Informasi Terpercaya Masa Kini

“The Last Supper”: Saat Iman Diuji di Malam Terakhir

0 13

Kisah tentang malam terakhir Yesus bersama murid-muridnya sudah sering kita dengar, entah dari bacaan kitab suci, lukisan Da Vinci, atau ceramah di hari Minggu. 

Namun The Last Supper (2025) menawarkan pengalaman yang berbeda. Film ini bukan sekadar mengulang cerita klasik, melainkan membawanya ke ruang yang lebih personal dan emosional. 

Penonton diajak menyelami ketegangan di balik meja makan menjelang Paskah yang sakral itu. Film ini berbicara tentang iman, pengkhianatan, dan rasa persaudaraan diuji secara bersamaan.

Disutradarai dengan pendekatan yang intim, The Last Supper mencoba memperlihatkan sisi manusiawi para murid. 

Mereka bukan sekadar simbol keimanan, tapi pribadi dengan “manusiawi” ada ketakutan, ambisi, bahkan rahasia yang sulit diungkap. 

Cerita banyak difokuskan pada perspektif Petrus, yang di sini tampil lebih dari sekadar “pemimpin yang tegas”. 

Ia adalah sosok yang berusaha menjaga keutuhan saudara-saudaranya di tengah kecamuk batin masing-masing. 

Namun, seperti yang kita tahu, Petrus juga menyimpan ketakutan yang pada akhirnya membuatnya menyangkal gurunya. 

Film ini tidak sungkan membiarkan kita melihat celah-celah rapuh itu.

Petrus, Yudas, dan Malam Penuh Pertanyaan

Salah satu kekuatan film ini ada pada cara bertuturnya yang tenang dan mencekram. 

Dari awal, penonton dibuat bertanya-tanya siapa yang akan mengambil langkah pertama menuju pengkhianatan. 

Meskipun semua orang sudah tahu siapa pelakunya, The Last Supper justru membuat proses menuju momen tersebut jadi terasa baru. 

Yudas memang menjadi pusat cerita, tetapi film ini tidak buru-buru menghakimi. Ada ruang untuk penonton memahami latar belakang tindakannya, meskipun mungkin sulit untuk membenarkannya.

Petrus, di sisi lain, tampil sebagai sosok yang mengemban beban besar. Ia berusaha menjadi penengah.

Namun di balik pandangan matanya yang tegas, ada rasa khawatir yang tak bisa ia sembunyikan. 

Salah satu momen paling menyentuh sekaligus menggelitik terjadi ketika Yesus mengucapkan kalimat yang membuat seisi ruangan hening, “Salah satu di antara kalian akan menyangkal Aku.” 

Wajah murid-murid Tuhan Yesus yang awalnya tenang, seketika itu langsung berubah. 

Petrus, yang sedari tadi tampak tegar, sontak menatap dengan percaya diri berkata, “Bukan aku, Tuhan.” Diikuti dengan murid lainnya.

Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan seolah dia baru saja bersumpah di depan pengadilan. 

Namun, Yesus hanya menatapnya lembut lalu berkata, “Sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal Aku tiga kali.”

Di sini, ekspresi Petrus adalah salah satu highlight akting yang patut diapresiasi. Ia seperti ingin tertawa kecil karena merasa Yesus bercanda, tapi juga ada tatapan bingung, seakan pikirannya menolak percaya. 

Di satu sisi, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa kesetiaannya tak tergoyahkan. Namun di sisi lain, ada keraguan yang mulai mengintip pelan-pelan di matanya. 

Adegan ini berhasil menunjukkan bahwa bahkan orang yang paling berani sekalipun bisa rapuh ketika diuji oleh kenyataan yang sulit diterima.

Petrus tetap berusaha menjaga wibawa di depan murid-murid lainnya, seolah berkata, “Tenang saja, aku nggak mungkin seburuk itu.” 

Padahal, penonton tahu, sejarah berkata lain. Dialog antara Yesus dan Petrus di malam itu bukan hanya percakapan biasa, tetapi sebuah pertanda bahwa keimanan manusia sering kali diuji bukan di medan perang, tapi di medan hati dan pikiranya sendiri.

Secara visual, film ini layak diacungi jempol. Tata cahaya yang lembut dan nuansa warna hangat menciptakan suasana akrab, namun menyimpan rasa was-was. 

Seolah-olah kita sedang duduk di meja yang sama, mendengarkan percakapan rahasia para murid. Musik pengiringnya juga pas, tidak berlebihan, cukup untuk membuat hati penonton ikut berdebar.

The Last Supper 2025 berhasil mengangkat kisah klasik ke dalam dimensi yang lebih dekat dengan manusia modern. 

Saya bisa belajar bahwa di balik kisah Petrus. Dia yang awalnya dilema dengan pilihan sulit, memilih untuk tetap mengimani Tuhan Yesus.

Film ini layak menjadi tontonan reflektif di masa kini. Termasuk ketika kepercayaan dan kesetiaan kita sering pula diuji dalam berbagai bentuk. 

Apakah kita adalah Petrus yang berusaha kuat di tengah keraguan? Ataukah Yudas yang memilih jalan berbeda karena egonya? 

Leave a comment