Informasi Terpercaya Masa Kini

Asal usul istilah ‘pekerja kerah biru’ dan bagaimana jaket buruh mendominasi tren busana

0 4

Pakaian yang dulu biasa digunakan oleh petani, buruh pabrik, dan pekerja tambang di Amerika Serikat dan Inggris kini sedang menjadi tren fesyen. Bentuk penghargaan terhadap simbol akar rumput atau pergeseran makna dari akarnya?

Barn jacket, yang juga dikenal sebagai jaket petani, chore coat alias mantel buruh pabrik, atau donkey jacket, yang kerap digunakan para buruh tambang dan pekerja kapal, kini beralih fungsi: dari busana kerja menjadi tren fesyen.

Jaket kelas pekerja ini sekarang mendominasi dunia mode dan dianggap sebagai “baju keren” di kalangan muda.

Dulu jaket berbahan tebal dan tahan segala medan ini merupakan busana fungsional, tapi kini berubah jadi “seragam” para anak muda dan punggawa mode.

Padahal, di balik tren tersebut, barn jacket, chore coat dan donkey jacket punya keterikatan sejarah dengan politik dan budaya.

Fungsional sekaligus modis

Musim gugur menjadi waktu utama kemunculan jaket petani alias barn jacket.

Selebritas seperti Hailey Bieber, Dua Lipa dan Alexa Chung terlihat mengenakannya di berbagai kesempatan.

Vogue menyebut jaket ini sebagai “busana paling dicari”, The Guardian menggambarkannya sebagai “busana fungsional yang modis” dan Marie Claire menahbiskannya sebagai “satu-satunya jaket untuk dipakai musim ini”.

Dengan beragam warna, mulai dari pirus yang cerah, merah marun, hingga kuning, jaket petani mudah dikenali dari bentuknya yang simpel dan sangat fungsional.

Seperti namanya, jaket ini dilengkapi dengan kantung yang besar.

Desainnya memudahkan aktivitas para petani di ladang, selain membuat mereka tetap hangat dengan bahannya yang tebal.

Kesederhaan dan kepraktisan yang sama juga ditawarkan jaket pekerja khas Inggris yang dikenal dengan nama barbour.

Rumah mode Prada membawanya ke panggung pekan mode spring/summer 2024, yang membuat jaket ini semakin populer di kalangan fashionista.

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

“Ada aura praktis yang ditawarkan busana ini, yang sebenarnya lucu, karena ini memang baju kerja, dibuat untuk bekerja di luar ruangan, karena itu rancangannya sangat fungsional,” Albert Muzquiz kepada BBC.

“Tapi, ada jiwa dan kehangatan yang terpancar,” lanjut Muzquiz

Muzquiz adalah sejarawan mode dan pemengaruh media sosial.

Dia dikenal di Instagram sebagai EdgyAlbert, dan video TikTok-nya tentang tren jaket pekerja telah ditonton lebih dari 75.000 kali.

Muzquiz juga akrab dengan gejolak politik brand busana kerja asal Amerika Serikat seperti Carhartt, Dickies juga Levi Strauss.

Tentu saja, jenama mode ini punya lini jaket pekerja mereka sendiri, contohnya jaket Detroit keluaran Carhartt dan jaket kanvas dari Dickies.

Kendati termasuk dalam lini “jaket petani”, rancangan dari brand-brand tersebut kerap dikenakan para selebritas dan ikon fesyen, utamanya untuk membuat busana formal terlihat lebih kasual, atau untuk terlihat lebih santai saat beraktivitas di luar rumah.

Tapi, apa yang menyebabkan jaket pekerja ini begitu trendi saat ini?

“Sekarang ini, orang-orang menginginkan sesuatu yang lebih substansial dan punya makna mendalam.” kata Muzquiz.

Jaket pekerja dengan rancangannya yang simpel, menurut Muzquiz, memiliki makna itu.

Selain itu, potongannya cocok untuk semua orang: tua, muda, perempuan, dan laki-laki.

“Semua bisa memakainya,” papar Muzquiz.

“Saya juga suka busana ini, karena sejarahnya yang kaya dan sangat mudah didapatkan.”

Ibaratnya, di Amerika Serikat, busana ini adalah legenda yang terus diwariskan, meski kemudian berubah seiring zaman,” ujar Muzquiz.

Dulu, Muzquiz menjelaskan, jaket pekerja dibuat sesuai dengan fungsinya, menggunakan kain yang sangat tebat dan kuat sehingga tidak mudah sobek dan tahan lama.

Namun kini, jaket tersebut dibuat secara massal sehingga kualitasnya menurun, meski bentuknya dipertahankan.

“Namun, jika Anda beruntung, Anda masih bisa mendapatkan jaket pekerja asli [di pasar loak], yang merupakan bagian dari sejarah, yang bisa Anda pakai kapan pun dan bertahan sangat lama,” sebut Muzquiz.

