Informasi Terpercaya Masa Kini

Sejenak Tamasya ke Surga

0 14

Senin malam 3 Februari 2025,  saya berkesempatan mengunjungi Komunitas Eden di Bungur dalam rangkaian acara Festival Kebhinekaan ke 8 yang diselenggarakan Wisata Kreatif Jakarta.

Komunitas ini dikenal sebagai kelompok kecil yang memiliki keyakinan unik dan mendeklarasikan diri bukan sebagai agama, melainkan sebuah komunitas spiritual yang menjunjung tinggi wahyu Tuhan.

Sejak awal, saya penasaran dengan komunitas ini, mengingat keberadaannya yang sering kali disalahpahami  oleh masyarakat luas, bahkan dianggap sebagai aliran sesat. Berbagai cerita mengenai perjalanan komunitas ini, termasuk pemimpin spiritualnya, Lia Eden, serta pengikutnya yang jumlahnya tidak banyak, membuat saya semakin tertarik untuk melihat langsung bagaimana kehidupan mereka.

Penyambutan yang Hangat dan Ramah

Saat tiba di rumah komunitas ini, saya langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju serba putih di depan pintu. Senyum ramahnya dan cara menyambut tamu yang hangat memberikan kesan bahwa komunitas ini terbuka terhadap kunjungan dari luar.

Setelah menyampaikan maksud kedatangan saya, saya diarahkan untuk mendaftar dengan Mas Koko. Cukup menulis nama, nomer telepon dan alamat email di daftar hadir.

Begitu masuk ke dalam rumah, saya melihat suasana yang cukup unik. Ruangan dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan pakaian serba putih, kecuali para pengunjung dari Wisata Kreatif Jakarta. Warna putih mendominasi ruangan, menciptakan atmosfer yang bersih dan suci.

Pak Abdurrahman, yang merupakan salah satu anggota komunitas dan tuan rumah malam itu, menyambut kami dengan penuh keramahan. Ia menjelaskan bahwa komunitas Eden bukanlah sebuah agama dan tidak memiliki ritual khusus seperti agama pada umumnya.

Di sekitar ruangan, terdapat banyak foto dan hiasan bertema wahyu Tuhan. Salah satu foto yang mencolok adalah gambar Lia Eden, pemimpin komunitas ini yang juga dikenal dengan sebutan “Bunda” atau “Paduka”. Foto-foto ini ditempatkan dengan rapi dan memberikan kesan bahwa komunitas ini sangat menghormati dan menjunjung tinggi sosok Lia Eden sebagai penerima wahyu Tuhan.

“Aku dipenjara dengan satu tujuan. Demi kebebasan beragama yang penuh damai,” demikian tertulis pada foto Lia Eden yang dipandang di dinding. Lia Eden juga berpakaian putih dengan mahkota lingkaran kain putih di kepalanya.

Di dinding dekat saya duduk juga terdapat wahyu Tuhan yang cukup panjang, judulnya menarik yaitu : “Sumpah Tuhan yang Maha Sakral dan Maha Keramat,” isinya mengenai wahyu Tuhan akan kehancuran bumi yang sekarang ini karena dipenuhi peperangan dan wabah penyakit akibat ulah manusia. Dan hanya manusia yang mau menyucikan diri akan dibawa dengan pesawat antariksa Surga  Eden menuju ke bumi yang baru yang disebut Eden yang digambarkan sebagai surga.

Di bumi yang baru itu akan ada peradaban baru dengan hanya berisi orang orang yang telah menyucikan diri.

Paduan Suara Anak-anak Eden yang Merdu

Acara malam itu dimulai dengan penampilan paduan suara anak-anak Eden. Walau disebut anak-anak, kebanyakan sudah berusia remaja termasuk putri kembar Pak Abdurahman yang bernama Sejati dan Lestari . Hanya ada satu anak perempuan berusia sekitar delapan tahun. Mereka tampil dengan mengenakan pakaian putih yang serasi, menciptakan kesan kesucian dan ketenangan. Lelaki yang menyambut saya juga ikut menyanyi dan ternyata namanya Pak Yusuf.

Mereka membawakan sebuah lagu berjudul “Surgs Eden”. Lagu ini memiliki melodi yang merdu dan mendayu, seolah-olah membawa pendengarnya ke dalam suasana penuh ketenangan dan kedamaian.

