3 Cara Menghentikan Belanja Impulsif dengan “No Buy Challenge”
JAKARTA, KOMPAS.com – Di tengah kemudahan belanja online yang semakin pesat, pengendalian pengeluaran pribadi menjadi tantangan besar bagi banyak orang.
Salah satu metode untuk melatih kedisiplinan finansial adalah dengan mengikuti “No Buy Challenge:, sebuah gerakan yang mendorong masyarakat menghentikan atau membatasi pembelian barang-barang non-esensial dalam periode tertentu.
Gerakan ini semakin populer jelang pergantian tahun 2025.
Bagi banyak orang, berbelanja impulsif bisa menjadi kebiasaan yang sulit dikendalikan. Begitu pula menurut Founder Komunitas Gaya Hidup Minimalis Lyfe with Less, Cynthia Suci Lestari.
Baca juga: Viral di Medsos “No Buy Challenge 2025”, Apa Itu?
Menurutnya, perilaku impulsif dalam berbelanja kerap berakar dari kebiasaan yang tertanam sejak kecil.
“Ada hal yang dibudaya-budayakan, misalnya saat lebaran harus beli baju baru, liburan harus punya OOTD baru, atau liburan harus beli oleh-oleh,” ujar Cynthia kepada Kompas.com, Selasa (31/12/2024).
Namun, kebiasaan belanja impulsif ini bisa diatasi dengan langkah-langkah tepat. Berikut ini cara-cara yang bisa kamu coba.
Cara menghentikan belanja impulsif 1. Menormalisasi hal yang biasa saja
Salah satu cara mengatasi belanja impulsif adalah dengan menormalisasikan sesuatu yang biasa saja atau tidak trending.
“Cara biar tidak impulsif adalah dengan menormalisasikan hal-hal yang tidak estetik,” kata Cynthia.
Ia menjelaskan bahwa konsep estetik sering digunakan dalam pemasaran untuk menarik konsumen secara visual.
Hal ini membuat banyak orang merasa terdorong membeli barang hanya karena tampilannya menarik, meskipun barang tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan.
Baca juga: Jangan Asal Ikut-ikutan No Buy Challenge 2025”, Kenapa?
Dengan menormalisasikan hal-hal yang sederhana, kita bisa menyadari bahwa kebutuhan tidak selalu harus mengikuti tren.
2. Memaksimalkan apa yang sudah dmiliki
Menurut Cynthia, masyarakat sering kali merasa bahwa apa yang sudah dimiliki masih kurang.
“Misalnya kalau kulit sudah glowing, itu masih kurang karena kulit harus glass skin. Atau kalau barang sudah estetik, itu masih kurang karena belum trending,” jelasnya.
Ia menyarankan untuk lebih memanfaatkan barang-barang yang sudah dimiliki. Dengan begitu, kita akan melihat barang tersebut lebih berharga dan tidak mudah tergantikan.
“Hal ini membantu kita lebih menghargai apa yang kita punya,” tambahnya.
3. Menggunakan metode ‘Am I HALT?’
Cynthia juga memperkenalkan metode Am I HALT?, sebuah akronim yang membantu mengidentifikasi kondisi emosional sebelum berbelanja impulsif:
- H (Hungry): Periksa apakah Anda lapar. Rasa lapar sering mendorong seseorang membeli makanan atau camilan berlebih.
- A (Angry): Apakah Anda sedang marah? Marah dapat memicu belanja untuk menenangkan diri.
- L (Lonely): Evaluasi apakah Anda merasa kesepian. Kesepian sering membuat orang belanja sebagai pelarian.
- T (Tired): Apakah Anda lelah? Kelelahan dapat membuat Anda mencari hiburan melalui belanja.
Baca juga: Langkah Awal untuk Ikut Tren “No Buy Challenge 2025”
“Misalnya pada bulan puasa, takjilan sangat laku karena dijual saat orang lagi lapar-laparnya. Ketika kita sedang lapar, kita cenderung impulsif,” ujar Cynthia.