Tak lekang zaman

Jika jaket petani adalah “seragam” para pekerja perkebunan, para buruh pabrik dan tambang punya chore coat atau “mantel kerja”.

Jaket ini mudah dikenali lewat warna dan bahannya, biru denim.

Dulu, kain adalah investasi, papar Mohsin Sajid, seorang desainer dan sejarawan mode.

“Tidak semua orang bisa mengenakan busana dengan kain mewah sehingga mengenakan mantel yang tebal dan kuat bisa melindungi pakaian dari kotoran dan berbagai hal saat bekerja, dan cara berpikir seperti itu kini kembali lagi,” ujar Mohsin.

“Seragam” para buruh ini sangat praktis, berupa jaket berkerah dengan kancing di depan yang dilengkapi kantung besar.

Jaket ini kemudian populer setelah dikenakan aktor Paul Newman dalam film Cool Hand Luke (1967).

Jaket ini disinyalir berasal dari Prancis di awal abad ke-19. Dinamakan bleu de travail, jaket ini punya kantung besar yang berfungsi untuk menyimpan alat-alat pertukangan.

Dari Prancis, jaket ini kemudian mencapai Amerika Serikat, dibawa oleh para buruh, terutama para pekerja rel kereta api dan menyebar ke buruh tambang.

Sejak itu, warna biru jaket menjadi simbol para pekerja kasar dan memunculkan sebutan “pekerja kerah biru”.

Setelah kini, istilah buruh dan penggunaan jaket pekerja ini meluas ke para pekerja kantoran, apakah berarti kita menghapus sejarah para pekerja kerah biru? Atau apakah jaket kelas pekerja ini sekarang resmi diadopsi oleh kelas menengah?

“Begitu sebuah pakaian dikeluarkan dari konteks aslinya, ia menjadi sebuah mode,” kata Doris Domoszlai-Lantner, profesor di Fashion Institute of Technology, kepada BBC.

Pakaian itu kemudian masuk ke dalam siklus mode dan dengan demikian, bergantung pada opini publik.

“Itu yang terjadi dengan tren jaket pekerja saat ini, yang awalnya diciptakan secara fungisonal untuk pekerja kasar, dengan kantong dan kait yang diposisikan secara strategis,” Domoszlai-Lantner

Beberapa versi kontemporer yang modis tidak menyertakan fitur yang menjadi ciri khas jaket ini dalam konteks aslinya.

Namun, menurut Domoszlai-Lantner, ini bukan pertama kalinya pakaian kerja menjadi mode.

“Lihat saja tahun 1970-an hingga 1980-an, ketika pakaian kerja menjadi bagian dari pernyataan antimode yang dikenakan oleh kaum punk, yang kemudian diadopsi menjadi mode populer.”

Daya tarik jaket pekerja tambang

Ketika jaket petani dan mantel kerja erat kaitannya dengan akar rumput, donkey jacket atau jaket para pekerja tambang justru lekat sebagai simbol tulang punggung keluarga.

Aktor Cillian Murphy yang berperan sebagai pedagang batu bara di film Small Things like These, mengenakan jaket ini dalam film tersebut.

Jaket yang dulu kerap dikenakan para pekerja kapal dan penambang untuk menghalau dingin ini, juga berkelindan dengan peringatan 40 tahun aksi mogok kerja buruh tambang di Inggris dan Wales, yang film dokumenternya baru saja rilis tahun ini.

Hingga saat ini, toko-toko dan butik premium masih terus menjual jaket pekerja tambang ini.

Brand mode premium Drake’s menjual jaket jenis ini dengan harga £995 (setara Rp20,3 juta), sangat jauh dari gaji buruh tambang pada tahun 1984.

“Saya yakin, orang-orang yang menciptakan pakaian kerja pada 1880-an akan bangkit dari kubur saat mereka tahu berapa harga jaket ini sekarang,” kata Mohsin sembari tertawa.

Tapi, menurut Murquiz, gagasan bahwa pakaian ini jauh lebih mahal daripada versi aslinya, tidaklah benar.

“Dalam pernyataan mode apa pun, ada orang yang mengenakannya dengan cara yang sangat praktis, dan ada orang yang berdandan berlebihan,” katanya.

“Sekarang, kita sudah menjadi sangat kebal terhadap barang-barang yang harganya sangat murah, tapi ketika pakaian kerja pertama kali digunakan, harganya seringkali sangat mahal.”

“Membeli celana jins Levi’s untuk seorang penambang di masa-masa awal dulu, setara dengan gaji satu atau dua bulan,” jelas Murquiz kemudian.

Aslinya, jaket pekerja tambang ini dibuat dari kain wol Melton, dan biasanya berwarna hitam atau biru tua, dengan kerah kaku dan tanpa lubang udara di bagian belakang—sempurna untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin, terik, dan kondisi alam yang keras.

