Kisah transgender pertama di India yang menikah secara resmi – ‘Ibu saya rela kehilangan segalanya demi mendukung identitas saya’
Pada 2019, Srija menjadi perempuan transgender pertama yang menikah secara resmi di negara bagian Tamil Nadu, India, setelah keluarnya putusan pengadilan yang bersejarah.
Kini, film dokumenter baru berjudul Amma’s Pride yang mengisahkan perjuangan Srija untuk mendapatkan pengakuan negara atas pernikahannya serta dukungan penuh dari ibunya, Valli sedang diputar di India.
“Srija adalah anugerah,” ucap Valli, 45 tahun, kepada BBC saat dia dan putrinya berpelukan.
“Saya tahu bahwa tidak semua orang trans memiliki apa yang saya miliki,” tutur Srija, 25 tahun, yang berasal dari kota pelabuhan Thoothukudi di Tamil Nadu.
“Pendidikan saya, pekerjaan saya, pernikahan saya—semuanya mungkin terjadi berkat dukungan ibu saya.”
Ia dan ibunya berbagi kisah mereka untuk pertama kalinya dalam sebuah film dokumenter berjudul Amma’s Pride (Kebangaan Ibu).
Kisahnya mengikuti pengalaman unik Srija sebagai perempuan trans pertama yang menikah secara resmi di Tamil Nadu, negara bagian paling selatan di India.
‘Saya akan selalu mendukung putri saya’
Srija bertemu calon suaminya, Arun, di sebuah kuil pada 2017.
Setelah mengetahui bahwa mereka memiliki teman yang sama, keduanya mulai saling berkirim pesan teks secara rutin.
Srija sudah menyatakan diri sebagai transgender dan telah memulai transisinya.
“Kami banyak mengobrol. Srija menceritakan kepada saya tentang pengalamannya sebagai seorang perempuan trans,” tutur Arun, 29 tahun, kepada BBC.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Dalam beberapa bulan, mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk hidup bersama selamanya.
Namun, upaya mereka untuk mendaftarkan pernikahan pada 2018 ditolak, dengan alasan di dalam putusan pencatatan sipil disebutkan bahwa Undang-Undang Perkawinan Hindu Tahun 1955 mendefinisikan pernikahan sebagai ikatan antara “pengantin perempuan” dan “pengantin pria”, yang karenanya mengecualikan perempuan trans.
Tapi pasangan itu, yang didukung oleh aktivis LGBT, keberatan dan membawa persoalan tersebut ke ranah publik. Upaya itu tak sia-sia.
Mereka mendapat perhatian dunia pada 2019 ketika Pengadilan Tinggi Madras di Chennai menguatkan hak mereka untuk menikah.
Pengadilan menyatakan bahwa transgender harus diakui sebagai “pengantin” atau “pengantin pria” sebagaimana didefinisikan oleh Undang-Undang Perkawinan Hindu Tahun 1955.
Putusan tersebut dipandang oleh aktivis LGBT sebagai langkah penting dalam penerimaan transgender di India, sementara Srija dan Arun menjadi terkenal karena menentang norma-norma budaya.
Tetapi, liputan media mengundang sorotan negatif.
“Sehari setelah liputan media lokal, saya dipecat dari pekerjaan saya,” kata Arun, yang bekerja sebagai buruh kasar di sektor transportasi.
Ia yakin pemecatan itu dilandasi transfobia.
Baca juga:
- Alegra Wolter: Dokter transpuan pertama di Indonesia yang terbuka dengan identitas gendernya – ‘Mereka belum pernah lihat ada transgender lulus pendidikan dokter’
Serangan di media online pun tak terhindarkan.
“Orang-orang mengirim pesan berisi ucapan kasar yang mengkritik saya karena menikah dengan seorang perempuan transgender,” sambung Arun.
Pasangan tersebut sempat berpisah karena tertekan.
Meskipun demikian, Srija unggul dalam pendidikan dan sering kali mendapatkan peringkat pertama di kelas sekolah menengah atas.
Ia lantas melanjutkan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana sastra Inggris dari sebuah universitas di Tamil Nadu dan menjadi satu-satunya orang di keluarganya yang mengenyam pendidikan tinggi.
Hal ini menjadi sumber kebanggaan bagi Valli, yang meninggalkan bangku sekolah pada usia 14 tahun.
Bahkan sebelum berjuang agar pernikahannya diakui negara, Srija dan keluarganya sempat menghadapi permusuhan dan perlakuan buruk dari orang-orang sekitar mereka.
Baru setelah Srija mengaku sebagai perempuan transgender pada usia 17 tahun, ia dan ibu serta adik laki-lakinya China diusir dari rumah mereka oleh tuan tanah mereka.
