Bisakah Debt Swap Jadi Solusi Kurangi Utang Sembari Merawat Alam
Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat telah menuntaskan proses pengalihan utang senilai US$35 juta (sekitar Rp573 miliar) untuk kegiatan konservasi dan perlindungan terumbu karang di tanah air. Dari total dana tersebut, terdapat kontribusi sebesar US$3 juta dari Conservation International Foundation/Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia (YKCI) dan US$1,5 juta dari The Nature Conservancy/Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Keseluruhan proses pengalihan utang tersebut rampung pada 15 Januari 2025, mundur dari jadwal awal yang disepakati, yakni 1 Desember 2024.
Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Firdaus Agung Kunto Kurniawan, mengatakan bahwa dana pengalihan utang tersebut akan difokuskan untuk mendukung perlindungan dan konservasi ekosistem terumbu karang di Bentang Laut Kepala Burung (34.864.659,63 hektar) dan Laut Sunda-Banda Kecil (124.389.365,70 hektar).
“Kedua bentangan ini dipilih karena termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia atau coral triangle. Ini merupakan kawasan bernilai keanekaragaman hayati tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan, hampir 75 persen jenis terumbu karang di dunia ada di kawasan segitiga terumbu karang ini,” ucap Firdaus dikutip dari Antara, Minggu (19/1/2025).
Baca juga: AS Hapus Utang RI Rp573 M, Diganti Konservasi Terumbu Karang
Kesepakatan pengalihan utang itu terjadi melalui peran dua organisasi konservasi nirlaba internasional, yaitu The Nature Conservancy (TNC) dan Conservancy International (CI). Kedua organisasi itu memiliki rekan kerja di wilayah Indonesia yaitu YKAN dan YKCI.
CEO The Nature Conservancy, Jennifer Morris, mengatakan bahwa pengalihan utang untuk alam atau debt-for-nature swap tersebut diberikan berdasarkan Perjanjian Konservasi Terumbu Karang (The Coral Reef Conservation Agreement/CRCA) di bawah Undang-Undang Konservasi Hutan Tropis dan Terumbu Karang AS atau Tropical Forest and Coral Reef Conservation Act (TFCCA).
Berdasarkan dua payung hukum itu, dana pengalihan utang untuk alam harus diprioritaskan untuk empat hal. Prioritas pertama adalah untuk konservasi terumbu karang dan ekosistem laut pesisir yang mengelilingi terumbu karang dan penting secara ekologis, seperti lamun, bakau, dan juga ekosistem di dasar laut berpasir.
Prioritas selanjutnya adalah kawasan lindung laut, zona konektivitas habitat, dan lokasi konservasi potensial di masa mendatang. Lalu, dana juga mesti digunakan untuk konservasi spesies laut yang terancam punah, terancam, dan dilindungi.
Direktur Eksekutif YKAN, Herlina Hartanto, mengatakan bahwa salah satu kegiatan utama dari pemanfaatan dana hibah tersebut adalah dengan pelibatan masyarakat.
Herlina mengatakan bahwa program TFCCA akan berdurasi sembilan tahun. Selama durasi itu, masyarakat akan diposisikan sebagai pemeran utama yang tidak hanya sebagai penerima manfaat, tapi juga menjadi pelaksana di lapangan.
Oleh karena itu, masyarakat akan diberikan peningkatan kapasitas dalam menghadapi tantangan kerusakan alam.
“Hal ini penting dilakukan untuk keberlanjutan upaya perlindungan ekosistem terumbu karang. Tentu kita tidak mau dengan berakhirnya program TFCCA, maka berakhir juga praktik-praktik baik yang telah dibangun bersama,” kata Herlina.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR) Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan bahwa cicilan dan bunga pinjaman yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor—Pemerintah AS—akan disetor ke Trust Fund yang dikelola oleh Yayasan Kehati atas kesepakatan para pihak di dalam CRCA.
