Para Gen Z yang “Mengguncang” Indonesia karena Uji Materinya Dikabulkan MK
JAKARTA, KOMPAS.com – Pada 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan penting untuk perpolitikan atau demokrasi di Tanah Air.
Melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, MK menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau dikenal dengan presidential threshold.
Menariknya, putusan itu mengabulkan seluruhnya permohonan para pemohon yang merupakan anak muda golongan gen Z, yakni empat mahasiswa Univeristas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Keempatnya mengajukan soal uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang terkait presidential threshold sebagaimana termaktub dalam Pasal 222.
Dari surat permohonan yang dikeluarkan MK, 23 Februari 2024, empat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna.
Baca juga: Pertimbangan Lengkap MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold
4 Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Dalam permohonannya, keempat mahasiswa tersebut meminta MK melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, dengan petitum agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar batasan open legal policy dalam hal moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.
Menariknya, Empat mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi ini menyebut bahwa melalui proses yang panjang sebelum akhirnya permohonan mereka diputus oleh MK.
Tsalis Khoirul Fatna mengungkapkan, proses sidang yang dilalui setidaknya berlangsung selama satu tahun dan dimulai pada 24 Februari 2024.
“Kami sebenarnya masih mahasiswa dan beracaranya itu kurang lebih selama 1 tahun. Jadi di periode itu kita kalau enggak salah tujuh kali sidang ya. Ya, kalau enggak salah tujuh kali sidang sampai putusan ini,” ujar Tsalis Khoirul Fatna dalam jumpa pers di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga pada Jumat, 3 Januari 2025.
Baca juga: Menakar Ketentuan Pencalonan Presiden dan Wapres Usai MK Hapus Presidential Threshold
Bahkan, selama proses persidangan itu, ternyata keempat pemohon yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sedang menjalani KKN.
“Ya sampai putusan ini kita ada tujuh kali sidang yang mana di antara sidang kedua dan ketiga kita itu lagi masa-masa KKN,” ungkapnya.
Nana panggilan akrab Tsalis Khoirul Fatna juga mengungkapkan bahwa mereka tidak menggunakan kuasa hukum selama mengikuti proses sidang di MK.
“Kami di sini tidak menggunakan kuasa hukum ya, karena kami masih seorang mahasiswa belum mampu untuk menggaji seorang kuasa hukum,” kata Nana.
“Dan karena kebetulan di MK juga bisa menggunakan sidang online jadi kami juga mengajukan permohonan ke MK kalau kami melakukan sidangnya secara online ya karena keterbatasan satu dan lain hal,” ujarnya lagi.
Baca juga: Golkar Harap Penghapusan Presidential Threshold Tak Hambat Upaya Konsolidasi Nasional
Sementara itu, Enika Maya Oktavia mengemukakan alasan permohonan uji materi tidak diajukan sebelum pemilihan preisden (pilpres).
“Sederhana saja jawabanya bahwa semakin dekat dengan Pilpres maka tekanan-tekanan politik itu akan semakin luar biasa,” ujar Enika Maya Oktavia dalam jumpa pers yang sama.
Enika Maya lantas menegaskan bahwa permohonan judicial review (uji materi) ke MK murni perjuangan akademik dan perjuangan advokasi konstitusional sehingga permohonan diajukan setelah Pilpres.
“Kami di sini menekankan bahwa perjuangan kami adalah perjuangan akademik, perjuangan advokasi konstitusional. Oleh karenanya, kami cerminkan hal tersebut dengan mengajukan permohonan setelah Pilpres,” ungkapnya.
Baca juga: Penerapan Presidential Threshold dari Pemilu 2004 hingga Dihapus oleh MK
Selain itu, dia mengatakan, alasan lainnya adalah agar putusan MK tidak terpengaruh politik jelang pilpres.
