Antara Tony Blair, Tony Kroos, dan Tony Stark di Danantara
Tony Blair, Tony Kroos, dan Tony Stark menjadi analogi ambisi, kontroversi, dan tantangan investasi Danantara.
Ada banyak Tony di dunia ini. Sebut saja Tony Hawk, legenda skateboard yang melawan gravitasi. Tony Kroos, gelandang Jerman yang dikenal dengan akurasi umpannya, atau Tony Stark, si Iron Man yang inovatif dan kaya raya.
Kini satu Tony lagi masuk panggung Indonesia, Tony Blair. Bukan sebagai atlet atau superhero, tapi sebagai anggota Dewan Penasihat Danantara, raksasa investasi yang digadang-gadang jadi mesin penggerak ekonomi nasional.
Tapi, alih-alih disambut tepuk tangan, kehadiran mantan Perdana Menteri Inggris ini justru memicu perdebatan.
Pasalnya, jejak politik Blair, terutama dukungannya pada invasi Irak 2003, masih membekas pahit di benak banyak orang, termasuk di Indonesia. Invasi yang menewaskan 461.000 orang (BBC Indonesia) itu membawa stigma yang sulit dihapus.
Tak heran rasa skeptis muncul. Apa hubungannya Blair dengan investasi Indonesia? Apakah ini strategi cerdik atau justru own goal?
Dari Tony Kroos ke Tony Stark
Mari kita bermain analogi. Jika Tony Kroos dikenal karena ketepatannya mengirim umpan ke rekan setim, maka Tony Blair diharap bisa jadi playmaker yang membuka peluang investasi bagi Indonesia.
Luhut Binsar Panjaitan bahkan menyebut kehadiran Blair sebagai gateway untuk merangkul investor dari Eropa dan Timur Tengah (Kontan).
Namun, ada risiko dari menjadikan Blair sebagai pancingan investasi masuk dari Timur Tengah. Sentimen ini wajar, mengingat Indonesia sebagai negara Muslim terbesar memandang invasi Irak sebagai luka kolektif.
Jadi, tantangan Blair adalah memastikan namanya tak menjadi beban reputasi bagi Danantara.
Di sisi lain, ada Tony Stark alias Iron Man yang dikenal karena visinya di bidang teknologi dan energi terbarukan.
Selurus, Danantara pun memprioritaskan sektor ini, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya hingga pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk logistik (Kontan).
Apakah Danantara mampu menjadi Iron Man yang membawa inovasi? Atau malah menjadi Irony Man yang ambisinya tak sejalan dengan realitas?
Profil dan Strategi Danantara
Sejak diluncurkan, Danantara langsung mencuri perhatian berkat portofolio awalnya yang mencapai US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14.710 triliun (CNBC Indonesia). Angka ini jauh melampaui Temasek Holdings Singapura yang memulai dengan S$ 354 juta pada 1974.
Tentu saja modal besar bukan jaminan sukses. Seperti kata pengamat pasar modal Budi Frensidy, tantangan utama Danantara terletak pada efektivitas birokrasi dan potensi konflik kepentingan di lingkup pemerintahan (Kontan).
Strategi Danantara mencakup investasi domestik dan global. Di dalam negeri, fokus utamanya adalah hilirisasi mineral, energi hijau, dan AI.
Targetnya ambisius. Danantara ingin menciptakan 500.000 lapangan kerja baru dan meningkatkan hilirisasi nikel dari 5% menjadi 25% dalam lima tahun ke depan (CNBC Indonesia).
Sementara di luar negeri, investasi infrastruktur dan sektor energi menjadi andalan untuk menarik foreign direct investment (FDI).
Peran Tony Blair dan Kontroversi di Baliknya
Lalu, di mana posisi Tony Blair dalam skema besar ini?
Pengalamannya sebagai penasihat pemerintah Kazakhstan dan sejumlah perusahaan global membuktikan kemampuannya membangun jaringan internasional (GOV.UK). Namun, kritik terhadap rekam jejak politiknya tak bisa diabaikan.
Blair pernah disebut sebagai “pion Amerika” akibat dukungannya terhadap invasi Irak, yang menyebabkan kematian 1.003 tentara AS dan kehancuran infrastruktur Irak, termasuk sistem kesehatan dan transportasi (Detik).
Fakta ini memicu pertanyaan etis. Apakah sosok dengan masa lalu kontroversial layak menjadi bagian dari wajah investasi Indonesia?
Tapi, dari sudut pandang pragmatis, koneksi Blair dengan tokoh-tokoh bisnis dan politik dunia bisa menjadi kartu as Danantara untuk menembus pasar global.
Seperti Tony Kroos yang dikenal sebagai pengumpan ulung, Blair diharapkan mampu mengoper bola kepada investor asing yang selama ini ragu menanamkan modal di Indonesia.
Tantangan Transparansi dan Persepsi Publik
Membangun kepercayaan publik memang tak semudah menendang bola ke gawang kosong.
Salah satu kritik utama terhadap Danantara adalah komposisi dewan pengawasnya yang didominasi faktor politis, seperti Erick Thohir dan Muliaman Hadad (Katadata).
Rudiyanto dari Panin Asset Management mengingatkan bahwa fokus utama SWF seharusnya adalah menghasilkan imbal hasil investasi, bukan melayani agenda politik.
Di sinilah transparansi menjadi kunci. Dengan melibatkan KPK, BPK, dan PPATK dalam pengawasan keuangan, Danantara harus menjawab keraguan publik.
Namun, tanpa komunikasi yang jelas dan konsisten, skeptisisme tetap sulit dihilangkan. Kembali ke tesis awal saya, bahwa dana besar bukan jaminan sukses. Yang penting, siapa yang pegang ini barang, dan bagaimana mereka mengelolanya.
Di tengah pro dan kontra, potensi Danantara tetap besar. Jika dikelola dengan baik, investasi di sektor energi terbarukan yang tumbuh 15% per tahun sejak 2020 dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia (Kontan).
Model sukses seperti Government Pension Fund Global Norwegia, yang kini mengelola US$ 1,4 triliun, bisa menjadi inspirasi, terutama dalam hal reinvestasi keuntungan untuk pertumbuhan jangka panjang (Kontan).
Penutup
Kisah Tony Blair di Danantara adalah tentang peluang dan tantangan.
Seperti Tony Kroos yang harus menghadapi tekanan di lapangan, atau Tony Stark yang harus menyeimbangkan teknologi dan tanggung jawab moral, Blair pun harus membuktikan bahwa kehadirannya membawa manfaat nyata, bukan sekadar kontroversi.
Hanya waktu yang bisa menjawab. Satu hal yang pasti, publik akan terus mengawasi setiap langkah Danantara, memastikan bahwa dana triliunan rupiah ini benar-benar digunakan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.