Syair lagu in menggambarkan suasana di Surga Eden bersama malaikat dan bidadari ketika semua merasa bahagia tanpa rasa takut dan waswas.  

Tidak berhenti di situ, mereka kemudian melanjutkan penampilan dengan lagu kedua berjudul “Pancasila Mendunia”.

Lagu ini menarik perhatian saya karena mengandung pesan universal tentang nilai-nilai Pancasila yang dapat diterapkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bagi komunitas Eden, Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga sebuah prinsip yang menggambarkan keseimbangan antara nilai spiritual, kemanusiaan, dan harmoni antarumat manusia.

Momen ini terasa sangat khusyuk, dengan semua hadirin menikmati lantunan suara anak-anak Eden yang begitu syahdu. Lagu-lagu yang dinyanyikan tampaknya memiliki makna spiritual yang mendalam bagi komunitas ini.

Konsep Wahyu dalam Komunitas Eden

Salah satu aspek yang paling menarik dari komunitas ini adalah konsep wahyu yang mereka percayai.

Menurut mereka, wahyu Tuhan tidak berhenti pada masa lalu, tetapi masih terus berlangsung hingga saat ini. Mereka percaya bahwa Lia Eden adalah seorang penerima wahyu, yang menerima pesan-pesan suci untuk membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih baik.

Wahyu-wahyu ini sering kali dituangkan dalam bentuk tulisan, puisi, bahkan lagu-lagu yang kemudian diaransemen dan dinyanyikan oleh anak-anak Eden. 

Keyakinan mereka tentang wahyu menjadi landasan utama dalam kehidupan sehari-hari, dan mereka menjalani ajaran yang diyakini telah diberikan secara langsung oleh Tuhan.

Saya juga melihat beberapa buku dan dokumen yang berisi kumpulan wahyu yang diterima oleh komunitas ini. Meskipun banyak orang meragukan kebenaran wahyu tersebut, bagi komunitas Eden, ini adalah sebuah kebijaksanaan ilahi yang harus diikuti dengan sepenuh hati.

Melihat Balairung dan Tahta Wahyu Tuhan

Setelah menikmati penampilan paduan suara, kami diajak berkeliling rumah untuk melihat berbagai ruangan yang memiliki makna khusus bagi komunitas Eden. Salah satu tempat yang menarik perhatian saya adalah Balairung, ruangan yang dianggap sebagai tempat suci.

Sayangnya, kami tidak diperbolehkan mengambil foto di dalam Balairung. Namun, saya bisa melihat berbagai pajangan yang disebut sebagai wahyu Tuhan, serta sebuah kursi putih bertingkat yang disebut sebagai “Tahta Suci Kerajaan Tuhan.”

Tahta ini mencerminkan keyakinan komunitas bahwa Lia Eden adalah pemimpin spiritual yang menerima wahyu dari Tuhan. Meskipun keyakinan ini terdengar kontroversial bagi sebagian orang, bagi para anggota komunitas Eden, ini adalah bagian dari spiritualitas mereka yang dijalani dengan penuh keyakinan. di dalam kotak kaca juga ada tongkat yang sering dipakai Lia Eden.

Ketika naik tangga menuju ke lantai atas, saya melihat semua bandel besar warna marun dengan tulisan warna kuning emas “Tahta Suci Kerajaan Tuhan,” di bagian tengah ada gambar mahkota bertuliskan “Surga Eden” dan ” God’s Kingdom,” sementara di bagian bawah bertuliskan “Rohul Kudus.”

Makan Malam dengan Hidangan Khas Sulawesi Selatan

Setelah tur singkat ke Balairung, acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Menu yang disajikan cukup menarik, yakni hidangan khas Sulawesi Selatan.

Selain Coto Makassar lengkap dengan nasi atau ketupat, juga ada burasa dan jalangkote yang mirip pastel.  Sebagai kudapan juga ada donat buah potong dan es kelapa.

Kami duduk di meja makan yang diatur rapi mirip di restoran mewah. Sebagai penutup anak -anak Eden juga membagikan potongan cokelat yang lezat.  Sebelumnya dinyanyikan lagu selamat ulang tahun dan kami mengucapkan selamat kepada yang berulang tahun, yaitu Lestari dan Sejati yang berusia 22 tahun, juga ada Mas Jelik serta Bu Itje yang sudah berusia 75 tahun.

Kunjungan ke Rumah Eden dilanjut dengan berbincang-bincang santai dan tanya jawab di ruang tengah . Kue ulang tahun yang sudah dipotong dibagikan kepada seluruh pengunjung.

