Cara awak pesawat Japan Airlines mengevakuasi penumpang dari ‘lautan neraka’ tanpa korban jiwa

Seluruh penumpang pesawat Japan Airlines selamat dari maut pasca-tabrakan di Bandara Haneda, Tokyo, pada Selasa (02/01). Faktor utama keberhasilannya? Tidak ada yang repot membawa koper atau tas selama evakuasi berlangsung serta mematuhi instruksi awak kabin.

Seluruh penumpang pesawat Japan Airlines selamat dari maut pasca-tabrakan di Bandara Haneda, Tokyo, pada Selasa (02/01). Faktor utama keberhasilannya? Tidak ada yang repot membawa koper atau tas selama evakuasi berlangsung serta mematuhi instruksi awak kabin.

Evakuasi pesawat Japan Airlines yang bertabrakan dengan pesawat penjaga pantai berjalan mulus serta menuai pujian dari banyak pihak di seluruh dunia. Di sisi lain, pesawat penjaga pantai bernasib nahas. Lima awaknya meninggal dunia dan satu orang - diduga kapten pesawat - luka parah.

Seperti diketahui, kedua pesawat bertabrakan di Bandara Haneda, Tokyo, pada Selasa (02/01) sekitar pukul 17:40 waktu setempat.

Pakar penerbangan menyebut sikap penumpang yang tertib dan tidak membawa satupun barang bawaan selama evakuasi berlangsung merupakan “faktor utama” di balik cepatnya proses evakuasi 379 orang dari pesawat Japan Airlines.

Walaupun pesawat komersil itu sudah menjadi “bola api”, pakar penerbangan dan awak pesawat mengacungkan jempol atas kemampuan awak kabin Japan Airlines dalam menerapkan pelatihan yang mereka dapatkan serta para penumpang yang “berperilaku baik” sehingga seluruh nyawa pun selamat.

“Saya tidak melihat satu penumpang pun yang merangkak di lantai, dari semua video yang saya tonton, membawa koper… Jika ada yang berusaha mengambil bawaan mereka, maka ini sangat membahayakan karena proses evakuasi menjadi lebih lambat,” ujar Prof Ed Galea, direktur Kelompok Teknik Keselamatan Kebakaran di Universitas Greenwich, Inggris.

Galea menambahkan kondisi pesawat Airbus A350 setelah kecelakaan tidaklah ideal sehingga menyulitkan evakuasi.

“Posisi hidung pesawat berada di bawah sehingga sulit bagi penumpang untuk bergerak,” imbuhnya.

Hanya tiga seluncur darurat yang bisa digunakan untuk mengevakuasi penumpang tetapi penggunaannya tidak sempurna karena posisi pesawat. Seluncur-seluncur ini rupanya sangat terjal dan ini bisa membahayakan penumpang ketika turun.

Pihak Japan Airlines melaporkan bahwa sistem pemberitahuan pesawat 516 juga tidak berfungsi selama proses evakuasi, sehingga awak pesawat harus memberikan instruksi menggunakan megafon dan berteriak.

Mereka juga melaporkan bahwa satu penumpang menderita memar-memar dan 13 lainnya meminta perawatan medis karena merasa nyeri.

Pesawat Japan Airlines terbang dari Bandara New Chitose di Sapporo pukul 16:00 waktu setempat dan tiba di Bandara Haneda sekitar 18:00.

Hingga artikel ini diturunkan, investigasi mengenai bagaimana tabrakan ini bisa terjadi masih berlangsung.

Pelatihan keselamatan diterapkan

Mantan pramugari Japan Airlines mengatakan kepada BBC bagaimana seluruh penumpang “luar biasa beruntung”.

“Saya lega mengetahui seluruh penumpang selamat. Tetapi begitu saya mulai memikirkan tentang prosedur evakuasi darurat, tiba-tiba saya merasa gugup dan takut,” ujarnya.

“Tergantung seperti apa tabrakan kedua pesawat dan bagaimana api menjalar, situasinya bisa jadi lebih buruk.”

Dalam kondisi nyata, meyakinkan penumpang untuk tidak panik adalah sesuatu hal yang sulit, ujar si mantan pramugari yang meminta agar namanya disamarkan.