Dana tersebut lantas dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan program KKP terkait konservasi terumbu karang di Indonesia. Dana tersebut juga bisa disalurkan menjadi hibah-hibah kepada pihak non-pemerintah, termasuk LSM, perguruan tinggi, masyarakat lokal, dan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
Melalui program ini, dipastikan tidak akan ada aturan pembiayaan (financial terms) maupun biaya tambahan yang akan menambah beban utang Indonesia.
“Sehingga pemerintah diuntungkan karena pembayaran pinjaman tersebut akan dialihkan untuk mendukung konservasi terumbu karang di Indonesia,” kata Suminto saat dihubungi Tirto, Senin (20/1/2025).
Pada saat yang sama, pengalihan utang ini juga bermanfaat untuk memperkuat pendanaan implementasi komitmen Indonesia dalam menjaga kesehatan laut dan mendukung sumber daya perikanan berkelanjutan, meningkatkan peran masyarakat dalam konservasi terumbu karang, dan mendukung pelaksanaan program prioritas Ekonomi Biru (Blue Economy) yang menjadi fokus KKP.
“Khususnya program perluasan kawasan konservasi laut serta program pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” lanjut Suminto.
Untuk memastikan transparansi dana, kata Suminto, organisasi kemasyarakatan akan dipilih berdasarkan proposal yang diajukan dan disetujui oleh Komite Pengawas.
“Yang beranggotakan perwakilan pemerintah Indonesia, pemerintah US dan swap partner, NGO yang memberikan kontribusi,” jelas Suminto.
“Utang Iklim” Negara Maju Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan KKP, M. Firdaus Agung Kunto Kurniawan, menjelaskan bahwa pengalihan utang menjadi program konservasi lingkungan sebetulnya bukan hal baru di Indonesia.
Indonesia sudah pernah melaksanakan program TFCCA untuk konversi utang menjadi dana konservasi hutan tropis pada 2009, 2011, dan 2014.
“Untuk Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang melakukan pengalihan utang khusus menjadi dana kegiatan konservasi terumbu karang,” imbuh Firdaus kepada Tirto, Senin (20/1/2025).
Selain mengurangi jumlah utang ke AS, konversi utang untuk dana konservasi lingkungan juga menambah atau mengisi kesenjangan pendanaan konservasi terumbu karang. Pasalnya, dana konservasi dari pengalihan utang tersebut akan disalurkan lagi ke pihak nonpemerintah.
Sebelumnya, Firdaus mengatakan bahwa Indonesia memiliki kawasan terumbu karang terluas di dunia, diperkirakan mencapai lebih dari 51 ribu kilometer persegi. Itu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekosistem terumbu karang terbesar di dunia.
Luasan kawasan tersebut juga setara dengan 18 persen dari total luas kawasan terumbu karang di dunia. Kawasan terumbu karang itu tidak hanya menjadi komoditas yang mendongkrak sektor wisata, tapi juga memberikan perlindungan terhadap bencana alam dan menyerap karbon dari atmosfer.
Atas dasar peran besar Indonesia pada coral triangle itulah kemudian Pemerintah Indonesia dan AS sepakat menandatangani program debt swap pada 3 Juli 2024.
“Terumbu karang juga menjadi sandaran bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut,” lanjut Firdaus.
Peneliti bidang energi dan pertambangan dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani, menilai pengalihan utang menjadi dana konservasi lingkungan merupakan salah satu cara negara maju untuk membayar “utang iklimnya” kepada negara-negara berkembang.
Fiorentina menjelaskan bahwa negara maju adalah pihak yang mendirikan industri ekstraktif di wilayah negara berkembang. Karena industri itu turut berperan dalam kerusakan lingkungan di tempatnya berdiri, negara maju dianggap berutang kepada negara berkembang.
“Sehingga, kalau misalnya ada skema debt swap seperti itu, itu tidak bisa dimaknai sepenuhnya tujuannya adalah filantropi. Tapi, memang membayar utang iklim. Karena, ada juga sumbangan utang iklim Amerika Serikat ke Indonesia,” kata Fiorentina kepada Tirto, Senin (20/1/2025).