Beberapa anggota keluarga bahkan berhenti bicara kepada mereka.
Tapi, ibu dan saudara laki-laki Srija tetap memberikan dukungan.
Baca juga:
- Thailand resmi legalkan pernikahan sesama jenis – Apa dampaknya ke komunitas LGBT di Indonesia?
“Saya akan selalu mendukung putri saya,” ujar Valli.
“Semua orang trans harus didukung oleh keluarga mereka.”
Valli, yang menjadi orang tua tunggal ketika suaminya meninggal saat Srija baru berusia enam tahun, bekerja di dapur sebuah sekolah.
Namun, meskipun berpenghasilan pas-pasan, dia membantu membiayai operasi ganti kelamin putrinya, sebagian lagi dengan menjual beberapa perhiasannya dan merawat sang putri pascaoperasi.
“Ibu merawat saya dengan baik,” kata Srija.
‘Semoga pola pikir masyarakat akan berubah’
Diperkirakan ada sekitar dua juta orang transgender di India, negara dengan populasi terbanyak di dunia, kendati para aktivis mengatakan jumlahnya diprediksi lebih tinggi.
Meskipun negara tersebut telah mengesahkan undang-undang yang inklusif terhadap kaum transgender, termasuk melindungi hak dan kesejahteraan kaum transgender serta mengakui “jenis kelamin ketiga” dalam undang-undang, stigma juga diskriminasi tetap ada.
Penelitian menemukan bahwa kaum transgender di India menghadapi tingkat pelecehan yang tinggi, masalah kesehatan mental, dan akses terbatas pada pendidikan, pekerjaan, serta layanan kesehatan.
Banyak yang dipaksa mengemis atau menjadi pekerja seks.
Secara global, PBB mengatakan sejumlah besar kaum transgender menghadapi penolakan dari keluarga mereka.
“Tidak banyak kaum trans di India, atau bahkan di dunia yang mendapatkan dukungan dari keluarga mereka,” beber Direktur Amma’s Pride, Shiva Krish.
“Kisah Srija dan Valli unik,” sambungnya.
Baca juga:
- Perjuangan transpuan lansia klaim jaminan kematian BPJS Ketenagakerjaan – ‘Seperti main lotre, bisa saja klaim kematian tidak dibayarkan atau ditolak’
Srija berharap film ini bisa membantu mematahkan stereotip tentang orang trans dan cerita yang kerap dipromosikan di media tentang kelompok tersebut—terutama yang berfokus pada trauma serta pelecehan.
“Film dokumenter ini menunjukkan bahwa kita bisa menjadi pemimpin. Saya seorang manajer, anggota angkatan kerja yang produktif,” jelas Srija.
“Ketika orang melihat cerita baru tentang orang trans, mudah-mudahan pola pikir mereka akan berubah.”
‘Saya ingin segera menjadi nenek’
Setelah ditayangkan perdana di festival film internasional, Amma’s Pride kini akan menjangkau penonton India.
Dimulai dengan pemutaran khusus di Chennai, untuk anggota komunitas LGBT dan sekutunya jelang Hari Visibilitas Trans Internasional pada 31 Maret.
Pascapemutaran di Chennai, akan digelar lokakarya di mana para peserta dalam kelompok kecil bakal membahas penerimaan keluarga dan dukungan komunitas untuk individu trans.
“Kami berharap acara pemutaran ini akan memupuk hubungan antara individu trans, keluarga mereka, dan komunitas lokal,” imbuh Chithra Jeyaram, salah satu pembuat film di balik Amma’s Pride.
Baca juga:
- Pengalaman transpria muslim: Dari kerudung ke sarung, ‘Saya bukan perempuan’
Tim produksi Amma’s Pride berharap tema universal tentang dukungan keluarga dalam menghadapi stigma seperti di film ini bisa diluncurkan ke penonton di pedesaan, serta kota-kota lain di India, serta negara-negara tetangga seperti Nepal dan Bangladesh.
Adapun Srija dan Arun, mereka sekarang bekerja sebagai manajer untuk perusahaan swasta dan berharap bisa memulai sebuah keluarga dengan mengadopsi seorang anak.
“Kami berharap masa depan yang normal,” tutur Srija.
“Saya ingin segera menjadi seorang nenek,” ucap Valli sambil tersenyum.
- Mengapa Thailand lebih ramah terhadap kelompok LGBT dibanding negara-negara lain di Asia?
- Negara mana saja yang pemenuhan hak-hak LGBT membaik dan memburuk dalam setahun terakhir?
- ‘Kami akan sembuhkan kamu dari penyimpangan ini’ – Pengakuan transpuan yang diperdaya mengikuti terapi konversi di Siberia