Informasi Terpercaya Masa Kini

This Earth of Mandkind: Buku Tanpa Cover Pramoedya

0 37

Membaca Pramoedya Ananta Toer bagi saya bukan sekadar pengalaman literasi, tetapi perjalanan panjang yang penuh keunikan, sejarah, dan ironi. Buku pertamanya yang saya baca adalah Bumi Manusia, tetapi karena di masa Orde Baru buku ini dilarang, saya pertama kali membacanya dalam versi bahasa Inggris berjudul This Earth of Mankind, terbitan Australia.

Yang lebih menarik, buku itu saya temukan di dalam pesawat, sudah tanpa cover. Saya masih ingat dengan jelas, kata pertama yang saya baca adalah “Minke”, nama tokoh utama dalam novel ini. Minke, seorang pribumi yang berpendidikan tinggi di zaman kolonial, langsung menarik perhatian saya dan membuat saya larut dalam kisahnya.

Namun, membaca Pramoedya dalam bahasa Inggris tetap menyisakan rasa penasaran. Saya ingin menikmati narasinya dalam bahasa aslinya—dalam diksi yang dirangkai langsung oleh sang maestro. Sayangnya, di Indonesia saat itu, buku Bumi Manusia dan karya-karya Pramoedya lainnya masih dilarang beredar oleh rezim Orde Baru.

Membaca Tetralogi Buru dari Malaysia

Kesempatan membaca versi asli Bumi Manusia baru datang ketika saya berkunjung ke Johor Bahru, Malaysia, pada tahun 1990-an. Di sana, saya menemukan versi bahasa Indonesianya yang diterbitkan di Malaysia. Tidak hanya Bumi Manusia, tetapi juga tiga buku lainnya dalam Tetralogi Buru: Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Yang unik dari edisi Malaysia ini adalah adanya keterangan kata-kata sulit dalam bahasa Indonesia untuk pembaca Malaysia. Ini membuat saya berpikir tentang betapa besar pengaruh Pramoedya, bahkan hingga ke luar negeri, meskipun di negaranya sendiri ia masih dikekang.

Membaca keempat buku ini dalam bahasa Indonesia terasa berbeda—lebih autentik, lebih hidup, dan lebih emosional. Tetralogi ini bukan hanya cerita sejarah, tetapi potret perlawanan, semangat kebebasan, dan pergulatan intelektual seorang anak bangsa di tengah kolonialisme.

Pasca Orde Baru: Mengoleksi Seluruh Karya Pram

Barulah setelah jatuhnya Orde Baru, saya mulai mengumpulkan hampir semua buku karangan Pramoedya yang sebelumnya sulit didapatkan. Beberapa di antaranya adalah:

*Gadis Pantai — Kisah tragis seorang gadis desa yang dijadikan istri seorang priyayi, lalu dicampakkan begitu saja.

*Nyanyi Sunyi Seorang Bisu — Memoar Pramoedya selama di Pulau Buru, yang menggambarkan penindasan dan ketidakadilan.

*Arus Balik — Novel epik yang mengisahkan runtuhnya kekuasaan Nusantara di tangan kolonial.

*Arok Dedes — Menceritakan kisah legenda Ken Arok dan Ken Dedes dengan sudut pandang yang lebih kritis.

*Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer — Mengungkap kisah-kisah tragis wanita yang menjadi korban kekerasan militer.

*Keluarga Gerilya — Menggambarkan penderitaan rakyat kecil dalam perang revolusi.

*Midah Si Manis Bergigi Emas — Kisah seorang perempuan yang berjuang di tengah keterbatasan dan ketidakadilan sosial.

Dan masih banyak lagi, termasuk berbagai kumpulan esai dan cerpennya.

Ironi Besar: Dihormati Dunia, Dihina di Negeri Sendiri

Namun, ada satu hal yang selalu membuat saya geram: betapa besar penghormatan dunia terhadap Pramoedya, tetapi di tanah airnya sendiri ia justru diperlakukan sebagai pesakitan.

Di luar negeri, Pramoedya dianggap sebagai sastrawan kelas dunia. Karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa dan dipelajari di berbagai universitas internasional. Ia berkali-kali masuk dalam daftar calon  yang dipertimbangkan untuk meraih Hadiah Nobel Sastra, penghargaan tertinggi dalam dunia kepenulisan.

Tapi di Indonesia?

Pramoedya dibuang, dipenjara tanpa pengadilan, disiksa, dan dipaksa bekerja paksa di Pulau Buru selama 14 tahun. Bukunya dilarang, hidupnya diawasi, dan suaranya dibungkam. Ia tidak pernah benar-benar mendapatkan penghargaan yang pantas dari bangsanya sendiri.

Sampai hari ini, Indonesia belum pernah memiliki satu pun penulis yang memenangkan Hadiah Nobel Sastra, bahkan belum ada yang dianggap mendekati layak menerimanya. Sementara itu, Pramoedya adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali disebut sebagai kandidat kuat.

Betapa ironisnya, bangsa ini justru lebih sering merendahkan anak bangsa sendiri ketimbang menghargai mereka.

Lebih dari Sekadar Sastra

Bagi saya, membaca Pramoedya adalah sebuah perjalanan sejarah dan pemahaman akan bangsa sendiri. Ia menulis dengan keberanian dan kejujuran, tanpa takut menghadapi risiko. Itulah sebabnya, karyanya bukan sekadar sastra, tetapi juga suara bagi mereka yang tertindas dan terlupakan.

Dari sebuah buku tanpa cover di pesawat, hingga koleksi lengkap setelah reformasi, Pramoedya telah menjadi bagian dari perjalanan literasi saya—dan mungkin juga perjalanan sejarah bangsa ini.

Kini kita mengenang satu abad lahirnya Pramoedya. Walau jasadnya sudah tidak ada tetapi dia akan tetap dikenang. Dan sampai kapan pun, karya-karya Pramoedya akan tetap hidup, bahkan jika bangsanya sendiri terus berusaha melupakannya.

Leave a comment