isu tentang hakikat keluarga.

Dia juga membongkar blok-blok persaingan orang-orang Italia yang memiliki pengaruh kuat di Kuria, birokrasi Vatikan. Paus meningkatkan transparansi keuangan di Bank Vatikan dan merombak jenjang karier yang telah didaki oleh banyak prelatus (pejabat tinggi gereja, seperti uskup, kardinal, atau pejabat lainnya yang memiliki otoritas dan tanggung jawab penting dalam struktur hierarki gereja) sepanjang hidup mereka.

Dia juga melakukan upaya untuk merampingkan birokrasi Vatikan. Dia menunjuk seorang perempuan, Suster Nathalie Becquart dari Perancis, untuk memegang peran penting dalam Dikasteri Uskup, salah satu kantor Kuria yang paling berpengaruh karena tugasnya terkait dengan pemilihan, pengangkatan, dan penugasan uskup di seluruh dunia.

Hal-hal itu mungkin bukan langkah-langkah besar, namun merupakan langkah-langkah yang melampaui langkah-langkah yang telah diambil oleh kedua pendahulunya dalam gabungan tiga puluh empat tahun masa jabatan mereka.

Melangkah ke Luar

Pada saat yang sama, Paus Fransiskus mengarahkan kerja kepausan ke dunia luar, tidak hanya sebatas di lingkungan gereja. Dia mendedikasikan surat ensiklik keduanya, “Laudato si’,” untuk masalah perubahan iklim.  Ensiklik itu menyerukan transformasi radikal dalam politik, ekonomi, dan gaya hidup individu untuk menghadapi perubahan iklim. 

Paus Fransiskus mendukung “Negara Palestina”. Dia terlibat langsung dalam proses perdamaian Timur Tengah yang gagal pada Mei 2014, dengan mengeluarkan undangan untuk menjadi tuan rumah bagi presiden Israel dan Palestina dalam sebuah pertemuan puncak doa di apartemennya di Vatikan. Paus Fransiskus menjadi Paus pertama yang terbang langsung ke Tepi Barat dan menyebut wilayah yang diduduki Israel sebagai “Negara Palestina.”

Fransiskus bepergian ke sekitar selusin negara mayoritas Muslim. Dia juga membuka Arsip Rahasia yang berisi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan intrik diplomatik Vatikan selama Perang Dunia Kedua. Dia berbicara kepada pers dengan santai, sesuatu yang jarang terjadi pada sosok publik manapun.

Paus Fransiskus bergandengan tangan atas nama persaudaraan dengan para pemimpin agama lain, termasuk dengan Uskup Agung Canterbury dan Ahmed el-Tayeb, Imam Besar al-Azhar, dan keterbukaan diplomatiknya terhadap China, sangat kontras dengan sikap anti-Komunisme Paus Yohanes Paulus II di akhir Perang Dingin juga memicu ketidakpuasan.

  Masalah Perceraian dan Homoseksualitas

Paus Fransiskus memicu perdebatan tingkat tinggi tentang apakah gereja dapat mengubah sikapnya terhadap orang-orang yang bercerai tanpa mengubah doktrin yang menyatakan pernikahan sebagai sesuatu yang permanen dan tidak dapat diceraikan.

Ini merupakan isu hangat di dalam gereja. Garis pertarungannya jelas: Beberapa pejabat tinggi gereja, terutama konferensi para uskup Jerman, ingin gereja melonggarkan peraturannya. Mereka ingin memberikan kesempatan bagi umat Katolik yang bercerai untuk kembali sepenuhnya ke kehidupan menggereja dan menerima komuni bahkan jika mereka telah menikah lagi tanpa pernikahan mereka sebelumnya secara resmi dibatalkan.

Kaum konservatif memberikan perlawanan keras, dengan alasan bahwa pernikahan yang tidak dapat diceraikan sudah ditetapkan Tuhan dan karena itu tidak dapat dinegosiasikan.

Isu homoseksualitas juga menjadi perdebatan. Pada Juli 2013, dalam konferensi pers pertamanya di atas pesawat kepausan, ia dengan ramah menjawab pertanyaan seorang wartawan mengenai “lobi gay” di Vatikan. “Jika seseorang itu gay dan sedang mencari Tuhan dan memiliki sebuah niat yang baik, lalu siapakah saya sehingga bisa menghakiminya?” jawabnya saat itu atas pertanyan tersebut.

Namun citra Fransiskus sebagai paus rakyat telah menimbulkan kebencian di kalangan kaum konservatif dalam Gereka Katolik. Mereka menghormati Yohanes Paulus II atas popularitasnya, yang ia peroleh dengan tetap memegang teguh doktrin Gereja.

 

Namun, mungkin lebih dari apapun, kalangan konservatif merasa terganggu oleh kebiasaan Paus Fransiskus, baik dalam wawancara (yang mendorong dukungan dan kepedulian terhadap “pasangan yang terluka”) dan dalam pertemuan tatap muka (dengan pasangan gay, dengan kaum transgender), yang membedakan antara ajaran Gereja dan praktik pastoral, sebuah pendekatan yang menyarankan bahwa Gereja harus mengkaji ulang pendekatannya terhadap masalah seksual — tidak hanya homoseksualitas tetapi juga pernikahan dan seks di luar nikah.

Menangani Kasus Pelecehan Seksual

Paus Fransiskus menyetujui pembentukan pengadilan Vatikan untuk mengadili para uskup yang dituduh menutup-nutupi atau gagal bertindak dalam kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh para rohaniwan, sebuah langkah yang sudah lama diminta oleh para korban dalam lebih dari tiga dekade ketika Gereja Katolik secara terbuka menangani kasus skandal pelecehan.

Dia misalnya mencopot Theodore McCarrick, kardinal yang menghadapi beberapa tuduhan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan orang dewasa (tuduhan yang dibantah oleh McCarrick) dan, pada tahun 2019, Fransiskus menetapkan norma-norma yang mengharuskan Gereja untuk mendengarkan orang-orang yang menuduh para rohaniwan melakukan pelecehan seksual, memastikan bahwa mereka “disambut, didengarkan, dan didukung,” alih-alih langsung membela para rohaniwan itu.

Sebelum Paus Fransiskus, belum ada paus yang secara terbuka mengonfrontasi atau mencopot uskup yang dituduh melakukan kelalaian besar.

Merevisi Ajaran Keterbukaan Paus Fransiskus untuk meninjau kembali, dan bahkan merevisi, ajaran-ajaran Gereja —dan terhadap perbedaan pendapat yang mungkin timbul— mungkin merupakan perkembangan paling penting dari masa kepausannya, sesuatu yang benar-benar membedakannya dari para pendahulunya.

Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, serta beberapa ratus uskup yang mereka tunjuk, berusaha meredam perjuangan tulus umat Katolik dalam menentang ajaran Gereja. Mereka ;mendisiplinkan para teolog Katolik yang terus berbicara dan menulis tentang isu-isu tertentu (Pater Jacques Dupuis dan Pater Peter Phan, tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen; Suster Elizabeth A Johnson, tentang bias gender terhadap Allah Bapa; Suster Margaret Farley, tentang etika seksual) dengan memulai penyelidikan tentang pekerjaan orang-orang itu yang bertujuan membatasi kemampuan mereka untuk menulis dan mengajar.

Para uskup, yang seharusnya menjadi guru iman, menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai topik yang rumit hanya dengan mengulangi rumusan Vatikan (misalnya mengenai fertilisasi in-vitro, “yang secara jelas dan tegas telah dinilai oleh Gereja sebagai tindakan yang tidak bermoral” ).

Paus Fransiskus tidak membongkar proyek kaum konservatif, dia hanya menjauh dari proyek tersebut. Dia mengakui bahwa keputusan-keputusan formal kepausan memiliki pengaruh yang terbatas dan bahwa tindakan pencarian penuh kesadaran oleh individu terhadap pertanyaan moral yang mendesak adalah inti dari kehidupan beragama, sebagaimana dalam kehidupan pada umumnya.

Paus Fransiskus sudah berusia 87 tahun, dan dia mengatakan dirinya tidak berencana mengundurkan diri, kecuali jika sudah tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. 

Selama 11 tahun lebih, Paus Fransiskus dengan jujur mengakui bahwa Gereja adalah institusi yang tidak dapat diprediksi, sebuah institusi yang dinamis.

Leave a comment