Informasi Terpercaya Masa Kini

Kalau Tuhan Duduk di Sebelahmu di Bus Ekonomi

0 13

Aku tidak tahu kenapa hari itu aku naik bus jurusan Bekasi-Blok M. Biasanya aku naik ojek, atau paling malas pun, aku pilih angkot yang supirnya suka muter-muter cari penumpang. Tapi entah kenapa, hari itu, aku memilih bus ekonomi. Yang kursinya keras, kipasnya mati, dan jendelanya tak bisa ditutup sepenuhnya. Aku duduk di bangku deret dua, dekat jendela, dan berharap tak ada yang duduk di sebelahku.

Tapi kemudian seseorang naik. Rambutnya beruban, matanya teduh, dan wajahnya… aneh! Bukan aneh karena menyeramkan. Aneh karena terlalu damai untuk ukuran dunia yang bising.

Ia duduk di sampingku. Tak membawa apa pun, kecuali bungkusan kecil berisi roti sobek dan satu botol air putih.

Kami diam lama. Sampai akhirnya ia membuka percakapan: “Kamu sering merasa lelah, ya?”

Aku menoleh setengah bingung. “Maksud Bapak?”

Ia tersenyum samar dan berkata, “Capek jadi manusia. Capek menyesuaikan diri. Capek menyimpan luka yang tak bisa dibagikan.”

Aku tertawa kecil. “Wah, Bapak paranormal, ya?”

“Bukan. Aku cuma duduk di sebelahmu.”

Aku menatapnya lebih lama. “Siapa, sih, Bapak ini?”

Ia tidak menjawab. Tapi pandangannya tak menuntut apa pun. Tak ingin dimengerti. Hanya hadir.

Lalu aku bertanya pelan, dengan setengah hati: “Kalau… misalnya, ini cuma misalnya ya… kalau bapak adalah Tuhan yang duduk di sebelahku, apa Dia akan bilang hal yang sama?”

Ia menatapku. “Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Karena aku capek,” kataku. “Dan aku nggak tahu harus cerita ke siapa tanpa takut dihakimi.”

Ia membuka roti sobeknya. Membagi dua, memberiku setengah.

“Kalau Tuhan duduk di sebelahmu, Dia tidak akan menghakimi. Dia mungkin tidak menjawab pertanyaanmu juga. Tapi Dia akan duduk. Mendengarkan. Dan membagi rotinya.”

Aku menggigit rotinya. Rasanya biasa. Tapi tenggorokanku seperti menelan sesuatu yang lebih dari roti. Entah kenapa mataku terasa panas.

“Kalau begitu, bolehkah kamu pura-pura Tuhan sedang duduk di sebelahku hari ini?” tanyaku pelan.

Ia tidak menjawab. Tapi tangannya menepuk bahuku sekali. Lalu kami diam lagi.

Di luar, angin menampar pipi. Bus melaju dengan ritme khas: tersendat, goyang, lalu ngebut di jalan yang tak sepenuhnya rata. Di dalam, kami dua orang asing yang sedang tidak merasa sendirian.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak ingin cepat sampai.

Patas non AC – Bekasi-Blok M, 1996

Leave a comment