Pak Abdul Rahman  menjelaskan bahwa sesudah Bunda meninggal tidak ada yang menggantikan posisi beliau. Semua pengikutnya dianggap setara walau saya melihat bahwa Pak Abdul Rahman lah yang dianggap sebagai tetua. Segala tugas di rumah ini dikerjakan secara bersama sesuai dengan keahlian masing-masing.

“Tugas saya adalah memasak.” kata Pak Yusuf, lelaki yang pertama menyambut saya tadi sambil bertanya apakah masakannya enak.  Tentu saja coto Makassarnya sangat lezat, demikian juga burasa dan jalangkote.

Pak Abdul Rahman juga menjelaskan bahwa anak-anak sekarang membuat kue kue yang dijual melalui media sosial, mereka lah yang membuat kue ulang tahun tadi.

Diskusi berlanjut mengenai prinsip hidup komunitas Eden, salah satu nya adalah tidak boleh menyuap. Hal ini dikisahkan sesuai pengalaman Pak Abdul Rahman ketika sempat dipenjara di Cipinang tahun 2005 lalu selama 3 tahun atas kasus penistaan agama.  

“Biasanya jika keluarga menjenguk napi, harus memberikan uang kepada petugas lapas, tetapi kami  menolak untuk  memberi dengan alasan mereka tidak diperkenankan untuk memberi uang,” demikian cerita Pak Abdul Rahman .

Ketika kami menanyakan tentang masalah perkawinan, kartu keluarga dan akta kelahiran bagi anak-anak Eden, ternyata nama ayah mereka dapat dituliskan di akta dengan catatan perkawinan orang tua belum tercatat.

Sementara untuk pendidikan mereka dilakukan secara home schooling dan sudah diajarkan bahasa Inggris sejak usia dini. Bahkan salah satu tugas mereka adalah menerjemahkan buku buku karya Bunda Lia ke dalam bahasa Inggris.  

Yang lebih menarik lagi adalah penjelasannya Pak Abdul Rahman mengenai komunitas Eden yang tidak mengenal konsep dakwah atau merekrut orang luar untuk masuk menjadi anggota serta kepercayaan mereka yang sama sekali tidak mengenai ritual keagamaan.

Yang unik mengenai Eden adalah keberadaannya di tataran esoteris atau wilayah batiniah dan bukan di tataran eksoteris atau lahiriah. Karena itu dalam komunitas ini tidak ada ritual seperti solat puasa atau ibadah dan bahkan tidak ada kiblat atau rumah ibadah seperti masjid, gereja atau vihara.

Fokus Eden adalah pensucian diri dan siapa yang percaya kepada Kerajaan Tuhan dan Surga Eden cukup berkomitmen langsung kepada Tuhan yang maha Esa tanpa perantara dan diperantarai.

Diskusi sebenarnya makin menarik, namun malam semakin larut. Sekitar pukul 10 saya minta diri dengan lebih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai Komunitas Eden ini.

Tetapi paling tidak saya sudah mengenali sebagian anggotanya yang ternyata merupakan sosok manusia yang ramah, hangat dan terbuka.

Semoga dengan lebih mengenai komunitas Eden, kita dapat melepaskan prasangka dan praduga kepada mereka.

Kunjungan ini memberikan saya perspektif baru tentang komunitas Eden. Terlepas dari kontroversi yang sering menyelimuti mereka, saya melihat bahwa mereka adalah kelompok kecil yang hidup dalam keyakinan mereka sendiri dengan damai. Tidak ada unsur paksaan, dan mereka menjalani kehidupan dengan sederhana.

Bagi saya, pengalaman ini sangat berharga. Saya tidak hanya belajar tentang komunitas Eden, tetapi juga mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana keyakinan seseorang bisa begitu kuat dan mengakar dalam kehidupannya.

Apakah saya setuju dengan semua yang mereka yakini? Tidak sepenuhnya. Namun, saya menghargai cara mereka menjalani hidup dengan damai dan tanpa mengganggu orang lain.

Kunjungan ini mengajarkan saya bahwa kehidupan di dunia ini sangat beragam, dan ada begitu banyak cara berbeda bagi orang-orang untuk mencari makna dalam hidup.

Semoga kita semua dapat menemukan surga yang kita rindukan. Baik di Eden atau apa pun juga namanya.

Leave a comment