Mengapa Harga Bitcoin Masih Lesu Pasca-Halving?

Fyqieh Fachrur, Trader TokoCrypto, mengatakan pasca-halving Bitcoin pada 20 April lalu, mata uang kripto ini masih dalam tekanan dan sentimen negatif.

Mengapa Harga Bitcoin Masih Lesu Pasca-Halving?

Harga Bitcoin (BTC) sejak Maret bergerak fluktuatif, mencakup lonjakan singkat ke rekor tertinggi di US$73.680 (Rp 1,17 miliar) yang diikuti dengan penurunan cepat ke level terendah US$59.630 (Rp 948,12 juta). Hal ini menunjukkan para pialang (trader) dan investor ragu-ragu terhadap arah pasar, terlebih pasca halving Bitcoin yang tidak menunjukkan perubahan signifikan.

Fyqieh Fachrur, Trader TokoCrypto, mengatakan pasca-halving Bitcoin pada 20 April lalu, mata uang kripto ini masih dalam tekanan dan sentimen negatif. Beberapa faktor yang menyebabkan sentimen negatif ini adalah antisipasi laporan pendapatan kuartal I untuk perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat dan konflik Israel-Iran.

"Kinerja negatif Bitcoin pada pekan ini dapat dikaitkan dengan ketakutan pelaku pasar terhadap koreksi bursa saham AS, meningkatnya krisis di Timur Tengah, dan berkurangnya kepercayaan terhadap perekonomian Cina," ujar Fyqieh, di Jakarta, Kamis (25/4).

Selain itu, Fyqieh menyoroti tingkat pendanaan yang berubah menjadi negatif untuk pertama kalinya pada tahun ini, tepat sebelum peristiwa halving terjadi. "Tingkat pendanaan negatif ini menunjukkan bahwa sentimen pasar telah berubah ke arah bearish ketika posisi short lebih besar daripada posisi long," ujarnya.

Baca juga:

  • Aliran Dana ke ETF Bitcoin Berlanjut, Optimisme Pasar Pulih
  • IMF: Bitcoin Diperlukan di Tengah Ketidakstabilan Finansial
  • JPMorgan Prediksi Harga Bitcoin Bakal Turun Pasca-Halving

Siklus halving pada tahun ini akan sedikit berbeda dibandingkan peristiwa sebelumnya. Sejauh ini sudah terjadi empat kali halving Bitcoin, yakni pada 11 Mei 2020, 9 Juli 2016, 28 November 2012, dan 20 April 2024.

Halving mengakibatkan penurunan imbalan penambangan Bitcoin sebesar 50% dari 6,25 BTC menjadi 3,125 BTC. Akibatnya, jumlah Bitcoin yang beredar semakin langka sehingga menyebabkan lonjakan permintaan di kalangan investor. Pasokan Bitcoin dibatasi maksimal 21 juta koin yang beredar selamanya.

"Bitcoin telah mengalami lonjakan yang cukup besar, bahkan mencapai rekor tertinggi baru sebelum halving. Oleh karena itu, seluruh siklus harga yang biasanya mengelilingi peristiwa ini, tampaknya menjadi lebih terkompresi," kata Fyqieh.

Menunggu Pemangkasan Bunga The Fed

Alasan lainnya mengapa halving Bitcoin belum menyebabkan lonjakan harga yang tinggi adalah karena Federal Reserve (The Fed) yang merupakan bank sentral AS belum memberikan sinyal kuat untuk memangkas suku bunga. Pada saat halving 2020, The Fed memiliki kebijakan moneter yang cukup longgar dengan suku bunga yang relatif rendah.

"Stagnasi harga Bitcoin setelah halving dianggap sebagai fenomena yang wajar. Banyak yang mengharapkan kenaikan harga yang signifikan setelah halving, padahal efek dari halving ini sebenarnya dirasakan dalam 2-4 bulan setelahnya," tutur Fyqieh.

Investor yang masih ragu dengan arah Bitcoin bisa menggunakan teknik Dollar Cost Averaging (DCA). Ia memperkirakan Bitcoin masih berpeluang mencapai harga US$100.000 atau sekitar Rp 1,6 miliar pada akhir tahun ini. Namun, hal ini tergantung pada sentimen pasar dan potensi permintaan di pasar.

Secara historis, halving pada 2021 menandai awal dari kenaikan harga Bitcoin yang meroket, mendorong harganya sebesar 92 kali lipat. Halving pada 2016 dan 2020 juga menunjukkan kenaikan harga yang signifikan masing-masing sebesar 30 kali dan 8 kali.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow