Informasi Terpercaya Masa Kini

Cerita Mudikku: Hati Gembira Bertemu Keluarga di Pegunungan

0 7

Pagi-pagi beli gorengan

Paling enak menjadi teman minum kopi

Kebaikan yang ditanam selama bulan Ramadan

Jangan pernah dilupakan saat bulan berganti

Bunga nan wangi menggoda kupu-kupu

Mereka terbang berkejaran di atas rerumputan sungai

Cerita mudik memang seru

Bersama Kompasiana selalu terasa lekat di hati

Mudik merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebelum tiba Hari Raya Idul Fitri. Pulang kampung untuk merayakan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri memang terasa sangat menyenangkan. Hamparan lembah hijau dan gunung membentang menemani perjalanan mudik kami sekeluraga. Setiap tahun kami melakukan perjalanan mudik ke Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Momen itu merupakan hal yang selalu kami nantikan setiap tiba bulan Ramadan. Walaupun memakan waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan medan tempuh yang sangat jauh (sekitar 170 km) karena mobil melewati beberapa Kabupaten (Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, Sidenreng Rappang/Sidrap dan Enrekang). Namun demikian, semua rasa lelah karena berpuasa dalam perjalanan mudik tidak terasa sama sekali.

Sepanjang jalan kami menyanyikan lagu gembira dan ingin segera tiba di tujuan. Setelah melalui jalan berkelok naik turun gunung, akhirnya kami tiba di rumah panggung besar milik Ambe’ (Kakek dalam bahasa Enrekang). Begitu bahagianya hati melihat sambutan Nenek Indo’, Tante, Om dan sepupu yang bertinggal di sana. Ambe’ dan Nenek Indo’ adalah orang tua Ibuku yang tinggal di satu kampung nan sejuk di pegunungan yang dipenuhi hutan pinus. Jika kami datang berlebaran, Nenek Indo’ selalu menghidangkan salak manis hasil panen dari kebunnya. Kakak-kakak perempuan ibuku beramai-ramai memasak  ketupat, burasa’, sayur buraq (terbuat dari batang pisang muda yang dicacah), abon daging sapi dan nasu cemba (masakan daging bertabur daun asam) Sumber untuk disantap beramai-ramai. Para lelaki dewasa menyiapkan mimbar, umbul-umbul dan sound system untuk keperluan salat Idul Fitri di lapangan sepak bola di seberang rumah panggung Ambe’. Tanteku dibantu tetangga sebelah rumah membuat kacang telur, kue mokka (sebutan untuk kue tart lapis selai nenas berhias bunga mawar warna-warni terbuat dari mentega dan gula halus), nastar isi selai nenas yang dibuat sendiri, kue duri-durian dan peyek kacang tanah. Kami sekeluarga dilayani bak raja jika mudik ke rumah Ambe’ di kampung. Momen bahagia ini membuat kami betah dan ingin selalu pulang kampung setiap kali ada kesempatan.

Bercerita tentang hidangan khas Lebaran, salah satunya adalah dangke (keju tradisional terbuat dari susu kerbau atau sapi) . Dangke merupakan salah satu makanan khas dari Enrekang yang wajib tersedia saat kami mudik. Saat ini sangat langka ditemukan dangke terbuat dari susu kerbau karena harganya mahal. Para peternak di Enrekang lebih suka membuat dangke berasal dari susu sapi yang lebih ekonomis. Potongan dangke itu berbau sangat harum saat digoreng di atas tungku. Kenikmatannya sungguh menggugah selera makan saat disantap bersama ketan kukus dan sayur tuttu’ (sayur daun ubi ditumbuk dan diberikan parutan kelapa).

Sepulang salat Idul Fitri, ayahku yang berprofesi sebagai dokter membuka praktik dadakan di ruang tamu milik Nenek Indo’.  Beliau sudah menyiapkan berbagai macam obat injeksi, pil dan beberapa botol sirup obat dalam tas praktik yang selalu dibawanya. Berduyun-duyunlah orang sekampung datang memeriksakan penyakitnya ke ayahku. Semua pasien itu pulang ke rumah dibekali dengan obat dan vitamin. Ada pula pasien disuntik karena penyakitnya sudah menahun untuk mempercepat penyembuhan.  Sebagai alat pembayaran, para pasien tidak memberikan uang. Sebagai gantinya mereka membayar dengan beras, sayuran, aneka buah, telur, bahkan ayam hidup. Semua barang ini memenuhi bagasi  dan menjadi ole-ole terindah sepanjang hidupku jika mengingat kembali kenangan manis itu. Senyuman ceria nan tulus dari mereka yang telah mendahului kami membuatku sangat  merindukan masa-masa tersebut.

Kebahagiaan kami tetap berlangsung meriah walaupun tidak ada pembagian THR. Sebelum mudik kami membelikan banyak barang, makanan dan permen rasa kopi sebagai ole-ole untuk keluarga besar di kampung. Kami juga membawa pakaian bekas dan sepatu yang masih layak pakai untuk dibagikan kepada keluarga. Kami mudik untuk berbagi kebahagiaan merayakan hari kemenangan bersama keluarga dan tetangga di kampung Ibuku (srn).

Pergi ke pasar membeli gaun ungu

Jangan lupa membeli peniti

Mudik ke kampung untuk melepas rindu

Semoga tahun depan bertemu lagi

Jalan-jalan ke tepi kali

Dari kejauhan terdengar jam berdentang

Kompasiana selalu lekat di hati

Aku siap menunggu event seru Kompasiana di tahun mendatang

Leave a comment