Fat Cat (Wajah Fenomena Bunuh Diri Pencaplok Gen Z)

Orang Tua jangan berpikir bahwa sikap mengasingkan diri bukan masalah. Bahkan anak yang muda bersosialisasi pun belum tentu tidak merasa kesepian.

Fat Cat (Wajah Fenomena Bunuh Diri Pencaplok Gen Z)

Akhir akhir ini warganet China dan beberapa negara lain membahas kematian Pang Mao (21 tahun), pemuda yang dikenal dengan nama samaran, " fat cat". Selama 2 tahun dia berpacaran dengan Tan Zhu (27 tahun). Di tahun kedua masa pacaran itu mereka hanya bertemu 2 kali dan lebih banyak lewat virtual karena tinggal berjauhan. Meski berjauhan, si pria rutin mengirim uang kepada kekasihnya. Setidaknya 500.000 Yuan atau Rp 1.1 miliar. Kiriman terakhir yang berikan sebelum kematiannya, dan saat berjumpa iya memberikan 66.000 Yuan. Semua itu untuk membiayai hidup si wanita. Uang yang dikirim si pria di dapat dari bayaran sebagai pemain game dan juga bekerja paruh waktu. Dalam setiap permainan game, ia mendapatkan 13 Yuan. Biasanya, Pang Mao bisa memainkan game beberapa kali dalam sehari. Meskipun bisa mendapatkan uang yang cukup, pang Mao lebih memilih hidup hemat untuk membiayai pacarnya. Ia pernah mengunggah video ingin makan hamburger. Pernyataan ini mau mengungkapkan keinginan untuk memanjakan diri yang ia batasi. Namun di masa pacaran mereka, pertengkaran sering terjadi. Dan belakangan ini mereka putus meski pang Mao telah banyak berkorban. Kondisi ini tentu membuat pang Mao menjadi malu dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Pang Mao akhirnya mengakhiri hidupnya dengan terjun dari atas jembatan.

Dalam tradisi Tionghoa ada filosofi "Wei le mian zi" atau jangan kehilangan muka. Seorang yang malu, putus cinta dan kehilangan harapan seperti pang Mao akan memilih untuk tidak hidup lagi. Di China ada tekanan tinggi bagi orang muda untuk menikah, berprestasi, dan mapan. Dan semua itu membebani anak muda.Kondisi yang sama dialami juga oleh negara lain di Asia Timur. Contohnya di jepang. Banyak pesohor muda yang meninggal dunia di usia muda.

Lalu apa yang bisa kita petik dari kenyataan ini. Di kalangan anak muda, rasa frustrasi juga ada. Para generasi Z mengalami tekanan karena biaya hidup yang tinggi sementara gaji kecil dan susah cari kerja padahal sudah susah sekolah dengan biaya mahal.

Menurut CNN, anak muda yang terlibat aktif dalam berbagai kelompok seusia cenderung bisa mengatasi tekanan itu. Justru masalah akan terjadi ketika mereka menarik diri dari pergaulan. Mereka yang mengisolasi atau terisolasi rentan dihinggapi keinginan bunuh diri. Ada sebanyak 20 persen remaja yang berpikir untuk bunuh diri menurut jurnal JAMA.

Ada banyak penyebab anak mau bunuh diri. Selama ini kajian bunuh diri hanya berfokus pada gejala psikopatologi, seperti depresi, kecemasan dan gejala psikotik. Dalam sebuah riset ditemukan hasil dari seorang responden yang pernah berpikir bunuh diri jika gagal bersosialisasi. Peluang ini naik 3 kali dibandingkan mereka yang bisa bersosialisasi.

Pencegahan

Masalah mental seperti kecemasan berlebihan perlu diatasi. Orang Tua jangan berpikir bahwa sikap mengasingkan diri bukan masalah. Bahkan anak yang muda bersosialisasi pun belum tentu tidak merasa kesepian. Bisa jadi meskipun dalam Keramaian, mereka merasa terasing. Maka dari itu tentu menjadi pekerjaan berat untuk mengatasi ini. Tetapi paling tidak orang tua perlu mendorong mereka untuk bersosialisasi dengan tepat dan nyata. Orang tua dan keluarga perlu membantu anak dan remaja menjadi wahana alternatif sosialisasi jika mendeteksi gejala keterasingan di satu lokasi.

Dari sisi perusahan media sosial, pencegahan juga akan dilakukan untuk menekan fenomena bunuh diri. Seperti Facebook dan Instagram, akan menyembunyikan unggahan yang bisa memicu bunuh diri. Disini mereka berjanji akan mengurangi unggahan dan materi yang dapat menggangu generasi khususnya generasi Z. 

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow