Naik Takhta Saat Masih 10 Tahun, Adik Pangeran Diponegoro Harus Rela Pemerintahannya Dikendalikan 'Sahabat' Belanda Ini

Sultan Hamengkubuwono IV praktis hanya dua tahun memegang penuh pemerintahan Keraton Yogyakarta. Dia banyak disetir oleh Ibunya dan Patih Danureja IV

Naik Takhta Saat Masih 10 Tahun, Adik Pangeran Diponegoro Harus Rela Pemerintahannya Dikendalikan 'Sahabat' Belanda Ini

Intisari-Online.com - Sultan Hamengkubuwono IV naik takhta saat usianya masih sangat belia, 10 tahun.

Ketika memerintah, dia lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang dekat dengan Belanda, di antaranya adalah Patih Danureja IV dan ibunya.

Yang juga tragis, adik Pangeran Diponegoro itu meninggal dunia tak lama setelah dia benar-benar memegang pemerintahannya saat berpesiar.

Konon, dia tewas karena diracun.  

Sultan Hamengkubuwono IV merupakan raja Kesultanan Yogyakarta keempat.

Dia memerintah sejak 1814 hingga 1823.

Masa pemerintahannya terbilang sangat singkat karena Sultan Hamengkubuwono IV wafat pada 6 Desember 1823 setelah berkunjung dari pesanggrahannya.

Selama memimpin, HB IV membuat berbagai kebijakan, tetapi dikendalikan oleh Ibu Ratu, Patih Danurejo IV, dan Belanda.

Hal itu disebabkan oleh usia Hamengkubuwono IV yang masih sangat muda.

Seperti disebut di awal, HB IV naik takhta di usia yang baru 10 tahun.

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, lahir 3 April 1804.

Ia ditunjuk sebagai putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada 21 Juni 1812.

Tidak lama kemudian, Gusti Raden Mas Ibnu Jarot naik takhta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono IV pada 9 November 1814, ketika baru berusia 10 tahun.

Karena masih sangat muda, maka pemerintahannya didampingi oleh wali raja, yaitu Pangeran Notokusumo yang bergelar Paku Alam I.

Paku Alam I bertindak sebagai wali hingga Sultan berusia 16 tahun, pada 1820.

Tapi menjelang penyerahan kekuasaan Inggris ke Belanda tahun 1816, ibunda Sultan dan Patih Danureja IV yang kemudian menjalankan wewenang sebagai wali sultan.

Fakta lain, HB IV sangat dekat dengan sang kakak, Pangeran Diponegoro.

Kedekatan mereka dapat terlihat saat Hamengkubuwono IV hendak khitan, 22 Maret 1815, Pangeran Diponegoro-lah yang menutup mata adiknya dengan kedua tangannya.

Tapi semua kedekatan itu hancur gara-gara sosok Patih Danureja IV yang terus menancapkan pengaruhnya di kesultanan.

Patih Danureja IV dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Belanda.

Dia mendukung sistem sewa tanah untuk swasta yang mengakibatkan kesengsaraan bagi penduduk kasultanan.

Selain itu, Patih Danurejo IV juga menempatkan saudara-saudaranya di posisi-posisi strategis.

Puncak ketegangan antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danureja IV terjadi saat Garegeb Sawal pada 12 Juli 1820.

Di hadapan sultan yang sudah memerintah secara mandiri, Pangeran Diponegoro mencela Patih Danureja IV yang telah menyewakan tanah kerajaan di Rejowinangun.

Dua tahun kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono IV meninggal dunia, tepatnya tanggal 6 Desember 1823.

Ketika itu dia masih berusia 19 tahun.

Dalam beberapa catatan disebutkan ia meninggal setelah kembali dari kunjungan pesanggrahannya.

Oleh sebab itu, Sultan dikenal sebagai Sultan Seda Besiyar.

Jasad Hamengkubuwono IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri.

Di masa pemerintahannya yang sangat singkat, dua tahun, membuat semua kebijakannya lebih banyak dikendalikan oleh Ratu Ibu, Patih Danureja IV, dan Belanda.

Karena itulah dia tidak mempunyai karya sastra besar maupun seni yang dihasilkan.

Kendati demikian, ada dua kereta yang saat ini ada di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yaitu Kyai Manik Retno dan Kyai Jolodoro.

Dua kereta tersebut difungiskan untuk kebutuhan pesiar yang sering dilakukan Sultan.    

Begitulah nasib tragis Sultan Hamengkubuwono IV yang praktis memerintah hanya dua tahun.

Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow