Kisah Hidup Supandi Guru Honorer yang Jalan Kaki 11 Km ke Sekolah,Bikin Dedi Mulyadi Terkejut
SURYA.co.id – Inilah kisah hidup Supandi, guru honorer yang viral rela jalan kaki 11 Km untuk mengajar.
Banyak kisah hidup Supandi yang ternyata bikin Dedi Mulyadi terkejut.
Mulai dari gaji yang miris, hidup tanpa istri, hingga belajar berbagai pelajaran secara autodidak.
Diketahui, Pria yang akrab disapa Pak Empan ini rela menempuh perjalanan sejauh 11 kilometer setiap harinya untuk mengajar di MTs Thoriqul Hidayah.
Perjuangan yang luar biasa ini menarik perhatian Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Baca juga: Kisah Pilu Empan Guru Honorer yang Dapat Rezeki Nomplok dari Dedi Mulyadi, Cerai Sejak 2015
Saat berkunjung, Dedi dibuat terkejut mendengar kisah hidup Supandi.
Berikut rangkuman kisahnya.
- Digaji Rp 200 Ribu selama 14 tahun
Dalam 14 tahun mengabdi sebagai guru, Supandi hanya menerima gaji sekitar Rp 200 ribu per bulan.
Namun, dengan hati yang ikhlas, ia tetap menjalani profesinya meski harus berjalan kaki karena tidak memiliki kendaraan.
2. Lulusan Paket C
“Bapak waktu itu lulusan apa?” tanya Dedi dalam pertemuan mereka, seperti yang terlihat dalam tayangan YouTube-nya pada Selasa (21/1/2025).
“Paket C,” jawab Supandi dengan nada tenang.
Dedi terlihat kagum sekaligus terenyuh.
Lulusan Paket C yang menjadi guru bukanlah sesuatu yang lazim.
Namun, itulah awal cerita perjuangan Supandi, yang diminta langsung oleh yayasan untuk mengajar.
3. Belajar Autodidak
Selama bertahun-tahun, Supandi tak hanya mengajar satu mata pelajaran. Awalnya, ia mengajar olahraga secara otodidak.
“Misalnya tentang olahraga apa, saya sampaikan, saya jelaskan dari buku,” katanya.
Tak berhenti di situ, Supandi juga mengajar sejarah kebudayaan Islam, pendidikan kewarganegaraan, hingga akhirnya diminta mengajar Bahasa Inggris.
Saat ditanya bagaimana ia belajar Bahasa Inggris, Supandi bercerita tentang kebiasaannya mendengarkan radio berbahasa Inggris seperti BBC London dan siaran asing lainnya sejak kecil.
“Awalnya saya menolak karena merasa belum fasih, tapi setelah tahu anak-anak sudah tiga bulan tidak belajar Bahasa Inggris, saya tergerak untuk membantu,” ungkapnya.
4. Hidup Tanpa Istri
Di balik perjuangannya sebagai guru, Supandi juga menghadapi tantangan pribadi.
Sejak 2015, ia hidup tanpa istri setelah bercerai karena masalah ekonomi.
Meski begitu, ia tetap bertanggung jawab mengurus dan menyekolahkan anaknya.
Untuk mencukupi kebutuhan, Supandi tak hanya mengandalkan gaji mengajar.
Ia berdagang sayuran sepulang sekolah dan mengambil pekerjaan serabutan, termasuk menjadi tukang pukul borongan.
Kisah hidup Supandi yang penuh perjuangan membuat Dedi Mulyadi tergerak.
Tak hanya datang untuk mendengar ceritanya, Dedi memberikan bantuan berupa pembangunan rumah senilai Rp 100 juta.
Rumah Supandi yang hampir roboh pun kini akan berdiri kokoh.
“Saya kasih Rp 5 juta untuk modal dagang sayur. Semoga cukup untuk memulai,” kata Dedi. Supandi hanya bisa berucap syukur.
“Alhamdulillah, Pak. Terima kasih banyak,” katanya penuh haru.
Kisah Supandi menjadi pengingat bahwa di balik profesi guru, sering kali ada pengorbanan yang tak terlihat.
Sosok seperti Pak Empan membuktikan bahwa semangat mengabdi tak pernah mengenal batas, meski dengan segala keterbatasan.
Sebelumnya, sosok Supandi alias Pak Empan kali pertama dibagikan akun Instagram @sukabumitoday dan @kitabuku.id.
Dalam unggahan itu dijelaskan bahwa Pak Empan merupakan warga Ciguha, Desa Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Ia mengajar di MTs Thoriqul Hidayah.
Kemudian, pada unggahan lain, tampak Pak Empan bersiap-siap menuju sekolah selepas subuh.
Dia mengenakan kemeja putih, celana panjang, jaket hitam, dan tak lupa menggendong ransel di punggungnya.
Setelah siap, ia bergegas jalan kaki ke sekolah.
Meski lelah, Pak Empan tetap semangat. Apalagi, ia selalu disambut hangat murid-murid di kelas.
Menurut info dari unggahan itu, Pak Empan sering mendapat tumpangan warga agar cepat sampai ke sekolah.
Namun, bantuan tidak datang setiap hari.
Jika tak ada bantuan, ia tetap berjalan kaki menuju sekolah
“Bapak jalan? Berapa kilo?” tanya warga.
“Jalan dari Bojongopang 3 km. Dari Bojongopang ke Bojongtipar 8 km,” jawab Supandi
“Kalau udah kenal mah, orang mah kasihan lihat saya jalan kaki,” sambungnya.
Melihat perjuangannya setiap hari, Supandi mengaku mendapat gaji tak sebanding.
Ia menerima gaji tak sampai Rp 200 ribu per bulan.
“Rata-rata per bulan dapat Rp192 ribu. Kalau honorer kan setidaknya, saya bukan cari final seperti itu kan, cuma untuk menyumbangkan yang saya bisa,” ungkapnya.
Kendati begitu, Supandi tak keberatan.
Menurutnya, profesi guru sudah panggilan hatinya.
“Itu rezeki dari Allah. Saya selalu memberikan prinsip kepada anak, kalau punya ilmu dikEmpangkan. Jangan dulu mencari finansial, tapi pengalaman.”
“Rezeki itu ada dari mana saja. Contoh saya dari 2011 sampai sekarang, kalau yang mengaturnya Tuhan, ada saja.”
“Kadang berkebun di sawah, peninggalan orang tua (jika libur),” paparnya.
Supandi sendiri tidak menutup diri jika ada bantuan yang dapat mempermudah dirinya dalam perjalanan ke sekolah, supaya tidak terlalu lama karena berjalan kaki.
Supandi hanyalah lulusan STM pada 1993.
Karena hanya lulusan STM, ia pun tidak bisa mendaftar sebagai guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Kendati demikian, Supandi punya kemampuan yang mumpuni dalam mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah.
Dia sudah mengajar sejak 2011 silam. Artinya, Supandi sudah mengabdi menjadi guru honorer selama 14 tahun.
Kisah perjuangan Supandi itu pun menyita atensi warganet.
>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id