“Apa yang mereka [awak kabin] lakukan kenyataannya lebih sulit dari yang orang bisa bayangkan. Faktanya, mereka berhasil menyelamatkan semua orang dan ini adalah hasil dari koordinasi yang baik antar-awak kabin dan para penumpang mengikuti instruksi keselamatan.”

Baca juga:

  • Pesawat pengangkut bantuan korban gempa bertabrakan dengan pesawat Japan Airlines, lima orang tewas
  • Kesaksian penumpang yang selamat dari ‘neraka’ pesawat Japan Airlines yang terbakar – ‘Itu adalah keajaiban, kami bisa saja mati’

Cuplikan vídeo kantor berita Reuters menunjukkan bagaimana awak pesawat Japan Airlines berusaha menenangkan penumpang di tengah kobaran api setelah tabrakan dengan pesawat penjaga pantai. Dari video itu, penumpang terlihat tetap duduk sesuai instruksi awak pesawat walaupun sebagian terdengar panik.

Mantan pramugari Japan Airlines tadi menyebutkan bahwa awak kabin baru mesti menjalani pelatihan evakuasi dan penyelamatan selama tiga minggu sebelum mereka diizinkan untuk melayani penerbangan komersil. Pelatihan ini diulang setiap tahun.

“Kami menjalani ujian tertulis, diskusi-diskusi studi kasus dan latihan praktek dengan berbagai skenario, seperti misalnya ketika pesawat mendarat di air atau saat ada api di dalam pesawat. Staf pemeliharaan juga terlibat dalam pelatihan ini,” ujar si mantan pramugari, yang terakhir bekerja di Japan Airlines 10 tahun yang lalu.

Seorang pilot dari maskapai South East Asian, yang juga meminta namanya disamarkan, menyebutkan pelatihan ketat yang harus dilalui awak kabin membantu cepatnya proses evakuasi.

“Harus diakui ini adalah hal yang luar biasa. Saya rasa apa yang terjadi adalah penerapan dari pelatihan yang berjalan baik. Anda tidak bisa benar-benar berpikir dalam situasi seperti ini, sehingga Anda cuma bisa melakukan sesuai pelatihan yang dijalankan,” tuturnya.

Sebelum pesawat penumpang mana pun bisa mendapat sertifikat internasional, perusahaan manufaktur harus mampu menunjukkan bahwa semua orang di dalam pesawat bisa meninggalkan kapal terbang dalam waktu 90 detik.

Pilot dari maskapai South East Asian itu menambahkan ujian evakuasi terkadang melibatkan penumpang sungguhan.

Selain itu, menurut sang pilot, regulasi keselamatan penerbangan telah diperketat secara signifikan menyusul insiden-insiden sebelumnya.

Sebagai contoh, tabrakan antara dua pesawat jet Boeing 747 di Bandara Los Rodeos di Spanyol tahun 1977 - dimana 583 orang meregang nyawa dan tercatat sebagai kecelakaan paling mematikan dalam sejarah penerbangan.

Belakangan diketahui bahwa Tragedi Los Rodeos disebabkan oleh kesalahan komunikasi antara awak kabin dan pengontrol lalu lintas udara. Insiden ini membuat prosedur kokpit dan komunikasi radio ditinjau kembali.

Japan Airlines sendiri juga pernah merasakan peristiwa nahas pada Agustus 1985.

Penerbangan bertujuan Osaka itu menabrak gunung tak lama setelah lepas landas dari Bandara Haneda. Kecelakaan ternyata disebabkan oleh pekerjaan perbaikan yang tidak sempurna dari Boeing, perusahaan pembuat pesawat.

Awalnya, empat dari 524 penumpang pesawat selamat dari tragedi itu - namun salah satu dari mereka kemudian meninggal dunia karena luka yang dideritanya.

Pada 2006, Japan Airlines membuka sebuah instalasi serupa museum di dekat Haneda yang menunjukkan puing-puing insiden tersebut sebagai pengingat kepada seluruh pekerja agar senantiasa mengedepankan keselamatan.

“Di tengah rasa perih dan duka dari keluarga yang ditinggalkan dan juga ketidakpercayaan publik atas keamanan pesawat [setelah insiden 1985], kami bersumpah bahwa kami tidak akan pernah membiarkan tragedi serupa kembali terjadi,” tulis Japan Airlines di situs mereka.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow