Informasi Terpercaya Masa Kini

Apa yang terjadi di otak saat kita scrolling layar ponsel tanpa henti, dan bagaimana mencegahnya jadi masalah akut?

0 2

Berbagai konten membanjiri ponsel kita. Mulai dari foto teman di pantai, video anak kucing, meme, hingga berita-berita dari belahan dunia lain. Jika tertarik, kita akan berhenti menggulirkan layar. Jika tidak, kita bakal lanjut scrolling.

Kebiasaan menggeser jari di layar ponsel sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Terkadang, aktivitas ini hanya berlangsung beberapa detik saat kita di lift. Di lain waktu, ia bisa bertahan sampai berjam-jam sebelum kita tidur.

Apa yang sebenarnya terjadi di saraf saat kita menggulir layar ponsel? Mengapa hal ini begitu adiktif? Dan, bagaimana kita dapat mencegahnya menjadi masalah akut?

Éilish Duke, profesor psikologi di Universitas Leeds Beckett di Inggris, mengatakan hal pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa dorongan untuk mengangkat ponsel dan menyentuh layar, yang memicu kita melakukan scrolling, bersifat otomatis.

Kita tidak menyadarinya karena kita telah membangun kebiasaan ini dari waktu ke waktu, sama seperti kebiasaan menutup pintu saat meninggalkan rumah, misalnya.

“Dalam penelitian yang kami lakukan beberapa tahun lalu, kami menemukan bahwa para peserta mengira mereka mengecek ponselnya setiap 18 menit sekali,” kata Duke.

“Tetapi ketika kami menggunakan perekam layar, kami menemukan bahwa mereka sebenarnya mengecek ponselnya jauh lebih sering.”

Sejak kita menyalakan layar ponsel, fungsi-fungsi tertentu dari otak kita dan desain canggih aplikasi ponsel kita bekerja secara harmonis.

Menurut Profesor Ariane Ling dari departemen psikiatri di NYU Langone Health di AS, kebiasaan menggulir layar sebenarnya adalah perilaku alami manusia, tetapi ia diperburuk oleh sejumlah faktor lingkungan.

Ling menjelaskan bahwa manusia diprogram untuk ingin tahu apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya kita rutin membaca berita atau, misalnya, sekadar berhenti untuk melihat kecelakaan di jalan.

Itu adalah bagian dari perkembangan evolusi manusia yang memungkinkan kita untuk bertahan hidup.

Dan, ponsel dirancang untuk terus memasok informasi yang menarik bagi kita.

Bisa dikatakan, ini menciptakan perpaduan yang sempurna.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Pencarian kesenangan konstan

Secara alami, otak kita ingin terus mendapat kesenangan.

Ada pusat saraf tertentu yang merespons hal-hal menyenangkan, entah seks, obat-obatan, atau kemenangan besar di kasino, dan hal-hal semacam ini diharapkan terjadi lagi dan lagi.

“Mereka mencari hal baru, kenikmatan berikutnya, apa pun yang benar-benar dapat kita nikmati,” kata Éilish Duke.

Ini dikenal sebagai sistem pengimbalan otak, dan ini adalah mekanisme yang sama persis dengan yang membuat seseorang tergantung pada zat seperti alkohol.

“Bagi banyak orang, hal baru itu datang dalam bentuk ponsel kita.”

Media sosial, khususnya, selalu menawarkan sesuatu yang baru dan menyenangkan, entah dalam bentuk foto, video, berita, ataupun pesan.

Namun, ada bagian otak lain yang melawan dorongan untuk mencari kesenangan dan imbalan langsung semacam ini: korteks prefrontal.

Ini adalah wilayah otak yang bertanggung jawab membuat kita mengambil keputusan yang tidak terlalu impulsif dan lebih seimbang.

Karena itu, kita bisa berhenti menggulirkan layar ponsel, bangkit dari sofa, dan memutuskan untuk merapikan rumah atau berolahraga, misalnya.

Namun, kedua fungsi otak ini tidak selalu berjalan seimbang.

Yang kerap terjadi pada banyak orang, bagian logis otak tidak melakukan tugasnya dengan baik dan justru kewalahan menghadapi dorongan untuk mengejar kesenangan, kata Duke.

Baca juga:

  • Apakah Anda kecanduan ponsel?
  • Kecanduan telepon pintar ‘tidak didorong oleh notifikasi’ melainkan kebiasaan ‘tak disadari’
  • Kebanyakan anak tidur di samping telepon genggam, menurut hasil survei

Di anak-anak muda, yang terjadi bahkan bisa lebih parah lagi.

“Apa yang kita lihat pada remaja adalah sistem pengimbalan otaknya berada dalam keadaan siaga tinggi, siap untuk bekerja sepanjang waktu,” ujar Duke.

“Namun, korteks prefrontalnya belum selesai berkembang hingga usia 23 atau 24 tahun, sehingga ia tidak bisa benar-benar mengendalikan impuls tertentu, seperti untuk memainkan ponsel.”

Distorsi waktu

Saat menggulirkan layar ponsel, menurut Éilish Duke, kita tengah berada di kondisi “mengalir”.

Konsep mengalir dalam psikologi merujuk kondisi mental saat tingkat kesulitan tugas yang dilakukan seseorang sinkron dengan tingkat perhatian dan keterampilan mereka saat itu.

Aplikasi seperti TikTok, yang algoritmanya terus berubah dan menawarkan hal-hal baru yang secara khusus ditujukan kepada kita, secara langsung memicu kondisi mengalir ini.

“Aplikasi ini menyerap semua perhatian Anda, dan Anda memasuki fase distorsi waktu saat Anda tak sadar dua jam telah berlalu, dan Anda duduk di sana dengan tangan yang mati rasa, membuang-buang waktu menonton berbagai video anak anjing,” kata Duke.

Baca juga:

  • Terlalu sering pakai gadget, otak anak bisa menipis
  • Anak kecanduan game online: ‘Memegang pisau’ dan ‘memukul wajah ibu’, dirawat di rumah sakit jiwa

Ariane Ling menjelaskan dengan metafora bagaimana otak kita mulai memperoleh kebiasaan menggulir layar ponsel secara berlebihan.

“Jika Anda membayangkan jalan yang telah Anda lalui berkali-kali, jalan itu lama-kelamaan menjadi jauh lebih jelas, dan kita akan terus berjalan di sana. Itu terasa jauh lebih mudah,” katanya.

“Jika Anda terus-menerus menggulir layar ponsel, itu menjadi pengalaman default. Dan, kemudian jadi sangat sulit untuk memfokuskan perhatian dan waktu Anda pada hal lain.”

Kecanduan ponsel kini belum diakui sebagai gangguan klinis resmi di dunia psikiatri. Karena itu, belum ada kriteria khusus untuk membedakan penggunaan ponsel yang sehat dan bermasalah—yang bisa memicu adiksi.

“Kami mengandalkan kriteria klasik untuk mendiagnosis adiksi, seperti adanya dorongan yang tidak terkendali atau bahwa perilaku tersebut memiliki dampak fungsional yang negatif pada kehidupan orang tersebut,” kata Duke.

Baca juga:

  • Mulai umur berapa seharusnya anak-anak boleh memiliki ponsel?
  • Pemakaian ponsel berlebih oleh orang tua ‘ganggu kehidupan keluarga’

Contoh dampak negatifnya, kata Duke, seseorang jadi tak mampu melakukan tugas-tugasnya dalam keseharian, atau ia menunjukkan gejala layaknya baru putus obat (biasa terjadi saat seseorang berhenti menggunakan obat secara mendadak).

Karena itu, penting untuk memperhatikan dan mencoba meninjau kembali kebiasaan kita sendiri.

“Jika Anda telah mencoba untuk berhenti, dan benar-benar mencoba untuk itu, tetapi belum berhasil, saya sarankan untuk mencari bantuan atau intervensi yang lebih signifikan,” kata Ling.

Cara menghindari kebiasaan scrolling kompulsif

1. Sisihkan waktu tanpa ponsel

“Memiliki ritual tertentu yang menjauhkan Anda dari ponsel akan sangat membantu,” kata Ariane Ling.

Menurutnya, banyak penelitian menunjukkan bagaimana aktivitas sederhana seperti berjalan tanpa ponsel dapat memberikan dampak yang besar.