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pengalihan utang, di antaranya program yang akan dijalankan harus sejalan dengan program prioritas pemerintah lokal. Dalam hal ini, konservasi terumbu karang dapat dilakukan sebagai program konversi utang apabila pemerintah Indonesia memiliki fokus untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang.
Kemudian, untuk mencegah intervensi AS terhadap kebijakan domestik, skema pengalihan utang juga harus sejalan dengan komitmen negara maju untuk menghapus utang iklimnya. Oleh karena itu pula, harus ada beberapa safeguard (tindakan pengamanan yang ditempuh untuk melindungi Indonesia) yang harus ditepati.
“Debt swap memang bisa mengurangi utang fiskal dan untuk konservasi memang iya. (Tapi) selama dengan patokan harus dilakukan dengan koridor yang sesuai,” imbuh Fiorentina.
Selain itu, alih-alih dipegang langsung oleh pemerintah, dana konservasi akan lebih tepat jika diarahkan langsung kepada masyarakat adat atau pihak-pihak yang langsung menjadi subjek di daerah konservasi. Mekanisme itu bakal memotong keruwetan jalur administrasi pemerintah dan mengoptimalkan upaya konservasi.
“Kedua adalah memang skemanya harus terbuka, akuntabel, dan bisa dievaluasi,” kata dia.
Terlepas dari itu, Fiorentina melihat bahwa upaya mengatasi kerusakan terumbu karang di Tanah Air harus langsung dilakukan dari hulunya. Untuk melakukan hal ini, butuh dana jauh lebih besar ketimbang dana yang telah disepakati dalam program debt swap antara Pemerintah Indonesia dan AS.
“Jadi, harus ada shifting kebijakan juga. Selama ini, kalau kita melihat katakanlah, dana filantropi dari negara maju itu kebanyakan hanya mengatasi atau diarahkan ke hilirnya. Konservasi terumbu karang itu kan sebenarnya adalah parameter dari kerusakan lingkungan di perairan laut dari illegal fishing, pengolahan limbah, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Kendati begitu, Indonesia tetap bisa mengurangi besaran utangnya, sementara negara pemberi utang tersebut membayarkan utang iklimnya melalui pelaksanaan konservasi di Tanah Air. Fiorentina mencontohkan, seiring dengan semakin besarnya investasi di Indonesia, Jepang menjadi salah satu penyumbang kerusakan alam di Kalimantan.
Terkait hal ini, tak ada salahnya jika pemerintah mencoba meminta pertanggungjawaban Jepang dengan melakukan pengalihan utang menjadi program konservasi alam, baik di Kalimantan maupun wilayah lainnya di Indonesia.
“Jadi, ada hal yang bisa di trade-off-kan. Indonesia bisa menuntut Jepang untuk membayar utang ekologis yang harus ditanggung oleh masyarakat Kalimantan karena investasinya. Jadi, ada trade-off dan harus ada perjanjian bilateral. Makanya penting untuk melihat skema debt swap ini tidak dalam koridor filantropi,” tegas Fiorentina.
Baca juga: YKAN Serukan “Together, We Find a Way”, Perkuat Kerja Konservasi
Sejauh Apa Efektivitasnya? Program Officer Isu Keuangan Berkelanjutan dan Utang Indonesia for Global Justice, Komang Audina Permana Putri, menilai bahwa efektivitas konversi utang menjadi dana konservasi terumbu karang belum dapat terlihat. Sebab, pelaksanaan program ini masih sangat baru di Indonesia.
Sementara itu, menurutnya, nilai utang yang dialihkan terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan total nilai utang Indonesia ke AS.
Berdasar data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Januari 2025 yang dirilis DJPPR Kementerian Keuangan, nilai total sementara utang Indonesia ke AS pada November 2024 tercatat sebesar US$26,801 juta. Jika dibandingkan dengan nilai program debt swap, artinya utang Indonesia ke AS hanya berkurang tak sampai 1 persen.
