Informasi Terpercaya Masa Kini

Cerita dari Jakarta: Menelusuri Wajah Kota dalam Fiksi Pramoedya

0 9

Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar yang tak pernah lelah mengisahkan realitas sosial bangsanya. Termasuk dalam sejarah penulisannya adalah menampilkan wajah Jakarta dalam kumpulan cerita pendeknya, Cerita dari Jakarta. Kumpulan kisah yang dihimpun dari tahun 1948 hingga 1956 ini bukan sekadar narasi fiktif, tetapi lebih merupakan potret sosial yang tajam dari ibu kota yang sedang tumbuh. Melalui kisah-kisahnya, Pramoedya menghadirkan Jakarta sebagai kota yang sesungguhnya hanyalah tumpukan kampung-kampung yang dipaksa menjadi metropolitan.

Salah satu lanskap yang kuat dalam cerita-cerita ini adalah kampung Kebun Jahe Kober, yang dengan gamblang digambarkan sebagai tempat dengan tingkat kematian yang tinggi akibat tetanus, tuberkulosis, dan berbagai penyakit akibat lingkungan yang kumuh. Gambaran ini seakan menjadi peringatan bahwa pembangunan Jakarta tidak dibarengi dengan kesejahteraan rakyat kecil. Dari masa itu hingga kini, kita masih dapat melihat bagaimana ketimpangan sosial tetap mengakar, dengan pemukiman kumuh yang tersisih di balik gemerlap gedung-gedung pencakar langit.

Cerita pertama dalam kumpulan ini menggambarkan kisah seorang jongos bernama Rodinah yang bermata cokelat, yang kemudian dipanggil Popi oleh tuannya. Karena berkulit putih, ia akhirnya menjadi ibu dari anak tuannya sendiri, mencerminkan bagaimana relasi kekuasaan dan eksploitasi sering kali terjadi di ranah domestik. Kisah ini mengungkap dinamika sosial antara majikan dan pembantu yang tetap relevan hingga kini dalam bentuk relasi kuasa yang berbeda.

Cerita kedua, Ikan-ikan Terdampar, menggambarkan fenomena banyaknya gelandangan akibat kehilangan pekerjaan. Ini menjadi cerminan dari ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh masyarakat kelas bawah, di mana perubahan sosial dan kebijakan sering kali berdampak lebih besar pada mereka yang paling rentan.

Sementara itu, cerita ketiga, Berita dari Kebayoran, menyoroti pentingnya kompleks khusus pegawai yang dirancang untuk menata kehidupan perkotaan. Namun, pembangunan ini justru menggusur penduduk asli, menciptakan pergeseran sosial yang tajam, sekaligus maraknya wanita malam sebagai konsekuensi dari ketimpangan yang diciptakan oleh urbanisasi paksa.

Cerita terakhir, atau kedua belas, menggambarkan kawasan Gambir yang dipenuhi kuli panggul serta serangkaian kriminalitas yang menyertainya. Gambir dalam cerita ini tidak hanya menjadi pusat aktivitas ekonomi, tetapi juga pusat dari berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh kelas pekerja yang bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota.

Relasi sosial antara jongos dan babu dalam cerita-cerita ini juga mencerminkan struktur sosial Jakarta yang terus berulang dalam bentuk lain. Jika dahulu para babu dan jongos melayani tuan-tuan mereka di rumah-rumah besar, kini bentuk ketergantungan kelas ini berubah menjadi relasi antara pekerja informal dengan kelas menengah atas. Jakarta tetap menyimpan wajah stratifikasinya yang kaku, di mana kelas pekerja urban berjuang di tengah kota yang tak ramah terhadap mereka.

Lebih jauh, Cerita dari Jakarta juga menyoroti lahirnya kelas priyayi baru, kelompok yang menampilkan kemewahan tanpa melalui kerja keras sebagaimana generasi sebelumnya. Ini adalah fenomena yang terus bertahan hingga kini, di mana muncul kelas-kelas sosial baru yang menikmati gemerlap ekonomi Jakarta tanpa harus mengalami perjuangan keras generasi sebelumnya. Hal ini mengingatkan kita bahwa Jakarta bukan sekadar pusat bisnis dan politik, tetapi juga medan kontestasi sosial yang sarat dengan ironi dan paradoks.

Relevansi novel ini dengan kondisi Jakarta saat ini begitu kuat. Kota ini masih menyisakan ketimpangan yang mirip dengan yang digambarkan Pramoedya lebih dari setengah abad lalu. Kampung-kampung yang terus tergusur, penyakit akibat sanitasi buruk yang masih merajalela di permukiman padat, serta kesenjangan antara kelas atas dan kelas pekerja yang semakin melebar adalah bukti bahwa Jakarta dalam Cerita dari Jakarta masih tetap hidup hingga kini.

Pramoedya tidak hanya menulis cerita, ia merekam kenyataan yang tak lekang oleh waktu. Cerita dari Jakarta adalah cermin bagi kita semua, mengingatkan bahwa di balik kilau urbanisasi, ada kisah-kisah lama yang terus berulang. Kota ini, seperti yang ia gambarkan, bukanlah tempat yang tumbuh secara organik, tetapi lebih merupakan hasil pemaksaan struktur yang tak selalu berpihak pada rakyat kecil. Pertanyaannya, sampai kapan Jakarta akan terus berada dalam siklus ini?

Jakarta dalam Cerita dari Jakarta bukan sekadar latar, tetapi cermin yang memantulkan ketimpangan, perjuangan, dan harapan. Di balik kilau urbanisasi, ada kisah-kisah yang terus berulang, mengingatkan kita bahwa kota bukan hanya tentang gedung-gedung tinggi, tetapi juga tentang manusia yang berjuang di dalamnya.

Leave a comment