Éilish Duke sependapat. Ia bilang sisihkan waktu sebisa mungkin tanpa ponsel, misalnya saat berjalan-jalan atau pergi ke pusat kebugaran.

Itu tak hanya membuat kita berhenti bermain ponsel, tapi juga membantu kita lebih menaruh perhatian pada lingkungan sekitar, melatih fungsi otak lainnya, dan menyadari bagaimana perasaan kita saat tak memegang ponsel.

Membangun kebiasaan atau menerapkan peraturan untuk tidak bermain ponsel di meja makan saat bersama keluarga atau teman juga merupakan hal yang ideal.

Dengan begitu, orang lain bisa membantu mengingatkan kita untuk tidak menggunakan ponsel.

Kita bisa membuatnya lebih efektif, misalnya dengan menyiapkan keranjang untuk jadi tempat orang-orang meletakkan ponselnya sebelum mulai makan.

Secara umum, setiap upaya yang dilakukan dengan sadar untuk memisahkan waktu bermain ponsel dengan waktu tanpa ponsel dapat membantu kita menghindari kebiasaan scrolling secara otomatis.

“Jika Anda dapat menyisihkan waktu spesifik saat Anda tidak menggunakan ponsel dan fokus mengerjakan tugas atau sekadar berkumpul bersama teman, itu akan jadi ide yang bagus,” kata Duke.

Ling punya saran lain: “Hal lain yang terkadang saya lakukan adalah mengubah ponsel saya jadi hitam putih, sehingga layarnya kurang menarik untuk dilihat.”

2. Berinteraksi dengan dunia nyata

Kita bisa mengurangi kebiasaan scrolling dengan mengurangi ketergantungan kita pada ponsel untuk melakukan hal-hal tertentu, misalnya untuk mengecek waktu.

“Dalam salah satu penelitian yang kami lakukan beberapa tahun lalu, kami menemukan perbedaan besar antara orang-orang yang mengenakan jam tangan biasa dan mereka yang menggunakan ponselnya untuk mengecek waktu,” kata Duke.

Tanpa disadari, orang-orang yang biasa melihat jam di ponsel kerap “terjebak” menggulir layar ponselnya.

Contoh lainnya, kata Duke, adalah kita bisa mengalihkan kebiasaan membaca daring ke luring.

“Saya mendorong orang-orang untuk membangun rasa penasaran dan mencari trik untuk mengurangi waktu penggunaan ponsel dan menghabiskan lebih banyak waktu di dunia tiga dimensi,” ujar Ling.

“Kita adalah makhluk taktil [yang mencari sentuhan fisik]. Kita ingin berinteraksi dengan hal-hal di dunia nyata.”

3. Mencoba mengendalikan dorongan scrolling

Saat kita merasakan dorongan untuk membuka sebuah aplikasi dan mulai menggulir layar ponsel, atau bila kita telah melakukannya berjam-jam, cobalah berhenti sejenak dan pikirkan mengapa kita melakukan itu atau kepuasan seperti apa yang sebenarnya kita dapatkan dari sana.

Berusaha untuk lebih menyadari keputusan kita, bagaimana perasaan kita, dan bagaimana pikiran kita bekerja pada saat-saat ini merupakan intervensi yang ampuh.

“Dorongan untuk mengambil ponsel itu seperti kita sedang mengidam sesuatu,” kata Ling.

“Anda menyadari tubuh Anda mulai menginginkannya. Otak Anda seakan berkata, ‘Hei, sudah lama tidak ada asupan dopamin, ayo kita cari itu.’ Dan, ngidam ini bisa berkembang, seperti gelombang.”

Namun, imbuhnya, kita bisa menahan dorongan itu. Kita bisa berkata, “Oke, saya menyadari hal ini. Saya benar-benar ingin melihat ponsel, membuka notifikasinya, tapi saya tidak bisa melakukannya.”

Menurut Ling, kita perlu melatih diri dengan tekun untuk membiasakan hal ini. Dan, setelah terlatih, kita bisa mendapat manfaat jangka panjang.

“[Kita] bisa tetap fokus, merasa lebih baik, mendapat pengalaman tanpa ponsel yang membuat hidup lebih kaya dan bermakna,” kata Ling.

Leave a comment