Jangan Merasa Paling Lelah Paling Berjuang
Ada pertautan atau relasi antar manusia, yang sangat unik dan luar biasa. Menurut saya ada dua relasi, adalah relasi suami istri, kemudian antara anak dengan orangtua.
Kedua pertautan yang sulit didefiniskan, sangat mungkin tidak masuk dicerna logika. Relasi yang terjadi tanpa syarat ketentuan, tetapi dijalani dengan sepenuh kesadaran. Bahkan pernah kejadian, salah satu pihak bersedia berkorban tak pandang ukuran.
Kompasianer mungkin masih ingat, ibu sepuh yang membuka pintu maaf seluas-luasnya. Setelah diputuskan bebas oleh hakim, dan anak kandungnya yang menyeret ke meja hijau. Konon gara-gara warisan, buah hati tega memerkarakan perempuan yang mengandung dan melahirkan.
Atau silakan googling nama Eko Pratomo Suyatno, sosok suami yang sungguh luar biasa di jaman serba canggih saat ini. Tigapuluh tahun setia merawat istri yang sakit, tidak terbersit niat untuk menduakan hati.
Saya yang cetek pikiran ini, tidak nutut logika ini memahami. Kok ada, kok bisa, tapi fakta terpampang di depan mata.
—-
Saya punya alasan kuat, mengategorikan relasi suami istri adalah relasi unik. Pasalnya dua orang asing dipertemukan, dengan sadar bersedia mengikatkan diri.
Keduanya berkomitmen dengan ikrar ijab qobul, dipersaksikan sanak kerabat handai taulan. Kemudian lahirlah buah hati, membuat hubungan unik — yang lebih baru– semakin menjadi-jadi.
Bayangkan Kompasianer, laki-laki bujang yang kemudian menyandang predikat suami dan atau ayah. Dirinya rela berkorban jiwa raga, menafkahi istri dan anak-anak di rumah. Dibela-belain berangkat pagi pulang petang, tak peduli kondisi diri sendiri.
Demikian juga perempuan bujang, yang kemudian berpredikat istri dan atau ibu. Rela meninggalkan kasur empuk di pagi buta, menyambut hari dengan berjibaku di dapur. Mengolah asupan pengisi perut, agar seluruh anggota keluarga siap berkegiatan.
Saya berani jamin, pasti ada titik bosannya, lelahnya, jenuhnya, ribetnya. Tetapi tetap dijalani, meski harus mengalahkan ego saban hari. Setelah bertahun-tahun, menjadi kebiasaan meski tetap saja sewaktu-waktu digelayuti bosan.
Seunik apapun sebuah relasi, tetap harus dipupuk dan dirawat. Suami dan istri atau dan orangtua, masing-masing musti terus mengilmui diri. Agar perasaan-perasan saling memiliki, saling membutuhkan, kan terjaga dan terpertahankan dari waktu ke waktu.
Suami, istri dan anak-anak, masing-masing dengan peran sesuai prosinya. Ketika dijalankan peran itu sebisanya, niscaya relasi unik itu tetap ada.
Suami atau istri jangan ada perasaan, merasa paling lelah paling berjuang. Perasaan lebih inilah, yang bisa menjadi celah bisikan setan. So, kalau muncul perasaan lebih, segera tepiskan.
Jangan Merasa Paling Lelah Paling Berjuang
“Kunci rumah tangga tenang dan bahagia itu, jangan pernah merasa paling berjuang, jangan pernah merasa paling lelah. Kalau lagi capek kita istirahat, kalau lahi jenuh kita makan enak. Kalau lagi bosan kita jalan-jalan. Semoga tetap sehat dan bahagia, rejeki mengalir deras dari arah mana saja” Akun Penyejuk Hati.
Sebagai suami sekaligus ayah, saya layaknya para suami dan ayah di luar sana. Kadang dipenuhi perasaan merana, kalau sedang berada di posisi terjepit. Musti membayar tagihan listrik, uang sekolah anak, pajak kendaraan, dan sebagainya, datangnya bertubi- tubi.
Sementara tabungan sedang tipis, diutamakan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Duid yang ada musti dihemat-hemat, karena tidak ada cadangan lagi. Beban di pundak ini, rasanya seperti ditumpuk-tumpuk secara bersamaan.
Rasanya hari itu, di rumah saya adalah yang paling lelah paling berjuang. Mengadu ke istri soal uang, saya sangat tahu keuangan istri. Apalagi ke anak-anak, sangatlah tidak mungkin. Perasaan putus asa seolah membujuk, agar mengambil jalan tidak benar.
Tetapi beruntungnya, seolah ada suara pengimbang tiba-tiba datang. Membisiki hati agar sabar, dengan menyepi di kamar dan tidur. Ngobrol dengan pasangan saat hati kalut, besar kemungkinan dipenuhi emosi. Maka sebaiknya diam, bawa rasa amarah ke dalam doa.
—–
Sekira tiga bulan ke depan, insyallah dua dasawarsa kebersamaan dengan istri dilalui. Di usia pernikahan yang sudah tidak muda, tak ada keinginan lain kecuali menjalani sisa usia bersama. Merajut hari tua berdua, biarkan hanya maut yang memisahkan.
Jujurly, sampai hari ini saya masih belajar mawas diri. Ketika ego mengemuka, merasa menjadi orang paling menderita. Karena musti banting tulang demi anak istri, bahkan diri sendiri dinomor sekiankan.
Tetapi bukankah, menikah adalah ibadah sepanjang hidup. Namanya ibadah, pasti mengandung banyak rahasia hikmah yang terkandung. Meski saat ini, kita musti tertatih-tatih menjalani.
Sesekali perasaan bosan, jenuh, lelah hadir, sangatlah manusiawi. Tetapi jangan dibiarkan berlarut, segera alihkan pada pikiran lain yang lebih produktif. Toh, kita hidup di dunia ada batasnya. Waktu yang tersisa, jalani dengan sebaik-baiknya.
Relasi suami istri, relasi antara orangtua anak, sangatlah unik. Maka pupuk dan rawatlah, jangan merasa paling lelah paling dan berjuang. Semoga bermanfaat.