Tambalan kulit di bagian pundak mencegah wol tersebut rusak, karena para pekerja kerap membawa barang-barang berat di pundak mereka.

Meskipun dikaitkan dengan pekerja tambang di Wales, jaket ini sebenarnya berasal dari Inggris.

Pedagang kain Inggris George Key dari Staffordshire, mendesainnya untuk para pekerja kapal yang membangun terusan di Manchester.

Mereka bekerja menggunakan mesin uap yang disebut “donkey engines”, dari situlah nama jaket itu berasal.

Donkey engines adalah mesin derek bertenaga uap yang digunakan dalam banyak industri, termasuk pertambangan, penebangan kayu, dan perkapalan.

Simon Whitaker, pendiri Master Debonair, mengatakan kepada BBC: “Jaket pekerja kapal memiliki tempat penting dalam sejarah kelas pekerja Inggris, dan menurut saya itu adalah busana yang berbicara banyak tanpa kata.”

Awalnya, menurut Whitaker, jaket itu dibuat untuk para buruh kapal yang membutuhkan sesuatu yang kuat dan hangat—praktis dan murah.

Selama pemogokan para buruh tambang pada 1970-an dan 80-an, jaket itu menjadi simbol ikonik persatuan dan ketangguhan.

Band-band seperti Bronski Beat dan Dexy’s Midnight Runners menggunakannya, dengan tujuan menunjukkan solidaritas dengan semangat kelas pekerja.

“Jaket itu kasar, mentah, dan sangat cocok dengan gaya mereka,” kata Whitaker.

Kini, dengan merek-merek fesyen kelas atas seperti Drake’s menjualnya dengan harga ratusan, bahkan ribuan pounds seperti “pedang bermata dua”, menurutnya.

“Di satu sisi, Anda bisa mengatakan itu sebagai perampasan kelas, mengambil pakaian yang berasal dari kebutuhan dan mengubahnya menjadi barang mewah,” kata Whitaker.

Kendati begitu, dia menganggap ada nilai lebih dengan membawa pakaian pekerja ini ke mode arus utama.

“Ini bisa menjaga sejarah tetap hidup dengan cara yang segar, dan jika dilakukan dengan penuh pertimbangan, ini merupakan penghormatan kepada masa lalu, menghormati keberanian dan ketahanan yang diwakili pakaian tersebut.”

Jaket para pekerja kapal dan buruh tambang ini bukan sekadar jaket hangat dan praktis untuk bekerja di kapal dan tambang, jaket itu juga menandakan eksklusivitas.

Pengguna Reddit CrocodileJock memberi tahu BBC: “Hal terkeren tentang jaket itu adalah Anda tidak bisa membelinya di mana pun.

“Jaket itu hanya dikeluarkan oleh dewan dan organisasi untuk para pekerja, jadi Anda mendapatkannya karena Anda memiliki pekerjaan kasar, atau punya teman yang memilikinya.”

Tidak seperti jaket petani atau mantel buruh pabrik, jaket para penambang ini tidak sepenuhnya melampaui status kelas pekerja, bahkan ketika Anggota Parlemen Partai Buruh Michael Foot dilaporkan telah mengenakannya di Cenotaph.

Jaket itu tetap merupakan simbol visual yang kuat dari masa yang penuh gejolak dalam sejarah Inggris.

“Saya percaya bahwa pakaian kerja lebih dari sekadar tren,” tegas Muzquiz.

“Saya pikir pakaian kerja adalah sesuatu yang selalu, dan akan selalu, menjadi bagian penting dari lemari pakaian orang-orang,” ujarnya.

Di satu sisi, internet telah mendemokratisasi mode, membuat kita lebih mudah untuk mengakses tren dan gaya, tetapi di sisi lain, hal itu memunculkan rasa jenuh terhadap mode yang begitu cepat berganti.

Jadi, masuk akal jika banyak orang memberontak terhadap tren fast fashion dan mencari gaya klasik yang tahan lama, praktis, tak lekang oleh waktu, dan melampaui tren yang cepat berlalu.

Versi bahasa Inggris artikel ini The hard-working origins of the ‘blue-collar jacket’ – and other workwear classics bisa Anda simak di laman BBC Culture.

Baca juga:

  • Kebaya: Warisan banyak budaya di Asia Tenggara, simbol pemberontakan sekaligus pemberdayaan perempuan
  • Vivienne Westwood: Si Ratu Punk yang memberontak lewat fesyen
  • Cerita seorang nenek yang jadi viral di dunia maya berkat gaya glamor nan ceria

Baca juga:

  • Tren anak muda Korea Selatan memakai masker untuk gaya, bukan karena Covid-19
  • Bagaimana kita bisa memperbaiki efek buruk ‘fast fashion’?
  • Cerita di balik seluruh laki-laki di Gurun Sahara yang berpakaian serba biru
Leave a comment