Informasi Terpercaya Masa Kini

Gaya Hidup YONO Lagi Tren, Apa Tantangan untuk Menerapkannya?

0 3

KOMPAS.com – Mengadopsi pola pikir You Only Need One (YONO) bisa menjadi tantangan bagi banyak orang, terutama di tengah budaya konsumerisme yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip YONO menekankan pentingnya fokus pada kebutuhan esensial dan menghargai kualitas di atas kuantitas.

Namun, penerapannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hambatan sosial dan emosional kerap menjadi penghalang yang sulit diatasi.

Baca juga: Tren YONO Gantikan YOLO, Apa Itu?

Menurut Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani, ada beberapa tantangan yang bisa muncul dalam proses ini. Berikut ulasannya.

1. Tekanan sosial

Banyak orang yang cenderung merasa harus mengikuti standar sosial tertentu, sehingga beralih ke prinsip YOLO dapat menimbulkan tekanan sosial.

“Banyak yang mengagung-agungkan gaya hidup konsumtif dan mewah agar diterima oleh kelompok sosialnya,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (08/01/2024).

Baca juga: 6 Langkah Mengubah Gaya Hidup YOLO Menjadi YONO

Oleh karena itu, Endang menyarankan untuk tidak berada di lingkungan sosial atau komunitas seperti itu.

“Usahakan lebih banyak bergaul dengan komunitas yang tidak menuntut kesuksesan dari materialisme,” ujarnya.

2. Keterkaitan emosional

Menurutnya, banyak orang yang menjadikan merek sebagai suatu simbol, misalnya simbol keamanan.

“Ada yang menganggap bahwa mobil dari merek A sudah pasti lebih aman. Karena merupakan simbol keamanan baginya, jadi dia harus membeli mobil dari merek tersebut,” ungkap Endang.

“Padahal enggak harus yang itu, banyak merek-merek mobil lain yang juga aman,” tambahnya.

Baca juga: Apa Dampaknya jika Orang Beramai-ramai Menerapkan Gaya Hidup YONO?

Dia juga menjelaskan bahwa keterkaitan ini bisa tumbuh dari pengalaman dan kenangan hidup seseorang.

Misalnya, saat masih kecil menggunakan merek tertentu atau melihat anggota keluarganya memakai merek tertentu, ketika dewasa dia merasa memiliki kenangan terhadap merek tersebut dan sulit untuk melepasnya.

Keterikatan ini menjadi hambatan dalam mengadopsi pola pikir YONO, di mana seseorang perlu belajar melepaskan barang yang tidak lagi dibutuhkan.

Mengatasi hal ini memerlukan kesadaran dan perubahan pola pikir untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar mendukung kualitas hidup.

3. Godaan konsumerisme

Dalam masyarakat yang didorong oleh budaya konsumtif, banyak yang merasa perlu mengikuti tren atau memiliki barang tertentu untuk merasa diterima atau dianggap sukses.

“Keterpaparan terhadap iklan-iklan dan media sosial sangat mendorong keinginan untuk memiliki sesuatu,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa media sosial sering kali menampilkan gaya hidup mewah sebagai standar kesuksesan, sehingga tanpa sadar, kita merasa terdorong untuk menirunya.

“Dengan mengurangi paparan media sosial, kita dapat menghindari tekanan sosial untuk mengikuti tren atau contoh-contoh yang dianggap sebagai lambang kesuksesan,” jelasnya.

Baca juga: Ramai soal YONO, Mengapa Tren YOLO Mulai Ditinggalkan?

4. Pengaruh keluarga

Keluarga juga sangat berpengaruh dan bisa menjadi tantangan dalam menerapkan gaya hidup YONO jika tidak ada dukungan dari mereka.

“Kalau kita menganut YONO tapi keluarga YOLO, bisa aja kita merasa terisolasi,” jelasnya.

Tekanan untuk memenuhi harapan atau mengikuti gaya hidup keluarga yang konsumtif bisa mempengaruhi keputusan kita.

“Kita bisa pindah komunitas sosial, tapi kita tidak bisa pindah keluarga,” ujarnya.

Oleh karena itu, buka komunikasi dengan keluarga tentang pentingnya mengurangi konsumsi barang yang tidak perlu dan menekankan nilai-nilai yang lebih berfokus pada kualitas hidup daripada materi

5. Merasa kehilangan

Salah satu tantangan emosional yang sering dihadapi ketika mencoba menerapkan pola pikir YONO adalah perasaan kehilangan.

“Terkadang kita bisa merasa kehilangan, dari yang biasanya bisa kita beli apa pun, sekarang harus dibatasi,” jelasnya.

Perasaan ini muncul jika seseorang terbiasa dengan kebiasaan konsumtif yang memberikan kenyamanan sesaat, dan ketika mulai mengurangi pembelian barang yang tidak perlu, bisa muncul rasa kekurangan atau kehilangan sesuatu yang selama ini dianggap penting.

“Tetapi sebenarnya ini tidak masalah, kalau kita bisa merubah pola pikir, maka kita bisa mengatasi hal ini,” lontarnya.

Baca juga: Jangan Salah, Berhemat untuk Gaya Hidup Minimalis Bukan Berarti Hidup Miris

Kita perlu mengubah pola pikir dengan berlatih memahami keinginan kita untuk memiliki barang tertentu.

Pahami apakah keinginan tersebut berdasarkan kebutuhan nyata atau hanya sekedar dorongan emosional.

“Belajar untuk mempertimbangkan, kalau itu memang kebutuhan maka dibeli, tapi kalau hanya impulsif akibat dorongan emosi maka jangan dibeli,” jelasnya.

Leave a comment