Informasi Terpercaya Masa Kini

Sugianto, ‘pahlawan’ dari Indramayu yang selamatkan warga Korea Selatan dari bencana kebakaran hutan – ‘Saya menorehkan sejarah untuk bangsa Indonesia’

0 12

Seorang pekerja migran Indonesia, Sugianto, dibicarakan sejak pekan lalu karena menyelamatkan sejumlah lansia di sebuah desa yang terdampak kebakaran hutan yang melanda Korea Selatan, akhir Maret 2025 lalu.

Sugianto, yang disebut sebagai “pahlawan” oleh banyak kalangan di Korsel, menuturkan kisahnya kepada BBC News Indonesia.

Detik-detik penyelamatan warga

Sejak 22 Maret 2025, asap kebakaran hutan telah merundung Desa Gyeongjeong. Asap itu diyakini berasal dari kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah di tenggara Korsel.

Gyeongjeong adalah sebuah desa pesisir berkontur perbukitan, yang berlokasi di Kabupaten Yeongdeok, Provinsi Gyeongsang Utara. Desa itu merupakan kampung nelayan yang ditinggali sekitar 60 warga yang mayoritas berusia lanjut.

Pada 25 Maret 2025 malam, pengeras suara dari kantor Desa Gyeongjeong tiba-tiba memberikan peringatan. Pejabat desa meminta warga keluar dari rumah, menyelamatkan diri.

Mendengar peringatan dari pengeras suara itu, Sugianto, pekerja kapal penangkap ikan yang tinggal di Gyeongjeong, bergegas keluar dari rumah kontrakannya yang menghadap laut.

Sugianto beranjak menuju ke pemecah ombak yang terletak sekitar 100 meter dari tempat tinggalnya. Di lokasi itulah pemerintah desa mengingatkan agar warga untuk berkumpul.

Namun sesampainya di titik itu, Sugianto melihat banyak warga desa yang tidak menjalankan peringatan darurat yang disampaikan lewat pengeras suara.

Malam itu, kata Sugianto, asap di langit Gyeongjeong berwarna hitam. Ketika peringatan darurat keluar, api sudah semakin mendekat permukiman warga.

Berbekal masker yang menutupi hidung dan mulutnya, Sugianto bergegas pergi ke pemukiman warga.

Sugianto mencoba mengetuk rumah-rumah warga, yang ditinggali para lansia. Karena sebagian para warga sudah terlelap, Sugianto harus menunggu mereka keluar dari rumah.

Karena warga tersebut sudah berusia lanjut, Sugianto harus menuntun mereka secara perlahan. Dia juga harus menggendong sebagian dari mereka.

Sugianto telah menjemput sejumlah lansia menuju ke titik aman di pesisir pantai. Namun Kepala Desa Gyeongjeong tersadar bahwa seorang lansia belum tiba di lokasi itu.

Sugianto berkata, lansia tersebut tinggal di perbukitan yang perlahan telah terlalap api.

Sugianto berlari ke atas ke rumah nenek itu. Sesampainya di sana, “Saya ketuk-ketuk udah berapa kali, udah puluhan kali ketuk-ketuk,” kata Sugianto.

Di sana ia melihat sang nenek hanya terduduk di atas kasur dan tampak tak mengetahui apa yang terjadi.

“Ada apa?,” kata Sugianto mengulang perkataan nenek tersebut.

“Ayo, ada kebakaran, cepat keluar!” seru Sugianto. Ia pun langsung menggendong nenek tersebut.

Sugianto menjelaskan pemukiman yang di atas bukit harus dilalui jalan dengan kemiringan kira-kira 60 derajat. Kala itu, angin terasa kencang, yang membuat percikan api dari bukit tertiup dan mengenai sejumlah rumah.

Total Sugianto menyelamatkan tujuh lansia. Tak ada korban jiwa di desa itu, meski sejumlah rumah terbakar.

Baca juga:

  • Deretan skandal presiden Korsel – Dipenjara, diasingkan, hingga dimakzulkan
  • Kisah anak-anak ‘hilang’ Korsel yang dikirim ke luar negeri untuk diadopsi – ‘Anak-anak kami diambil’

“Indramayu sama kayak Korea”

Sugianto sudah delapan tahun tinggal di Gyeongjong. Sementara istri dan anaknya tinggal di kampung halaman, Indramayu, Jawa Barat.

Dia adalah satu dari lima PMI yang bermukim di wilayah Gyeongjong.

Sugianto mengatakan saat ini telah merasa nyaman hidup di kampung itu.

Pada masa awal tinggal di Gyeongjong, Sugianto bilang warga mengundangnya bertamu. Sebaliknya, warga desa itu juga kerap singgah ke kontrakannya.

Padahal saat pertama kali tiba di Gyeongjong, Sugianto merasa sulit berkomunikasi dengan warga kampung. Alasannya, dialek penduduk di wilayah itu berbeda dengan dialek bahasa Korsel yang dia pahami.