Selain itu, menurut Audina, kesiapan pemerintah untuk menjalankan program konservasi juga perlu dipertanyakan.
“Hal ini terkait dengan harmonisasi dengan program konservasi laut Indonesia yang sudah pernah dilakukan di Indonesia, yaitu program Coral Triangle Conservation,” kata Audina saat dihubungi Tirto, Senin (20/1/2025).
Ketidaksiapan itu, misalnya, dapat diprediksi dari temuan riset yang dilakukan Tries B. Razak, dkk. yang terbit di jurnal Marine Policy (Maret 2022). Studi berjudul “Coral Reef Restoration in Indonesia: A Review of Policies and Projects” itu menyebut bahwa sekitar 84 persen dari seluruh proyek restorasi terumbu karang di Indonesia yang dilakukan pada rentang 1990-2020 tak terpantau bahkan ada yang hancur berantakan.
Dari 533 catatan yang didokumentasikan dari proyek di 29 provinsi, ratusan proyek yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru telah menenggelamkan sekitar 120 ribu unit terumbu buatan dan 53 ribu rak transplantasi karang. Kemudian, ada sekitar 1 juta potongan karang transplantasi yang ditempelkan pada unit-unit tersebut.
Tak hanya itu, dokumen “Profil Kerentanan Perubahan Iklim Kawasan Segitiga Karang Indonesia”, yang diterbitkan oleh KLHK pada 2021 menyebutkan bahwa dari total luas 50.875 km2 terumbu karang Indonesia, 93 persen di antaranya (sekitar 39.538 km2) dalam status terancam.
Kemudian, 37,38 persen dari total luasan terumbu karang di Tanah Air dalam kategori buruk, 37,38 persen dalam kategori sedang, 22,38 persen berada dalam kategori baik, dan hanya 6,42 persen dalam kategori sangat baik.
“Seharusnya, pemerintah dapat melakukan pembaharuan sistem konservasi yang sudah pernah berlangsung agar program konservasi dapat menjadi program yang berkelanjutan dan berdampak langsung pada masyarakat sekitar yang terdampak,” tegas Audina.
Menurutnya, memang sangat sulit untuk mengatasi dampak ekologi dari ulah manusia atau kerusakan alam akibat perubahan iklim tanpa adanya keleluasaan fiskal. Apalagi, perlindungan alam bawah laut pasti membutuhkan dana jumbo.
Sedangkan, isu utang negara yang kian bertambah tiap tahunnya memang harus menjadi perhatian.
“Pertama, mungkin keputusan-keputusan politik dalam negeri untuk lebih berhati-hati dalam berutang, baik utang dalam negeri atau luar negeri. Kedua, posisi Indonesia harus diperkuat dan dipertegas untuk mendukung komitmen pendanaan hijau dalam perhelatan global,” ujarnya.
Kemudian, Indonesia juga perlu mendorong mekanisme pendanaan hijau yang lebih adil bagi negara-negara Selatan (yang paling terdampak krisis iklim). Itu bisa dilakukan negara Barat dengan memberikan bantuan hibah, bukan utang.
Dalam hal debt swap, Audina meminta Pemerintah Indonesia untuk tak melihat program ini sebagai niat baik negara maju. Terlebih, belum ada kajian mendalam mengenai risiko, manfaat, maupun keberlanjutan program-program debt swap yang pernah ada di Indonesia.
“Yang harus didorong adalah program bantuan hibah yang nyata. Ada istilah ecological debt, utang negara maju terhadap negara-negara berkembang. Jangan sampai debt swap mendistraksi tuntutan negara-negara Selatan itu,” tukas Audina.
Baca juga:
- Sumpah Pemuda, PNM dan Pemuda Konservasi Terumbu Karang di Ambon
- Manfaat Ekologis Terumbu Karang & Cara Melestarikan Agar Tak Rusak