“Kami ingin kajian-kajian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat pengaruh-pengaruh secara politik, melainkan benar-benar kajian akademik, benar-benar kajian substansi hukum dan hal ini terbukti,” katanya.
Akhirnya, menurut Enika, harapan mereka terbukti karena putusan MK benar-benar sesuatu yang baru dan baik untuk demokrasi Indonesia.
“Sebagaimana harapan kita semua ada angin segar bagi demokrasi Indonesia. 32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolaknya permohonan-permohonan tersebut, kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Kisah Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Gugat MK demi Hapuskan Presidential Threshold
Sebagaimana diketahui, MK mengabulkan seluruhnya permohonan Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna. MK menghapus ketentuan presidential threshold.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”.
Dalam pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dari putusan.
Baca juga: Gugat Presidential Threshold, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Enika Maya: Ini Perjuangan Akademik
Tak hanya itu, Saldi mengatakan, presidential threshold juga melanggar moralitas dan keadilan.
“Namun, juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” ujar Saldi
Selain membatasi hak politik terkait maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, Mahkamah menilai bahwa keberadaan ambang batas berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pasalnya, MK mengatakan, telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Baca juga: Pertimbangan Lengkap MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold
Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan presidential threshold, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon.
Padahal, menurut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, “akar rumput” mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, Mahkamah berpandangan, jika aturan ambang batas terus diberlakukan maka tidak tertutup kemungkinan hanya akan ada pasangan calon tunggal.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” kata Saldi.
Baca juga: Penerapan Presidential Threshold dari Pemilu 2004 hingga Dihapus oleh MK
Almas Tsaqibbirru
Sebelum empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ada nama Almas Tsaqibbirru yang ramai dibicarakan karena permohonan uji materinya dikabulkan sebagian oleh MK.
Almas yang merupakan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) mengajukan uji materi terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tepatnya, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Dalam permohonannya, Almas sempat menyinggung soal sosok Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
Baca juga: Gugat Batas Usia Capres-Cawapres, Almas: Ingin Uji Ilmu yang Didapat di Perkuliahan
Pemohon menilai, Gibran merupakan tokoh yang inspiratif. Atas dasar itulah, pemohon berpendapat, sudah sepatutnya Gibran maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Namun, kemungkinan tersebut terhalang oleh syarat usia minimal capres-cawapres, lantaran Gibran kini baru berumur 35 tahun.
“Bahwa pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal. Hal tersebut sangat inkonstitusional karena sosok wali kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan Kota Solo secara pertumbuhan ekonomi,” demikian argumen pemohon.
Hingga akhirnya, melalui putusan MK, harapan Almas terkabut, yakni Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) meskipun masih berusia 36 tahun.
Baca juga: Sosok Almas, Mahasiswa Solo yang Gugatannya soal Batas Usia Capres-Cawapres Dikabulkan MK
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Kemudian, mengubah norma dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan, Senin, 16 Oktober 2023.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah’,” ujarnya lagi.
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Baca juga: Ada Nama Gibran di Gugatan Almas Tsaqibbirru, Satu-satunya yang Dikabulkan MK
Atas dasar putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
Putusan MK tersebut pun memuluskan jalan putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden padahal masih berusia 36 tahun.
Namun, putusan nomor 90 itu juga menimbulkan polemik dalam tubuh MK sebab diduga mengandung unsur pelanggaran etik. Sejumlah hakim MK pun dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Hasilnya, Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK karena dinyatakan oleh MKMK terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
Baca juga: MKMK: Anwar Usman Beri Perhatian Lebih Perkara Almas, Rela Ngantor Hari Libur
Anwar Usman dinilai melakukan pelanggaran kode etik berat terkait keluarnya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Untuk diketahui, Anwar Usman adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka yang diuntungkan berkat putusan nomor 90 tersebut.
Sebab, Gibran bisa maju sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berbekal pengalamannya kurang dari tiga tahun menjadi Wali Kota Solo, mengingat usianya belum mencapai 40 tahun.