Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer: Jejak Langkah
Jejak langkah(1985) adalah novel ketiga karya Pramoedya Ananta Toer dalam buku Tetralogi Buru.
Tiga novel lainnya adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), dan Rumah Kaca (1988).
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer sudah tersebar di berbagai penjuru dunia. lebih dari 42 buku karyanya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing.
Sementara, di dalam negeri sendiri buku-buku Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang peredarannya di masa Pemerintahan Orde Baru.
Alasan utamanya, sastrawan kelahiran Blora -Jawa Tengah tanggal 6 Februari 1925 ini adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI.
Rezim Orde Baru menganggap, karya bukunya mengandung propaganda Marxisme dan Komunisme. Paham-paham ini, sangat dilarang di Indonesia sekalipun hanya diperlukan sebagai bahan kajian dan perbandingan.
Jejak Langkah
Buku ketiga Tetralogi Buru berjudul “Jejak Langkah”. Buku ini merupakan novel yang sudah diterbitkan pada tahun 1985.
Tokoh utama dalam buku Jejak langkah ini adalah Minke yang merupakan kelanjutan dari kisah pada Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Dalam kisah lanjutan ini, Minke mulai merantau dari Surabaya dan melanjutkan studi ke STOVIA di Batavia.
STOVIA merupakan sekolah dokter pribumi di zaman kolonial Belanda. Sekolah kedokteran ini kemudian menjadi basis pergerakan para pemuda, terutama sejak kelahiran organisasi Budi Utomo.
Situasi dan kondisi sosial Jakarta Tempo Doeloe, bisa dipahami lebih detail melalui buku Jejak Langkah yang mana dilukiskan oleh Pramoedya melalui tokoh Minke dan lingkungan barunya.
Di awal sekolahnya, Minke juga tidak luput dari perpeloncoan ala zaman itu yang mana senior begitu sangat berperan dan mendominasi para junior mereka.
Ujian awal perpeloncoan ini berhasil dilewati dengan baik. Bahkan Minke menjadi seorang siswa baru yang disegani setelah itu.
Dari hubungan percintaan, Minke juga bertemu seorang gadis Tionghoa bernama Mei yang kemudian diperisteri. Gadis ini sebenarnya terlihat rapuh dari luar, tetapi ia adalah salah satu pejuang tangguh.
Di STOVIA, Minke tetap melanjutkan kegiatan menulis disamping kuliah. Kegiatan jurnalistiknya dilanjutkan dengan mengkritik Pemerintah Hindia Belanda.
Konflik pribadi dan sosial dilaluinya dengan perjuangan yang berat. Mei, sang isteri yang dicintai pun meninggal dunia. Ia sempat terpuruk, ditambah lagi dengan pemecatan dirinya dari sekolah kedokteran karena aktivitasnya.
Di tengah keterpurukannya, Minke bangkit lagi dengan mendirikan penerbitan sendiri bernama “Medan Prijaji”. Melalui media ini, ia pun mulai memperjuangkan visi dan perjuangannya.
Visi dan misi yang diperjuangkan Minke melalui Medan Prijaji diantaranya upaya penghapusan feodalisme. Juga memperkenalkan perjuangan baru melawan penjajah dengan cara melakukan boikot kepada produk kolonial.
Minke sempat masuk organisasi Budi Utomo, tetap karena ada perbedaan dengan penggerak lainnya maka Minke memutuskan keluar dari Budi Utomo.
Minke lalu mendirikan suatu organisasi yang lebih modern yang dinamakan dengan Serikat Dagang Indonesia, disingkat SDI.
Melalui SDI inilah, Minke mulai memperluas jaringan perjuangannya dan Pemerintah Kolonial Belanda mulai was-was dengan pergerakan Minke dan SDI-nya.
Berkat politik devide et impera, Minke lalu ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda. Minke pun kemudian harus diasingkan di luar Pulau Jawa. Berpisah dengan keluarga dan sahabat-sahabat pergerakannya.
Next seabad Pram: Trilogi buku Pramoedya Ananta Toer, “Rumah Kaca”.
Referensi:
https://www.perpustakaankarmelindo.org/
https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/30/143823765/mengenang-perjalanan-hidup-pramoedya-ananta-toer?