Potret Humanisme Kehidupan Perkeretaapian dalam “Strangers with Memories”
Punya memori terindah dengan kereta api?
Saya termasuk yang menyukai perjalanan dengan menggunakan kereta api. Harganya terjangkau dan juga waktu tempuh yang relatif terukur. Sehingga saya bisa merencanakan perjalanan dengan lebih baik.
Saya juga suka mendengar announcement dari petugas kereta dengan suara dan intonasi yang merdu. Terkadang saya suka iseng-iseng saja menirukan kalimat pengumuman yang mereka sampaikan.
Tapi apakah saya tahu, siapakah yang bertugas melakukan pengumuman itu?
Kereta dalam sinema
Di sinema Indonesia ataupun luar negeri, kereta api atau stasiun sudah sering dijadikan sebagai latar film. Eksplorasinya bisa bermacam-macam dan dikembangkan dalam berbagai genre.
Semisal dalam genre romansa, kereta api seringkali dijadikan tempat untuk menggambarkan adegan perpisahan. Kita bisa merasakan gimana nyeseknya Galih dan Ratna (Gita Cinta dari SMA,1979) yang harus mengakhiri hubungannya di kereta api.
Atau bahkan dalam romansa legendaris Bollywood Kuch Kuch Hota Hai (1998), yang menampilkan dua karakter utamanya kejar-kejaran di stasiun.
Di luar romansa, lebih gila lagi. Kereta api bisa jadi TKP (Tempat Kejadian Perkara) untuk peristiwa kriminal. Semisal pemecahan misteri pelaku pembunuhan dalam Murder on the Orient Express atau tentang pembunuh bayaran yang diutus untuk melakukan misi tertentu dalam Bullet Train (2022).
Dan masih banyak lagi film lainnya seperti Train to Busan (2016), The Commuter (2018), Kill (2023), dan Kereta Berdarah (2024).
Sayangnya, kebanyakan dari film-film tersebut hanya menggunakan kereta api sebagai latar. Belum secara detail dan aktual mengeksplorasi aktivitas keseharian di stasiun. Mulai dari para pekerjanya, macam-macam kelakuan penumpang, hingga kejadian-kejadian yang mungkin bisa terjadi di stasiun dan kereta api.
Dan semua harapan saya terwujud ketika menonton film pendek berdurasi 30 menit berjudul Strangers With Memories.
Selami lebih dalam kehidupan perkeretaapian
Strangers With Memories berjalan dari dua sudut pandang yakni petugas stasiun dan penumpang. Dari film tersebut akhirnya saya tahu kalau yang bertugas menyampaikan pengumuman itu namanya CSOT (Customer Service on Train).
Selain menyoroti seorang CSOT, Strangers With Memories juga menyelami profesi lainnya semisal masinis, petugas control room, Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska), hingga petugas “Lost and Found” di stasiun.
Aktivitas keseharian para petugas yang ada di stasiun ini diceritakan berkelindan dengan kelakuan para penumpang yang bermacam-macam. Mulai dari yang buang sampah sembarangan, suka serobot antrean, nggak ngasih kursi ke penumpang prioritas, hingga penumpang yang kehilangan barang di kereta.
Propaganda dengan konsep yang unik
Strangers With Memories dibuat oleh PT Kereta Api Indonesia bekerjasama dengan IDN Pictures. Dari awal sudah jelas, bahwa tujuan film ini adalah propaganda soal korporasi.
Apakah salah? Tentu tidak!
Tapi sepanjang saya menonton film yang dibuat oleh korporasi/institusi, kebanyakan berakhir membosankan karena tampak seperti video atau iklan layanan masyarakat. Untungnya, Strangers With Memories tidak begitu. Fajar Nugros (Yowis Ben, Inang), selaku sutradara pandai mengemasnya menjadi suguhan yang memikat.
Salah satunya berkat pendekatan yang unik dan kreatif yang dilakukan Fajar terhadap karakter-karakter yang ada. Semisal untuk menggambarkan penumpang yang membuang sampah sembarangan (diperankan Abidzar Al Ghifari), Fajar menggunakan konsep time looping.
Diceritakan Abidzar terjebak di waktu dan situasi yang sama berkali-kali. Setiap ia memasuki stasiun, ia tiba di tempat yang sama dan nggak ke mana-mana. Hingga ia menyadari satu kesalahan yang dibuatnya, agar ia bisa keluar dari mesin waktu dan kembali normal.
Lain lagi pendekatan yang dilakukan Fajar Nugros untuk karakter Clara, seorang penumpang perempuan yang cuek saja ketika ada ibu hamil yang memasuki gerbong.
Untuk menyadarkan empatinya, Fajar memberikan pendekatan announcement misterius yang hanya didengar oleh Clara. Suara tersebut terus menerus mengganggu dan membuat Clara yang awalnya duduk tenang di dalam gerbong menjadi resah.
Ending-nya sama. Agar Clara bisa terbebas dari suara berisik yang menggangunya, ia pun harus menyadari satu kesalahan yang dibuatnya.
Jika pendekatan untuk Abidzar dan Clara dibuat lebih ke arah surealis, Fajar mengemas karakter lainnya secara realis. Semisal karakter penumpang yang kehilangan handphone (diperankan oleh Yusuf Mahardika) dihubungkan dengan petugas “Lost and Found” stasiun.
Interaksi di antara mereka berdua begitu hangat tapi tetap profesional. Menontonnya bikin saya senyum-senyum sendiri, bahkan saya punya imajinasi sendiri akan akhir cerita mereka berdua.
Lain lagi dengan karakter Fajar (namanya sama dengan nama sutradara), seorang CSOT yang diselami kehidupannya bersama ibunya.
Rasa yang diberikan berbeda lagi. Kisah Fajar dengan ibunya membuat saya menitikkan air mata. Seharu itu melihat bagaimana Fajar bangga dan bertanggungjawab dengan profesinya. Sesederhana membantu seorang lansia untuk masuk ke gerbong kereta.
Berbagai pendekatan yang dilakukan Strangers With Memories terhadap para karakternya, berujung pada satu hal: humanisme. Film betul-betul memberikan impresi bagaimana seharusnya manusia dinilai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Empati, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, menghargai orang lain, jujur, profesional, adalah sedikit nilai kemanusiaan yang bisa saya ambil dari film ini.
Buat teman-teman yang menyukai kehidupan perkeretaapian serta ingin merasakan pengalaman sinematik yang unik, saya sangat merekomendasikan untuk menonton Strangers With Memories.