“Kadang-kadang kakeknya ke rumah saya nonton tv bersama, terus ngomong ‘gimana itunya pekerjaannya bisa enggak’, ‘gimana di laut mabuk apa enggak,” kata Sugianto.

Suatu kesempatan, ia juga diajak bertamasya dengan bus dengan para warga.

“Mereka berkaraoke di bus juga, mereka suruh aku yang nyanyi karena sudah bisa bahasa mereka, jadi saya bernyanyi lagu-lagu Korea,” kata Sugianto.

Lambat laun, Sugianto semakin betah tinggal di Gyeongjong. Sampai-sampai ia merasakan, apa yang ia rasakan selama tinggal di situ mengingatkan dengan kampung halamannya, Indramayu.

“Misalkan pulang ke Indramayu, terus balik lagi ke Korea, ya udah sama kayak di Indramayu, pulang ke Indramayu sama kayak di Korea,” kata Sugianto.

Satu hal yang ia pegang, agar bisa berbaur dengan warga di kampung itu, “Jangan berat tangan intinya,” katanya.

Citra positif pekerja migran Indonesia

Peneliti isu kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi mengatakan kisah Sugianto mengangkat nilai positif para pekerjaan migran Indonesia, terutama di negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang.

Nawawi sempat melakukan riset di Korsel terkait keberadaan para pekerja migran Indonesia. Dia meneliti bagaimana para pekerja itu dapat berdaya dengan menjalin hubungan dengan komunitas diaspora Indonesia.

Nawawi berkata, para pemberi kerja di Korea Selatan memiliki kesan tersendiri terhadap para pekerja Indonesia.

“Karena tipe orang Indonesia itu kan tidak mau membantah. Jadi kalau diminta melakukan sesuatu, sepanjang mereka bisa, dia akan bisa lakukan,” kata Nawawi.

“Makanya pekerja Indonesia di Jepang dan di Korea itu permintaannya sangat tinggi sekali,” kata Nawawi.

Nawawi berkata, jumlah pekerja Indonesia yang berangkat ke Korsel meningkat setiap tahun. Ia menyebut pekerja Indonesia mulai bekerja di negara itu sejak periode 1990-an.

Setelah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Korsel diteken pada 2007, Nawawi berkata sekitar 3.000 pekerja Indonesia berangkat ke negara itu setiap tahun.

Pada 2024, sebanyak 10.111 pekerja Indonesia menuju Korsel dengan skema yang diatur dalam kerja sama tersebut.

Nawawi mengatakan, banyak dari pekerja Indonesia itu berkecimpung di sektor yang didominasi pekerjaan fisik, seperti manufaktur, galangan kapal, logistik, pengolahan limbah, pembuatan kapal, juga perikanan.

Menurut Nawawi tahun pertama memang menjadi tantangan bagi para PMI, terutama untuk urusan bahasa. Di sisi lain, ia mengemukakan warga lokal yang bertindak sebagai atasan bisa saja mengekspresikan kemarahan secara blak-blakan bila terjadi kesalahan kerja yang dilakukan PMI.

“Kadang-kadang pekerja Indonesia itu tersinggung,” kata Nawawi.

Meski begitu, Nawawi mengatakan setelah memasuki tahun kedua, para PMI umumnya “sudah sangat beradaptasi”.

“Mereka main sepakbola bareng,” kata Nawawi. “Terus kadang-kadang camping dan olahraga bersama,” kata Nawawi.

Selain itu, Nawawi juga mencatat fenomena pernikahan campur antara pekerja migran Indonesia dengan warga lokal. Menurutnya, fenomena itu memperlihatkan bagaimana “warga lokal menerima keberadaan warga Indonesia”.

Spontanitas dan tanpa sengaja

Setelah menyelamatkan warga Gyeongjong, nama Sugianto semakin populer di Korsel dan Indonesia. Dia harus melayani permintaan wawancara media yang datang bertubi-tubi.

Saat ini pemerintah Korsel tengah menimbang untuk membuka jalan agar Sugianto bisa mendapat visa yang bisa membuatnya tinggal lebih lama di Korsel.

Namun, hal itu tidak membuatnya menjadi terlarut euforia “Saya telah menorehkan sejarah di sini untuk bangsa Indonesia,” katanya.

“Walaupun dengan spontanitas dan ketidaksengajaan membantu orang Korea,” kata Sugianto.

Bagaimanapun, Sugianto menyebut situasi yang dia hadapi kini dapat memberinya peluang bekerja lebih lama di Korsel. Tujuan utama Sugianto adalah menghidupi istri dan anak di Indramayu.

“Kalau ada waktu dan ada rezeki banyak, insya allah keluarga saya bisa main ke Korea,” ujarnya.

Leave a comment